Jumat, Maret 29, 2024

Urgensi Digital Literacy di Indonesia

Kunto Nurcahyoko
Kunto Nurcahyoko
Pemerhati Pendidikan dan Pengajar Bahasa Inggris di STKIP Pamane Talino Kalimantan Barat. Aktif sebagai pendiri komunitas #SmallInitiatives yang bergerak dalam literasi anak dan pendidikan di daerah terdepan terluar dan tertinggal (3T)

Pada era digital ini kemajuan teknologi informasi sangat berkembang. Dalam satu sentuhan saja, kita mampu mengakses informasi yang jaraknya ribuan kilometer dari tempat kita berada. Dengan adanya sosial media, individu antar benua mampu terhubung dengan sangat mudah. Dalam bukunya yang berjudul The Third Wave, Steve Case menekankan pentingnya jaringan internet pada generasi sekarang.

Dengan jumlah pengguna internet sekitar 140 juta orang, Indonesia menjadi salah satu negara dengan aktivitas digital terpadat sedunia. Tingginya arus lalu lintas digital di Indonesia tidak hanya membawa dampak positif tetapi juga membawa potensi bahaya.

Mudahnya penyebaran berita dan informasi yang ada di internet menyebabkan banyak berita dan informasi palsu yang tersebar. Berita palsu, atau sering disebut sebagai hoax, merupakan salah satu ancaman cyber yang sangat berbahaya. Berita hoax sering menjadi sumber konflik, baik individu, kelompok maupun negara.

Beberapa langkah pencegahan maraknya penyebaran berita hoax telah dilakukan oleh berbagai pihak. Melalui peraturan yang ketat, media sosial seperti facebook dan twitter telah menentukan aturan dan persyaratan secara ketat.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kemenkominfo) juga telah banyak menyelenggarakan program seperti sosialisasi tentang bahaya kejahatan cyber dan UU IT. Banyak LSM dan platform diskusi online seperti  grup diskusi anti-hoax untuk membahas berita bohong misalnya Forum Anti Fitnah, Hasut dan Hoax (FAFHH), Fanpage & Group Indonesian Hoax Buster, Fanpage Indonesian Hoaxes dan Grup Sekoci.

Namun, langkah-langkah tersebut di atas terkesan belum menunjukkan hasil yang maksimal. Berdasarkan Kemenkominfo selama periode 1 Januari hingga akhir Juli 2017, terdapat banyak kasus pengaduan konten negatif. Tiga kategori teratas dari pengaduan tersebut adalah kategori kebencian berbasis SARA, pornografi, dan Hoax. Konten SARA mencapai puncak tertinggi pada Januari 2017 dengan 5.142 aduan.Sementara itu, media sosial yang berbau pornografi berjumlah 9.000 lebih dan konten hoax sekitar 6.632.

Terbongkarnya sindikat kejahatan Cyber bernama Saracen pada tahun 2017 menunjukkan bahwa penyebaran berita hoax di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Komplotan ini menyediakan jasa pembuatan dan penyebaran konten kebencian melalui media sosial. Berdasarkan keterangan kepolisian, kelompok Saracen menggunakan lebih dari 2000 akun dalam operasi mereka dan terdapat 800.000 akun yang tergabung dalam jaringan kelompok tersebut dengan mematok harga puluhan juta rupiah dalam setiap operasi mereka.

Menyebarkan berita hoax dan jurnalisme abal-abal seolah menjadi hal lumrah bagi warganet Indonesia. Individu seolah telah terjustifikasi dan aman karena proses share dan like dapat dilakukan dengan sangat mudah. Saat ditanya mengenai kebenaran dari berita yang mereka share, biasanya mereka hanya akan menjawab “dapat dari lapak sebelah,”. Mereka akan merasa terlindungi dari tanggung jawab tentang kevalidan dari sebuah berita apalagi saat banyak yang memviralkan berta tersebut.

Bahayanya, mengutip pernyataan Goebbels, Menteri Propaganda era Adolf Hitler, bahwa saat kebohongan diulang berkali-kali, maka berita tersebut akan menjadi kebenaran yang dianut oleh masyarakat. Melihat hal ini, diperlukan upaya bottom-up dalam memerangi berita hoax. Memberikan edukasi dan kesadaran masyarakat untuk memiliki digital literacy menjadi kunci dalam membangun kesadaran masyarakat.

