Dalam tulisan terbarunya di Geotimes, Ustaz Somad Dan Salah Kaprah NU Garis Lurus, Amamur Rohman menanggapi perihal Ustad Abdul Somad (UAS) yang saat ini sedang naik daun. Ia terlihat bersikap “moderat” terhadap ceramah kontroversial UAS tentang NU Garis Lurus beberapa waktu yang lalu.
Ia menyarankan UAS mencabut kembali ucapannya tentang NU Garis Lurus itu. Bagi saya itu sulit untuk dilakukan, karena UAS sudah terlanjur populer di kalangan masyarakat Indonesia sendiri.
Fenomena UAS ini memang luar biasa di kalangan umat Islam khususnya yang aktif dengan media sosial. Ada banyak rekaman ceramahnya yang bisa dibagikan kapan saja dan ditonton jutaan orang setiap hari. Banyak yang memujinya namun juga beberapa kalangan sering tidak sependapat dengan ceramah yang ia sampaikan.
Dalam beberapa kesempatan, UAS mampu menjelaskan sumber-sumber klasik keislaman mulai dari persoalan fikih hingga sejarah ketatanegaraan. Referensi kitab-kitab yang ia pahami juga luas, bahkan menurut saya, retorika dan kemampuannya dalam ceramah bisa dikatakan melebihi da’i-da’i yang sudah lama tampil di televisi dan media-media lain.
Menurut Moeflich Hasbullah, Ustaz Abdul Somad, Sang Phenomenon dari Tanah Melayu, jika dikaitkan dengan dunia organisasi keislaman di Indonesia, UAS bisa dikatakan mewakili semua semangat dakwah organisasi-organisasi Islam di Indonesia. Semangatnya yang pro-Khilafah disukai HTI, ceramahnya tentang keharaman hari Ibu dan ucapan selamat hari Natal disukai kelompok Salafy-Wahabi, keseringannya mengatakan non Muslim sebagai kafir disukai FPI, ceramahnya yang modern dan maju mewakili Muhammadiyah, dan dukungannya terhadap tradisi tahlil dan maulid Nabi dicintai masyarakat nahdliyin (NU).
Kaitannya dengan Nahdlatul Ulama, ada kesimpangsiuran berita di media sosial, PBNU: Jangan Fitnah Said Aqil Siradj soal Penolakan Ustad Somad, yang nampaknya membenturkan UAS dengan para elit struktural NU, khususnya dengan KH. Said Aqil Siraj. Contoh nyata adalah berita pencekalannya di Hongkong beberapa waktu yang lalu. Dalam kejadian tersebut, KH. Said Aqil Siraj menjadi bulan-bulanan di media sosial dan difitnah sebagai pelaku pencekalan atas UAS ketika hendak menghadiri ceramah di Hongkong.
Dalam konteks Islam di Indonesia, sejak zaman kemerdekaan telah terjadi perebutan peran dalam mengisi ketatanegaraan, antara yang islamis dan nasionalis. Ir. Soekarno sebagai proklamator kemerdekaan menginginkan keduanya berjalan bersama. Menurut beliau Islam yang diisi dengan semangat nasionalisme akan kuat dan nasionalisme yang diisi dengan nilai-nilai Islam akan terarah, damai, dan sejahtera. Maka, Indonesia sejak dulu disepakati sebagai negara religius-nasionalis yang berdasarkan ideologi Pancasila.
Semangat Pancasila ini dikawal betul oleh Nahdlatul Ulama, terutama elit struktural dari ranting hingga pengurus pusat. NU bergerak dengan Islam moderatnya melawan sikap oportunis dan politis ormas-ormas Islam lain yang menginginkan Indonesia menjadi khilafah, atau nama lainnya bersyariah. NU juga melawan islamisasi dari kelompok puritan Salafy yang tidak mentolerir tradisi dan budaya dalam peribadatan umat Islam.Dalam pengawalan ini, tentu NU menghadapi banyak tantangan baik dari luar maupun dari dalam masyarakat nahdliyin itu sendiri.
Amamur Rohman seolah mengesampingkan fakta sejarah yang telah dilakukan NU tersebut. Fakta ini mengafirmasi bahwa ceramah agama di Indonesia haruslah berafiliasi baik struktural maupun kultural dengan ormas-ormas yang yang ada. Sehingga jelas siapa dia dan dari mana dia! Keniscayaan untuk berafiliasi ini tentunya pada cara berpikir dan warna ceramah yang disampaikan.
