Jumat, November 8, 2024

Tulisan Tidak Berkualitas, Akar Rendahnya Minat Baca

Roy Waluyo
Roy Waluyo
Dosen, tinggal di Bogor
- Advertisement -

Hasil penelitian kelas dunia seperti Program for International Student Assessment (PISA) dan Central Connecticut State University (CCSU) menunjukan rendahnya tingkat literasi Indonesia. Menurut PISA, Indonesia berada pada ranking 62 dari 70 negara yang disurvei dan versi CCSU Indonesia ranking 60 dari 61 negara. Data lainnya adalah versi UNESCO, minat baca masarakat indonesia hanya 0,001%. Artinya dari 1000 orang cuma 1 orang yang rajin membaca. Dengan kata lain bila penduduk indonesia berjumlah 270 juta jiwa, hanya 270 ribu yang suka baca.

Sedikit paradoks, versi London Book Fair 2019, Indonesia justru merupakan negara paling produktif di ASEAN. Tidak kurang dari 30.000 judul buku diterbitkan setiap tahunnya. Posisi kedua, Malaysia 19.000 judul buku pertahun. Posisi ketiga Thailand, 17.000 judul buku per tahun. Posisi ke empat Singapura dengan 9.952 judul buku petahun. Urutan kelima Filipina dengan 7 ribu buku per tahun.

Apa benar minat baca kita serendah itu? Inisiator Pustaka Bergerak, Nirwan Ahmad Arsuka, menyatakan tidak setuju dengan hasil survey tersebut, yang secara tidak langsung menyatakan anak indonesia malas membaca. Kenyataan justru sebaliknya “minat baca masyarakat tinggi sekali, jika disodorkan buku-buku yang sesuai, mereka sangat antusias”. Terus kenapa minat baca tetap rendah?

***

Praktek penerbitan tanpa seleksi dan karya-karya penulis pemula yang terlalu terburu-buru menerbitkan buku merupakan double kill yang membuat 30.000 judul buku menjadi tidak berarti apa-apa. Artinya, meski jumlah jumlah judul buku yang tersedia cukup besar, ternyata banyak sekali diantara 30.000 judul tersebut merupakan buku-buku yang tidak berkualitas. Yang tidak lain merupakan buku-buku dari yang diterbitkan tanpa seleksi.

Penerbit hakikatnya adalah pebisnis. Tidak terlalu peduli apakah buku-buku yang berkembang berkontribusi atau tidak terhadap literasi. Ada dua model penerbitan, yaitu penerbit indie dan penerbit mayor. Menerbitkan buku, baik melalui penerbit mayor maupun indie, ketika ber-ISBN maka akan terdata di Perpusnas.

Penerbit mayor adalah perusahaan penerbitan yang skalanya sudah besar. Penerbit ini sudah punya nama brand yang besar. Oplah yang besar pula dan jaringan distribusi yang luas. Penerbit indie atau independen kadang disebut juga self publishing, kebalikan dari penerbit mayor. Dikenal dengan prosesnya yang cepat. Pada penerbit indie tidak perlu menunggu naskah diseleksi, karena sebagian besar penerbit indie memang tidak perlu menyeleksi secara rinci naskah. selama naskahnya tidak membahas seputar SARA.

Ini bukan perkara mana yang lebih baik antara penerbit indie dan penerbit mayor. Tentu keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Point pentingnya adalah bagaimana seleksi dan kontrol kualitas terhadap konten dari setiap naskah yang akan diterbitkan.

Ungkapan bahwa “menulis buku itu mudah”. Tidak sepenuhnya salah, terutama ketika kita menyamakan menulis dengan aktivitas membalas sebuah chat. Namun tentu lebih dari itu, tulisan dalam berbagai bentuknya harus memberikan manfaat bagi pembaca. Bahwa ada ungkapan lain “Setiap tulisan akan menemukan penikmatnya” hanya cocok ditujukan untuk genre tulisan. Bukan tentang kualitas. Artinya setiap genre tulisan akan menemukan penikmatnya. Asalkan berkualitas. Jangan diartikan “tulisan bagus atau jelek akan menemukan penikmatnya”.

Pegiat literasi, khususnya penulis pemula sebaiknya tidak terburu-buru menerbitkan buku solo, terutama ketika memilih penerbitan dengan jalur indie. Kenapa demikian karena dengan memilih jalur penerbitan indie, fungsi seleksi menjadi tanggung jawab penulis. Sebagai penulis pemula, selain masih perlu banyak bekal untuk menulis, menjadi tidak ideal, ketika seseorang berperan sebagai pembuat sekaligus pemeriksa.

- Advertisement -

***

Menerbitkan buku melalui penerbit mayor memang bukan perkara mudah. Alternatif nya adalah  mengirim tulisan pada berbagai event (lomba) kepenulisan atau ke media mainstream yang memang memiliki sistem seleksi yang baik. Kenapa harus media? Karena di situ ada seleksi. Bila tulisan kita lulus seleksi cukuplah itu sebagai pertanda tulisan kita layak dibaca orang lain.

Gerakan literasi untuk menumbuhkan budaya membaca dan mencerdaskan negeri harus diimbangi dengan tulisan-tulisan berkualitas. Buku bukan hanya kumpulan kata. Selain harus memiliki makna, juga harus disajikan secara menarik. Bagaimana pembaca selain bisa menangkap pesan juga bisa menikmati setiap kata yang ada di dalamnya.

Perlu ada regulasi termasuk grading dari pihak terkait untuk menjaga kualitas terbitan. Sebagaimana misalnya pada penerbitan jurnal ilmiah, kita mengenal SINTA (Science and Technology Index). Salah satu fungsi adalah menilai kinerja jurnal berdasarkan standar akreditasi dan sitasi

Adanya proses yang transparan yang dapat diperiksa, terutama terkait bagaimana proses penerbitan, mulai dari submisi naskah oleh penulis, sampai buku terbit. Apakah proses itu dilakukan oleh orang-orang yang kompeten? Apakah telah dilakukan plagiarism checker? Apa bedanya naskah dengan buku yang sudah ada? Semua ini bertujuan meningkatkan daya baca.

Saatnya kita mengembalikan buku pada khittah-nya. Jangan menulis  hanya sebagai alat personal branding, mengejar angka kredit untuk kenaikan pangkat atau hanya jadi hiasan di beranda sosial media. Jadikan buku sebagai penghibur dan pelipur. Sumber informasi yang membuka wawasan dan menambah pengetahuan. Buku yang mengembangkan cara berpikir. Buku sebagai sumber inspirasi. Agar kita segera Merdeka Literasi [RW]

Roy Waluyo
Roy Waluyo
Dosen, tinggal di Bogor
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.