Sabtu, Desember 14, 2024

Vonis Bebas Eksekutor Ilegal?

Andi Alief
Andi Alief
Andi Muhammad Alief, S.H.| tergabung dengan Barisan Anti Koroepsi Ahmad Dahlan (BAKAD UAD)| CCLS FH UAD|
- Advertisement -

Penulis memulai diskursus ini dengan meminjam istilah Thomas Hobbes “Manusia adalah serigala bagi sesamanya”, dalam kasus pembunuhan Brigadir J, Sambo serupa jenderal berwatak serigala, memangsa bawahan tanpa peri kemanusiaan dan mengkhianati Pancasila. Almarhum dibunuh dengan perencanaan terlebih dahulu, bahkan setelah meregang nyawa, Sambo kembali memfitnah almarhum telah melakukan pelecehan seksual terhadap Putri Candrawathi sebagai upaya mengaburkan fakta atas kejahatannya.

Pada kesempatan ini penulis tidak spesifik membahas peran Sambo, melainkan penulis mengkaji peran Bharada E dan konsekuensi hukumnya. Sebab dari keempat yang telah ditetapkan sebagai tersangka, Bharada E yang memainkan peran krusial yakni sebagai eksekutor dan justice collaborator. Kesaksian Bharada E membongkar peran Sambo sebagai sutradara sekaligus pelaku utama dalam skenario ‘Duren Tiga Berdarah.’

Narasi nan Keliru

Narasi bebaskan Bharada E pun terdengar, dengan dalih perbuatannya dilatarbelakangi subordinasi sang atasan. Seperti diutarakan Mahfud MD bahwa mungkin saja Bharada E bebas jika terbukti hanya menjalankan perintah Sambo. Kemudian narasi serupa diutarakan penasihat hukum Bharada E, Ronny Talapessy (RT), ia menyatakan Bharada E berpeluang bebas dengan alasan kliennya tidak ada niat jahat untuk menghabisi nyawa almarhum (JPNN. Com, 15/08/2022).

Lebih lanjut, RT menyatakan bahwa Bharada E menembak almarhum dalam keadaan terpaksa (Kompas, Com, 14/08/2022). Kendati keduanya tidak secara tegas menyebutkan dasar hukum yang melandasi narasi vonis bebas tersebut, namun narasi tersebut tentu berkelindan dengan Pasal 51 KUHP dan Pasal 48 KUHP.

Pertama, Pasal 51 KUHP ayat 2, berbunyi: “Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaan nya.” Jika Bharada E memiliki itikad baik tentu ia menolak perintah Sambo, sebab ia mengetahui perintah tersebut bertentangan dengan hukum.

Seorang polisi tentu memahami bahwa menembak orang yang tidak berbahaya tanpa putusan pengadilan layaknya brigadir J merupakan kejahatan, terlebih saat itu brigadir J sedang jongkok tanpa memegang pistol. Hanya penjahat yang bisa melakukan hal keji tersebut, naluriah polisi yang memiliki itikad baik tentu mencegah kejahatan, bukan malah turut andil.

Artinya Bharada E tentu mengetahui dan menghendaki pembunuhan tersebut. Olehnya tidak rasional jika mengamini pernyataan tidak ada niat jahat Bharada E, dan Pasal 51 KUHP tidak dapat menghapuskan sifat pidana atas kejahatan Bharada E sebab melaksanakan perintah Sambo yang notabene bertentangan dengan hukum mencerminkan tidak ada itikad baik Bharada E saat melaksanakan perintah eksekusi tersebut.

Kedua, Pasal 48 KUHP berbunyi: “Barang siapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh suatu kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum.” Apakah perintah Sambo kepada Bharada E dapat dipersamakan dengan ‘kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan (overmacht)’ sebagaimana dimaksud pasal a quo?

J.E. Jonkers menjelaskan pasal 48 dan membagi tiga sifat overmacht. Pertama, overmacht yang bersifat absolut, dalam hal pelaku kejahatan tidak dapat berbuat lain seperti seseorang yang melakukan kejahatan dalam pengaruh hipnotis. Kedua, overmacht yang bersifat relatif yakni kekuatan memaksa tidak bersifat mutlak seperti seseorang yang membakar rumah orang lain karena berada di bawah todongan senjata api, ia dapat memilih tidak melakukan dengan resiko akan ditembak. Ketiga, keadaan darurat seperti seseorang tanpa hak memecahkan kaca rumah orang lain yang sedang terbakar untuk menyelamatkan penghuni rumah.

