Eksploitasi anak merupakan kejahatan terhadap anak yang melanggar dan merampas hak-hak anak atau perbuatan memperalat, memanfaaatkan, dan memeras anak yang dilakukan orang lain atau keluarga yang mana perbuatan tersebut mengganggu tumbuh kembang anak.
Ekploitasi terhadap anak bukan hanya eksploitasi pada sektor ekonomi yaitu memanfaatkan tenaga anak untuk bekerja dan membuat anak kehilangan hak-haknya seperti bersekolah. Melaikan juga ekploitasi seksual yang merupakan bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual pada anak seperti memperkerjakan anak dalam bisnis prostitusi dan ekploitasi sosial yaitu perbuatan yang dapat mengganggu perkembangan emosionalnya.
UNICEF menjelaskan beberapa kriteria mengenai eksploitasi terhadap anak yaitu: 1) kerja full time pada usia yang masih terlalu dini, 2) terlalu banyak menghabiskan waktu untuk bekerja, 3) upah yang diberikan tidak mencukupi, 4) pekerjaan yang menimbulkan tekanan fisik, sosial, dan psikologis, 5) terlalu banyak tanggung jawab, 6) pekerjaan yang menghambat pendidikan anak, 7) pekerjaan yang mengurangi martabat dan harga diri anak seperti perbudakan atau pekerjaan kontrak paksa dan eksploitasi seksual.
Data yang diperoleh dari kekerasan.kemenpppa.go.id yang diinput pada tanggal 1 Januari 2024 hingga saat ini menyatakan bahwa, sebanyak 63.5% korban dari kekerasan merupakan anak yang berusia 5-17 tahun dan didominasi oleh korban perempuan, jumlah kasus terbanyak terjadi dalam lingkungan keluarga yaitu sebanyak 4.211 kasus. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), sepanjang tahun 2023 terdapat 3.547 aduan kasus kekerasan terhadap anak. Sementara itu, menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sepanjang Januari sampai Agustus 2023 terdapat 2.355 kasus pelanggaran terhadap perlindungan anak.
Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 76 I bahwa “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak”.
Sebagaimana perkara Nomor 369/Pid.Sus/2021/PN Nnk, dalam kasus tindak pidana eksploitasi anak bahwa terdakwa memanfaatkan korban yang berumur 15 tahun sebagai pelayan Bar yang menemani tamu berkaraoke dan menyuguhkan minuman alkohol kepada tamu. Oleh karena itu, perbuatan terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan sebagaimana Pasal 88 jo Pasal 76 I UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76I, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah”.
Kondisi anak saat ini sangat memprihatinkan dan sudah seharusnya menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat. Keadaan saat ini menunjukkan bahwa kesejahteraan dan kesempatan anak untuk mendapatkan hak-hak yang seharusnya ia dapatkan masih jauh dari harapan.
Dewasa ini, tak jarang kita temui anak yang menjadi korban kejahatan, terutama kejahatan eksploitasi terhadap anak bahkan tak jarang pula terdapat anak-anak yang melakukan perbuatan menyimpang. Negara berperan penting dalam mengakomodir kepentingan terbaik untuk anak sebagai generasi penerus Bangsa dan Negara kedepannya melalui jaminan perlindungan Hak Asasi Anak dengan meletakkan hak anak ke dalam kehidupan masyarakat.
Dalam meminimalisir terjadinya pengeksploitasian terhadap anak yang biasanya dilakukan oleh orang tuanya sendiri perlu adanya peran aktif dari masyarakat dan pemerintah, karena sejatinya anak-anak bukan hanya tanggung jawab orang tua dan negara, melainkan anak-anak adalah tanggung jawab kita semua seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 20 UU No. 35 Tahun 2014 “Negara, Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, orang tua/wali berkewajiban dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan perlindungan anak”. Perlindungan terhadap anak dapat dicegah sedini mungkin dengan pembinaan perlindungan anak baik melalui lembaga perlindungan anak, organisasi masyarakat, media, atau lembaga pendidikan.
Faktor sosial mendominasi alasan terjadinya eksploitasi terhadap anak seperti kemiskinan, rendahnya kualitas pendidikan, melarikan diri dari orang tua, sosial budaya, dan lemahnya pengawasan serta minimnya lembaga untuk rehabilitasi.
Namun, keterlibatan anak dalam pekerjaan kebanyakan dipengaruhi faktor ekonomi dan kemiskinan. Pendidikan dan kesadaran masyarakat merupakan salah satu langkah untuk dapat mecegah dan meminimalisir terjadinya eksploitasi terhadap anak. Perlu adanya peningkatan ketersediaan rehabilitas terhadap anak korban eksploitasi serta anak-anak perlu dibekali pendidikan agar tidak mudah terjerumus dalam tindakan eksploitasi.