Jauh sebelum kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, Islam telah mengatur tentang kesetaraan gender. Pada masa kegelapan atau jahiliyah (kebodohan), perempuan cenderung hanya diorientasikan sebagai objek pemuas seksual, dijual seperti perdagangan manusia tanpa ada martabat dan harga diri hingga disebut sebagai budak. Sejak awal dakwah Rasulullah alias Baginda Muhammad, perempuan ditempatkan pada posisi yang jauh lebih terhormat dibandingkan kondisi jahiliyah. Salah satu mekanisme yang dihadirkan adalah penanaman rasa malu. Melalui rasa malu, perempuan didorong untuk menjaga diri, menolak objektifikasi, dan menampilkan diri dengan wibawa.
Namun di era serba digital yang modern saat ini, rasa malu pada perempuan cenderung dinilai merupakan suatu kemunduran, padahal sejatinya rasa malu tersebut bukanlah suatu pengekangan atau menjadikannya sebuah upaya ketidaksetaraan gender terhadap perempuan.
Rasa malu hadir sebagai mahkota bagi perempuan guna menjaga harkat dan martabatnya. Melalui rasa malu, perempuan didorong untuk menjaga diri khususnya berinteraksi dengan lawan jenis, menolak objektifikasi dengan hanya bermodalkan kecantikkan layaknya seonggok daging pemuas birahi. Dimulai dengan berpakaian yang sopan dan tidak ketat hingga membentuk lekuk tubuh, berbicara seperlunya kepada lawan jenis, dan cara berinteraksinya dengan lawan jenis yang lebih sopan dan beradab layaknya makhota yang tidak semua orang pantas menyentuh apalagi memakainya.
Rasa malu tidak seharusnya dipahami sebagai penghalang perempuan untuk berkembang. Justru rasa malu dalam Islam mengupayakan perempuan untuk lebih selektif dalam bertindak tanpa merendahkan harga dirinya sendiri. Kita bisa melihat teladan seperti Aisyah r.a. selaku istri Rasulullah SAW. yang dikenal cerdas dan kritis, namun tetap menjaga adab dalam menyampaikan ilmu.
Aisyah merupakan sosok yang menampilkan keseimbangan antara rasa malu dan keberanian intelektual, menjaga kehormatan diri dan keluarganya, dan pada saat yang sama aktif menjadi sumber pengetahuan bagi generasi setelah Rasulullah. Dengan cara itu, rasa malu yang ia miliki justru mengangkat derajatnya sebagai perempuan yang dihormati karena integritas dan kapasitas keilmuannya. Banyak sahabat dan tabi’in menimba ilmu darinya, sehingga ia dijuluki sebagai salah satu periwayat hadis terbanyak dengan lebih dari dua ribu hadis.
Dalam konteks modern, fenomena dari Aisyah mengajarkan bahwa nilai perempuan dipandang mulia karena integritas dirinya, dengan menjaga penampilan yang seperlunya dan sopan tanpa membuat lawan jenis menjadi bergairah yang berpotensi membahayakan diri perempuan itu sendiri, tidak mudah memberikan akses atau bahkan membuat akses sendiri kepada lawan jenis.
Di saat seorang perempuan menanggalkan rasa malu, ia sedang membuka pintu bagi orang lain untuk merendahkannya. Perempuan yang mengabaikan rasa malu bukanlah tanda modern, melainkan tanda hilangnya harga dirinya sendiri. Rasa malu bukan belenggu, melainkan mahkota; siapa yang menjaganya akan terhormat, tetapi siapa yang melepaskannya akan kehilangan harga dirinya, keluarganya, dan agamanya.