Selain karena mudahnya akses akan informasi digital, rendahnya kesadaran digital literacy dan kemalasan untuk melakukan crosscheck sumber berita menjadi beberapa alasan mengapa sirkulasi berita hoax menjadi sangat massif di Indonesia.

Berdasarkan UNESCO, Digital literacy merupakan kemampuan untuk mengakses sumber berita dan mengevaluasi secara kritis dan menciptakan informasi melalui teknologi digital. Melalui digital literacy, seseorang tidak sekedar memiliki kemampuan untuk mengoperasikan peralatan teknologi, tapi juga harus memiliki kemampuan lain. Setidaknya terdapat enam kemampuan dalam digital literacy berdasarkan UNESCO, yaitu kemampuan accessing, managing, evaluating, integrating, creating, dan communicating information. 

Accessing merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi sumber berita digital dengan teliti. Setelah itu, individu harus memiliki kemampuan managing yaitu kemampuan untuk mengklasifikasikan sumber dan jenis berita yang valid dan terpercaya

Berikutnyakemampuan evaluating berkaitan dengan membuat penilaian mengenai kebermanfaatan, keakuratan, kualitas dan relevansi dari sebuah berita. Kemampuan Integration yang berarti kemampuan untuk menganalisa, merangkum, menyimpulkan, membandingkan dan menginfirmasi sebuah informasi dari berbagai sumber. 

Kemampuan creating berkaitan dengan bagaimana seorang individu mampu beradaptasi, mengaplikasikan, menciptakan dan menulis sebuah informasi dengan baik dan benar. Sedangkan kemampuan terakhir adalah communicating yang berarti kemampuan untuk menyebarkan dan mengkomunikasikan informasi secara cepat dengan menggunakan platform yang tersedia.

Dalam mencapai semua kemampuan digital literacy tersebut, peran pendidikan sangatlah sentral. Meskipun telah memasukkan mata pelajaran Teknologi Informasi (TI) dalam kurikulum, sayangnya fokus materi masih terlalu menekankan tentang bagaimana cara mengoperasikan komputer dan fitur digital. Idealnya, pembelajaran TI juga memberikan materi tentang pentingnya digital literacy.

Di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Eropa contohnya, siswa telah diajari cara mengidentifikasi berita hoax sejak dini. Kegiatan ini menjadi bagian dari kurikulum. Biasanya, siswa akan diajak untuk mengenali ciri berita hoax dengan mengidentifikasi beberapa poin seperti kevalidan sumber berita, keotentikan gambar dalam website, kredibilitas penulis dll.

Mengingat betapa masifnya gejala share berita hoax dan dampak negatif yang dapat ditimbulkan, sistem pendidikan di Indonesia harus mulai mengintegrasikan nilai-nilai anti hoax terdapat siswa-siswi. Sekolah di Indonesia, mulai dari pendidikan dasar harus mulai mengajarkan tentang bahaya berita hoax dan bagaimana cara mencegahnya. Selain itu, sekolah juga harus memberikan edukasi dengan membuat kegiatan seperti pelatihan Safe Online Space dan menggunakan media sosial secara bertanggung jawab.

Namun, yang tidak kalah penting adalah bahwa Digital literacy tidak hanya menjadi tugas pemerintah. Keluarga, masyarakat dan juga lembaga pers memegang perananan strategis dalam mewujudkan digital literacy tersebut. Lingkungan keluarga dan masyarakat harus mulai sadar bahwa perkembangan teknologi informasi saat ini harus disikapi dengan langkah bijaksana, terutama dalam bermedia sosial.

Dengan peran aktif dari berbagai lini, diharapkan bahwa masyaraat akan memiliki kesadaran berinternet yang bagus. Sehingga, maraknya penyebaran berita hoax yang berujung pada ujaran kebencian dan intoleransi terutama di Indonesia dapat ditekan dan dihindari.

Kunto Nurcahyoko
Kunto Nurcahyoko
Pemerhati Pendidikan dan Pengajar Bahasa Inggris di STKIP Pamane Talino Kalimantan Barat. Aktif sebagai pendiri komunitas #SmallInitiatives yang bergerak dalam literasi anak dan pendidikan di daerah terdepan terluar dan tertinggal (3T)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.