Ia, menurut saya, dalam tulisannya bahkan bersikap terlalu lunak terhadap kehadiran NU Garis Lurus. Ia telah menegasikan faktor politis yang dibawa para penggagas NU garis Lurus tersebut dalam sebuah dikotomi dengan PBNU sendiri. Keberadaan NU Garis Lurus ini tentu memang memprihatinkan, namun untuk tetap menjaga marwah NU sebagai organisasi sosial keagamaan, posisi NU Garis Lurus perlu dikawal.
Faktanya, seluruh informasi yang ada di website NU Garis Lurus cukup mengganggu masyarakat nahdliyin yang patuh kepada PBNU.Jadi, saran untuk tidak menggunakan nama NU Garis Lurus sulit untuk diabaikan begitu saja.
Kaitannya dengan UAS, menurut saya pribadi, ia cukup rentan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang berlawanan dengan NU. Apalagi di era serba internet ini, perlawanan kelompok-kelompok oportunis dan politis yang mengatasnamakan Islam lebih kuat berada di media sosial. Ha ini kemudian yang disebut dengan ‘perang ideologi (ghozwul fikr)’.
UAS lebih menunjukkan independensi keilmuan ketimbang afiliasinya dengan ormas-ormas tertentu. Tentu hal ini mengandung nilai positif dan negatif. Aspek positifnya adalah ia diterima oleh semua golongan, dan aspek negatifnya adalah ormas-ormas berkepentingan akan lebih leluasa memanfaatkan ia untuk membenturkan ideologi satu dengan yang lainnya.
Parahnya, dalam beberapa ceramahnya yang dengan mudah mengafirkan seseorang karena beda agama dan yang baru-baru ini mengatakan bahwa Nabi Muhammad tidak berhasil membawa Islam Rahmatan Lil Alamin cukup riskan. Kendatipun telah diklarifikasi, dalam konteks Islam di Indonesia, wacana ini bisa memperkeruh dakwah yang berjalan dengan moderat yang dilakukan NU. Bahkan, kekhawatiran saya adalah UAS akan dimanfaatkan oleh para pendukung ide khilafah sebagai legitimasi dakwahnya.
Saya tidak memungkiri bahwa fenomena UAS ini kurang lebih sama dengan apa yang melanda NU sejak beberapa tahun belakangan ini, kendatipun secara kultural ia adalah orang NU dan bahkan pernah menjabat sekretaris Lembaga Bahtsul Masail NU di Riau beberapa tahun yang lalu.
Di NU sendiri, misalnya, terdapat banyak kiai yang secara tegas bersebrangan dengan pemikiran para elit struktural PBNU di Jakarta. Sebut saja Buya Yahya Cirebon, KH. Luhtfi Basori dari Malang, Ustad Idrus Romli dari Jember, dan KH. Najih Maimoen (Gus Najih) dari Rembang serta KH. Salahuddin Wahid cucu pendiri NU dari Jombang. Bedanya Ustad Abdul Somad lebih terkenal dan tenar ketimbang para kiai pesantren tersebut.
Saya setuju dengan Amamur Rohman bahwa perbedaan pendapat di kalangan mereka adalah lumrah sebagaimana di zaman kepemimpinan KH. Abdurrahman Wahid dulu, ketika KH. As’ad Syamsul Arifin sampai-sampai menyatakan ‘firoq’ dengan beliau. Yang harus digaris bawahi adalah adanya independensi keilmuan Ustad Abdul Somad ini akan rentan dimanfaatkan ‘orang-orang oportunis-politis’ yang saya paparkan di atas.
Mengakhiri tulisan ini, bahwa keniscayaan untuk mewarnai dakwah melalui afiliasi ormas Islam di Indonesia baik struktural maupun kultural saat ini dirasa penting demi menjaga Islam moderat yang menjadikan Indonesia tetap aman dan damai tidak terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi, politik, dan sosial yang mengatasnamakan Islam. Usaha ini nyata dilakukan NU (dan ormas-ormas moderat lainnya).
Independensi keilmuan UAS tidak bisa dibiarkan begitu saja. Ini bukan hal konyol dan basa-basi. Solusinya, mari kita NU-kan UAS (lagi)!