Kurang dari satu tahun lagi kita akan menghadapi pemilihan umum (Pemilu) untuk memilih Presiden-Wakil Presiden beserta para wakil rakyat di parlemen. Seperti kebiasaan yang sudah-sudah, pemerintah maupun parlemen selalu mengubah-ubah peraturan yang berhubungan dengan pemilihan umum, baik itu di level undang-undang maupun peraturan pemerintah. Tercatat ada 5 perubahan undang-undang terkait Pemilu yang terjadi dari 5 pemilu pasca reformasi.
Perubahan itu dapat kita lihat dimulai dari perubahan peraturan tentang ambang batas pencalonan Presiden/Wakil Presiden (presidential threshold), aturan mengenai minimal suara partai politik untuk lolos pemilu (parliamentary treshold), hingga peraturan teknis mengenai keharusan pengunduran diri/cuti para calon yang akan berlaga di Pemilu 2019.
Dilansir dari Jurnal Pemilu dan Demokrasi, salah satu yang menyebabkan berubahnya peraturan terkait pemilu adalah kepentingan partai politik yang berbeda-beda. Itulah yang menyebabkan adanya perdebatan yang cukup alot terkait sejumlah isu tentang sistem pemilu yang akan digunakan. Salah satu yang memicu perdebatan adalah pembahasan mengenai ambang batas.
Di dalam perdebatan terkait parliamentary threshold, Partai kecil tentunya menginginkan ambang batas yang rendah, sementara partai besar ingin ambang batas yang tinggi. Begitu juga dalam perdebatan terkait presidential threshold. Di satu sisi ada kelompok yang memperjuangkan ambang batas pencalonan Presiden/Wapres itu agar pilpres dibuat efisien dan tidak menghabiskan banyak biaya, tetapi di sisi lain ada kelompok yang menginginkan tidak perlu dibuat aturan presidential threshold agar masyarakat bisa diberi banyak capres/cawapres alternatif.
Perkembangan
Pada Pemilu 1999, syarat pembentukan partai politik dan syarat lolos Pemilu sangatlah mudah. Setidaknya terdapat 48 partai yang mendaftarkan diri untuk mengikuti Pemilu dan pada akhirnya hanya 21 partai yang lolos di DPR. Pemilu 1999 pada saat itu juga belum mengenal sistem pemilihan langsung untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Untuk menentukan siapa Presiden/Wapres, calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus mendapatkan 50 persen + 1 suara dari hasil pemilihan di MPR. Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Syarat pendirian partai politik dan syarat lolos pemilu semakin diperketat pada Pemilu 2004. Adanya sistem electoral threshold sebesar 3 persen dari hasil perolehan suara Pemilu sebelumnya menyebabkan jumlah partai politik yang berpartisipasi menurun menjadi 24 parpol. Pemilu ini juga menjadi sejarah baru karena masyarakat dapat memilih secara langsung calon Presiden/Wapres yang ia pilih. Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla pun berhasil memenangkan kontestasi.
Pada Pemilu 2009 jumlah partisipan meningkat lagi menjadi 38 partai politik. Standar minimal partisipasi pemilu tidak lagi ditentukan berdasarkan electoral threshold, melainkan melalui parliamentary threshold sebesar 2,5 persen. Dari 38 parpol yang berpartisipasi, hanya 9 yang lolos dan berhak menduduki kursi di parlemen.
Berbeda dengan pemilu sebelumnya, jumlah partisipan menurun drastis pada Pemilu 2014, yakni hanya 12 parpol. Dari 12 parpol tersebut, 10 Parpol lolos ke DPR karena memenuhi syarat minimal 3,5 persen dari perolehan suara nasional. Joko Widodo dan Jusuf Kalla terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Sementara untuk Pemilu 2019 nanti, parliamentary threshold sudah ditetapkan sebesar 4 persen. Kontestasi akan diikuti 14 partai politik nasional dan 4 parpol lokal Aceh. Tahapan pemilu pun berbeda, karena pilpres dan pileg akan dilakukan bersamaan. Menarik untuk kita lihat siapa saja yang akan keluar sebagai pemenang pemilu.
Kepastian
Masalah “ambang batas” dalam setiap Pemilu seringkali berubah-ubah hanya karena alasan politis. Belum lagi pengesahannya seringkali dilakukan di menit-menit terakhir yang akan mengganggu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam mempersiapkan segala hal terkait Pemilu.
Perdebatan soal Presidential Threshold berjalan sangat alot bahkan masih digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). KPU pada akhirnya terpaksa membuat dua draft Peraturan KPU untuk mengantisipasi putusan MK yang dikhawatirkan memakan waktu yang lama.
Kedepannya proses perdebatan panjang yang memakan waktu sangat lama dan sarat urusan politik semata harus dihentikan. DPR dan Pemerintah perlu menyepakati suatu aturan yang dapat dijadikan sebagai acuan penyelenggaraan pemilu yang berkepanjangan. Tujuannya, untuk mendorong konsistensi aturan. Diharapkan penyelenggaraan pemilu nantinya dapat memadukan kesatuan pelaksanaan hukum dalam kaitannya dengan semua pemilu. Sehingga jangan sampai tiap kali pemilu, peraturan selalu diubah-ubah.
Pada tahun 2004, International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA) menerbitkan standar-standar internasional pemilihan umum yang telah dihimpun dari berbagai peraturan di dunia. Dalam laporannya itu dikatakan bahwa negara dalam membuat peraturan hukum terkait Pemilu harus menjamin setiap partai politik dan kandidat menikmati hak atas kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan berkumpul dan memiliki akses terhadap para pemilih dan semua pihak yang terkait (stakeholder) dalam proses pemilihan memiliki peluang keberhasilan yang sama.
Segala peraturan yang terkait dengan Pemilu – baik itu undang-undang, peraturan pemerintah, hingga PKPU — seharusnya diundangkan cukup jauh dari tanggal suatu pemilu untuk memberi peserta politik dan pemilih waktu yang cukup untuk mengenal peraturannya dan beradaptasi dengan proses pemilu. Selain itu pula, peraturan yang sudah ditetapkan jauh-jauh hari dapat membuka partisipasi publik untuk menilai serta memungkinkan adanya judicial review yang dapat diselesaikan tepat waktu dan efisien.
Peraturan yang diberlakukan pada menit-menit akhir nyatanya cenderung menggerogoti legitimasi dan kredibilitas hukum dan mencegah peserta politik dan pemilih untuk mendapatkan informasi tepat waktu tentang aturan terkait proses pemilu. Padahal kontestasi Pemilu membutuhkan waktu yang cukup supaya semua partai dan kandidat dapat menyampaikan program-program mereka – termasuk jalan keluar yang mereka tawarkan atas setiap permasalah politik yang ada – secara bebas kepada pemilih.
Kesempatan membuka partisipasi publik dalam pembentukan suatu peraturan pemilu sangatlah penting. Sebab setiap peraturan yang diciptakan tentu melibatkan suatu proses politik. Yang dikhawatirkan adalah apabila subsistem politik dianggap lebih powerfull ketimbang subsistem hukum itu sendiri, maka produk hukum yang dihasilkan tidak lebih dari kristalisasi tawar-menawar antar elit politik yang mengabaikan kebutuhan masyarakat itu sendiri, seperti UU Pemilu saat ini.