Faktanya, Bharada E tidak berada dalam ketiga situasi tersebut. Frasa ‘kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan’ tidak dapat dipersamakan dengan perintah Sambo kepada Bharada E. Oleh karena itu,  Pasal 48 KUHP tidak dapat menghapuskan sifat pidana atas kejahatan Bharada E.

- Advertisement -

Bukan Vonis Bebas

Bharada E mengajukan diri sebagai Justice Collaborator dan memberi pengakuan-pengakuan atas kronologi kematian almarhum Brigadir J merupakan bentuk pertaubatan seorang penjahat dan cerminan itikad baik eks penjahat yang patut diapresiasi.

Pengakuan tersebut memperterang beberapa fakta, seperti fakta Sambo telah merencanakan pembunuhan tersebut sejak di Magelang yang didahului dengan penyitaan senjata api almarhum, kemudian fakta memerintahkan almarhum jongkok dan memerintahkan Bharada E untuk menembak almarhum, fakta setelah Bharada E menembak sebanyak tiga kali Sambo menembak dua kali ke arah kepala almarhum untuk memastikan kematian almarhum, fakta Sambo menggunakan pistol almarhum yang telah disita sebelumnya untuk menembak dinding agar terkesan telah terjadi insiden tembak menembak antara Bharada E dengan almarhum.

Tanpa itikad baik Bharada E, mungkin saja almarhum dicap sebagai pelaku pelecehan seksual terhadap istri atasan yang meregang nyawa di ujung pistol ajudan, dan kejahatan Sambo tidak tersingkap dalam rentan waktu lama. Sebab oknum polisi berjamaah tidak profesional dalam penyelesaian kasus ini, tercatat 31 anggota Polri terbukti tidak profesional di dalam olah TKP (Kompas. Com, 15/08/2022).

Walakin signifikansi sumbangsi Bharada E dalam mengungkap kasus ini tidak dapat digunakan sebagai ‘alasan pembenar’ untuk menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Namun dengan sumbangsih demikian atau dengan bertaubatnya Bharada E, hukum positif mengamanatkan majelis hakim dan pemerintah untuk memberikan Bharada E penghargaan berupa hukuman yang relatif lebih ringan di banding pelaku lainnya (Vide angka 6 poin 2 SEMA 4/2011), dan pemberian pembebasan bersyarat (Vide Pasal 10A ayat 3 huruf a UU  31/2014).

Pembebasan bersyarat berbeda dengan vonis bebas, perbedaannya terletak pada pelaksanaan sanksi. Vonis bebas menjadikan pelaku tidak menjalani sanksi pidana sama sekali berdasarkan keputusan hakim, sedangkan pembebasan bersyarat terlebih dahulu hakim menyatakan pelaku bersalah, kemudian Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia memutuskan pembebasan bersyarat dengan syarat minimal pelaku berkelakuan baik saat menjalani sanksi penjara dan telah menjalani sanksi tersebut paling singkat 9 bulan (Vide Pasal 15 KUHP).

Penjahat yang bertaubat layaknya Bharada E ideal diganjar keringanan sanksi plus pembebasan bersayarat, bukan vonis bebas, karena Bharada E perlu perlu dibina dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mengutip peribahasa klasik, “Apa yang ditanam, itulah yang dituai.” Bharada E wajib menuai hukuman atas kejahatannya, pun sebaliknya ia wajib menuai keringanan atas sumbangsihnya dalam memperterang kasus ini. “Sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya akan tercium juga.” Sepandai-pandai Sambo membunuh sekaligus memfitnah almarhum Brigadir J, kebenarannya terungkap kemudian.

Andi Alief
Andi Alief
Andi Muhammad Alief, S.H.| tergabung dengan Barisan Anti Koroepsi Ahmad Dahlan (BAKAD UAD)| CCLS FH UAD|
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.