Jelang sengketa hasil pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi kerap timbul bahasan atau persoalan klasik yang selalu terjadi. Sebagai lembaga peradilan penyelesai sengketa politik, MK yang digawangi para hakim konstitusi seringkali dibenturkan dengan asumsi-asumsi politis. Salah satunya menyangkut bagaimana penilaian terhadap persoalan hasil tersebut, apakah MK hanya menilai soal hasil pilkada semata atau juga legalitas dan konstitusionalitas proses pilkada yang mana hasilnya ditetapkan. Terlebih problematika saat proses pilkada yang sebelumnya telah ditangani Bawaslu dan lembaga lain yang diperintahkan Undang-Undang.
Mengacu pada kata “perselisihan hasil” maka seharusnya MK berkutat pada hasil perolehan suara yang telah ditetapkan. Namun sekali lagi, marwah lembaga MK sebagai pengawal demokrasi dipertaruhkan jika hanya menimbang angka-angka hasil rekapitulasi perolehan suara yang ditetapkan KPU. Pembatasan tersebut setidaknya berupaya mengurangi beban MK dan paling tidak “menghormati” penyelenggara pemilu/pemilihan dalam hal ini Bawaslu dan lembaga lainnya yang berwenang menangani pelanggaran pilkada. Dalam menelisik proses pilkada maka peran Bawaslu turut menentukan hasil persidangan di MK.
Jika melihat dalil yang diajukan pemohon, hampir sebagian besar mengenai proses pilkada yang telah berlalu seperti masalah pencalonan hingga daftar pemilih. Sehingga MK mau tidak mau mesti melihat rangkaian tahapan pilkada bersama KPU selaku pihak termohon dan Bawaslu sebagai pihak pemberi keterangan. Bawaslu yang menjalankan tugas pengawasan bersamaan dengan fungsi quasi yudisialnya diwajibkan memberi keterangan hasil pengawasan, tindak lanjut temuan/laporan serta penyelesaian sengketa proses. Sampai disini keterangan Bawaslu memiliki implikasi kuat terhadap pertimbangan hakim saat menangani sengketa hasil.
Kesinambungan Penanganan Sengketa
Konsistensi alur penanganan sengketa proses oleh Bawaslu dan lembaga lainnya menuju sengketa hasil oleh MK tak jarang menemui permasalahan. Dinamika penanganan pelanggaran saat tahapan pilkada yang diputus atau direkomendasikan Bawaslu acap kali bersinggungan dengan kewenangan MK khususnya menyangkut batas waktu.
Fakta yang terjadi saat ini putusan atau rekomendasi Bawaslu seringkali keluar setelah penetapan hasil pemilu maupun pilkada. Hal ini kemudian berpotensi mengganggu penyelesaian sengketa hasil di MK. Perihal ini, MK melalui putusan nomor 146-02-10/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 telah menegaskan bahwa berbagai permasalahan hukum pemilu yang ditemukan atau dilaporkan dan memengaruhi hasil pemilu harus diselesaikan sebelum ditetapkannya hasil pemilu. Meski putusan tersebut adalah Pemilu legislatif namun kerangka dan prosedur penanganan hukumnya hampir sama dengan pilkada.
Salah satu kasus yang terjadi pada Pilkada 2020 ialah putusan Bawaslu provinsi Lampung yang memutuskan pasangan calon walikota dan wakil walikota Bandar Lampung nomor urut 03 Eva Dwiana-Deddy Amarullah terbukti melakukan pelanggaran secara terstruktur, sistematis dan masif sebagaimana termuat dalam pasal 73 ayat 2 Undang Undang nomor 10 Tahun 2016 yaitu perbuatan memberikan dan/atau menjanjikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan/pemilih.
Putusan tertanggal 5 Januari 2021 itu juga memerintahkan KPU Bandar Lampung untuk membatalkan Keputusannya terkait penetapan Eva Dwiana-Deddy Amarullah sebagai pasangan calon. Putusan itu keluar sesudah rekapitulasi perolehan suara oleh KPU Bandar Lampung yang tertuang dalam SK tentang hasil rekapitulasi suara Pilkada Bandar Lampung. Bahkan SK tersebut juga sudah digugat ke MK. Diketahui bahwa paslon nomor urut 03 berhasil meraih perolehan suara terbanyak Pilkada tahun 2020.
Disatu sisi, putusan Bawaslu Lampung patut diapresiasi karena keberaniannya memutus pelanggaran bersifat TSM namun disisi lain persoalan limitasi waktu yang melewati penetapan hasil perolehan suara oleh KPU menjadi permasalahan tersendiri karena dapat terjadi tafsir baru upaya hukum pasca penetapan hasil (perolehan suara).
Bukan tidak mungkin akan muncul preseden adanya saluran hukum yang bisa ditempuh selain MK. Perlu ditegaskan kembali bahwa domain Bawaslu berada di proses sedangkan hasil pilkada ada di MK. Peran kedua lembaga ini sangat krusial dalam pengaturan hukum resolusi konfik pilkada sesuai jenjangnya. Penyelesaian sengketa pilkada dimulai dari tahapan proses lalu berlanjut ke hasil perlu didesain lewat regulasi yang ajek terutama soal waktu.
Limitasi Waktu dan Peran Bawaslu
Menurut Perbawaslu nomor 9 tahun 2020 tentang penanganan pelanggaran administrasi TSM, waktu penanganan berlangsung selama 14 hari. Penyampaian laporan dapat dilakukan sejak tahapan penetapan peserta pilkada sampai pada hari pemungutan suara dan setelah hari pemungutan suara.
Namun patut dicermati bahwa dalam melakukan penanganan pelanggaran TSM, Bawaslu juga harus melihat waktu rekapitulasi perolehan suara oleh KPU. Dengan harapan putusannya dapat dikeluarkan sebelum penetapan hasil suara. Sehingga putusan Bawaslu dapat menjadi bagian dari dinamika penetapan hasil rekapitulasi suara di KPU tanpa memicu interpretasi baru terkait prosedur penanganan sengketa hasil. Barulah setelah penetapan hasil suara, MK dapat berproses menilai pelanggaran secara kualitatif dengan melihat keterangan atau putusan Bawaslu.
Konstruksi yang harusnya dibangun bahwa penilaian hakim MK atas proses (pilkada) sejatinya bersifat pertimbangan-pertimbangan hukum manakala pelanggaran/sengketa proses itu mempengaruhi hasil perolehan suara tanpa berusaha menafsirkan ulang putusan Bawaslu.
Pengaturan limitasi waktu penanganan pelanggaran pilkada mendekati sengketa hasil sekiranya perlu dipertimbangkan untuk mencegah tumpang tindih kewenangan antar lembaga. Konsistensi siklus penyelesaian sengketa pemilu dan pilkada secara kelembagaan memiliki kontribusi penting bagi penegakan keadilan pemilu. Putusan atau rekomendasi Bawaslu mampu memberikan sudut pandang baru bagi hakim MK dalam mengeluarkan putusan tanpa menambah beban para hakim untuk melakukan pemeriksaan dan penilaian secara berulang.
Desain keadilan elektoral dengan pembagian tugas dan wewenang antar lembaga beserta periodisasinya yang jelas dan terukur mampu memberikan kepastian hukum sejak tahap proses hingga hasil penetapan calon terpilih. Selain itu, kepercayaan publik akan kualitas elektoral semakin terjamin dan tidak disibukkan dengan tontonan persaingan kewenangan antar lembaga yang nyatanya bersifat accident.