Sabtu, April 27, 2024

Amandemen GBHN: Kudeta Merangkak terhadap Demokrasi

Endang Tirtana
Endang Tirtana
Peneliti Senior MAARIF Institute dan Komisaris Independen PT. Kereta Api Indonesia

Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba wacana amandemen konstitusi kembali mengemuka. Sebagian elite partai politik menggulirkan usulan agar Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bersidang untuk melakukan “amandemen terbatas”. Poin utamanya, menghidupkan kembali garis-garis besar haluan negara (GBHN) dan mengembalikan fungsi MPR untuk menetapkan GBHN.

Sejatinya publik mafhum adanya, bahwa kedudukan MPR telah jauh menurun sejak rangkaian proses amandemen terhadap UUD 1945. MPR tak lagi punya kekuasaan strategis yang pernah disandang sebelum reformasi, seperti memilih presiden tanpa melalui pemilihan umum secara langsung. Publik patut curiga, ada agenda apa di balik kesepakatan politik tersebut?

Jauh sebelumnya bangunan ketatanegaraan yang pernah begitu kokoh menyangga sistem otoritarian Orde Baru tersapu angin demokratisasi. Tuntutan reformasi mengamanatkan agar jabatan-jabatan penting dalam politik dipilih langsung oleh rakyat, tak terkecuali jabatan presiden. Alhasil, kekuasaan MPR dilucuti tak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, dan presiden bukan lagi mandataris MPR.

Mereka para elite yang mendominasi perpolitikan saat ini berdalih bahwa perjalanan bangsa pasca-reformasi telah kehilangan arah. Kemunculan sosok Presiden Jokowi yang gigih melancarkan pembangunan dijadikan bemper akan perlunya GBHN sebagai panduan. Tapi publik bertanya-tanya, apakah sebetulnya mereka lebih rindu pada mendiang Soeharto yang dijuluki Bapak Pembangunan?

Pada masa kejayaan Orba, kekuasaan tersentral di lingkaran kepresidenan. Partai-partai politik dijinakkan, parlemen bersidang tanpa suara-suara oposisi, mengesahkan segala putusan Sang Bapak. Reformasi telah mengubah segalanya, di mana eksekutif dan legislatif berperan sebagai check and balances. Kritik bebas dilontarkan senyaring mungkin, dan oposisi getol menguliti kebijakan pemerintah.

Yang harus dicermati, munculnya dua kekuatan politik yang saling bersinergi pasca-Pemilu 2019 lalu berpotensi kuat mendorong proses amandemen tersebut. PDIP dan Gerindra yang sebelumnya saling berseberangan kini menjalin rekonsiliasi. Diyakini bahwa kepentingan besar di balik penjajakan koalisi strategis tersebut adalah persiapan menuju gelaran Pemilu 2024 mendatang.

Patut diapresiasi bahwa Jokowi sudah bersikap menolak amandemen. Jokowi sendiri yang merupakan representasi dari golongan elite baru produk dari desentralisasi dan pemilihan langsung akan habis masa jabatannya. Bukan tidak mungkin bahwa PDIP bertekad untuk melanggengkan posisi sebagai partai penguasa pada 2024. Dalam politik, segala cara dapat ditempuh, termasuk menggolkan gagasan memilih kembali presiden lewat sidang MPR.

Koalisi PDIP dan Gerindra akan menjadi kekuatan besar di parlemen usai pelantikan anggota legislatif sebentar lagi. Ditambah dengan partai-partai koalisi, kekuasaan mutlak nyaris tak bisa dibendung. Usulan agar kursi pimpinan MPR ditambah demi mengakomodasi jatah partai-partai bisa dipandang sebagai konsesi demi memuluskan agenda terselubung tersebut.

Amandemen untuk menghidupkan kembali GBHN tak lain adalah kudeta merangkak terhadap capaian demokrasi kita. Perjuangan berdarah-darah dan korban mahasiswa hendak digadaikan demi empuknya kursi kekuasaan. Sulit diharapkan hadirnya tokoh-tokoh baru dalam sistem yang dikunci oleh elite-elite dominan. Publik harus tegas menolak dan melawan manuver khianat terhadap cita-cita reformasi.(*)

Endang Tirtana
Endang Tirtana
Peneliti Senior MAARIF Institute dan Komisaris Independen PT. Kereta Api Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.