Sabtu, April 20, 2024

Tragedi CFD Jakarta dan Limbah Demokrasi yang Kian Pekat

Yogi Febriandi
Yogi Febriandi
Penulis adalah Dosen di Jurusan Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh, Lhoksemawe dan Alumni SPK CRCS UGM

Secara sederhana demokrasi memberi kesempatan pada tiap individu untuk berbicara dan mengungkapkan pandangan dihadapan umum. Pengertian sederhana ini memberi kebebasan bagi individu yang celakanya juga memiliki sisi negatif. Dalam sistem demokrasi suara tidak dihitung dari kualitas, melainkan kuantitas. Hal ini kemudian membuat proses demokrasi beralih menjadi kegiatan berlomba-lomba mengumpulkan massa.

Proses berlomba-lomba mengumpulkan massa tersebut terkadang menimbulkan limbah demokrasi. Limbah demokrasi tersebut kian hari kian masif diproduksi oleh elite politik dan juga masyarakat. Layaknya limbah pabrik, limbah demokrasi apabila tidak di atasi dengan baik tentu mencemari cara kita bermasyarakat.

Dari kaos hingga aksi perundungan

Peristiwa perundungan pada kegiatan Car Free Day Jakarta tempo lalu memberi gambaran betapa limbah demokrasi kian mencemari cara kita bermasyarakat. Sekerumunan pria dewasa merundung dan melecehkan seorang ibu dan anak kecil. Kejadian ini terekam dalam video yang kemudian viral. Video tersebutpun mendapatkan tanggapan luas masyarakat, yang anehnya sebagian dari masyarakat malah mewajarkan tindakan tersebut.

Dari video tersebut terlihat latarbelakang perundungan boleh dikatakan sepele. Persoalan berpangkal pada perbedaan kaos yang digunakan. Beberapa waktu belakangan memang masyarakat Indonesia sedang digaduhkan oleh perang kaos yang mulanya dari sebuah hashtag di sosial media. Kini persoalan sepele tersebut berubah menjadi aksi perundungan dan adu kekuatan diantara masyarakat.

Dalam video tersebut Susi Ferawati terlihat menggunakan kaos #diasibukkerja sambil memegang erat anaknya. Disekeliling Susi dan anaknya terlihat sekelompok laki-laki menggunakan kaos #2019gantipresiden. Tak pelak, Susi dan anaknya menjadi bulan-bulanan tindakan perundungan kelompok massa yang menggunakan kaos #2019gantipresiden tersebut.

Perang kaos ini mulanya dilakukan oleh kubu oposisi yang dicetuskan oleh Mardani Ali Sera, Sekjen PKS. Ide ini kemudian menyebar dan semakin meluas karena diproduksi secara massal dan dijual bebas untuk masyarakat. Untuk menanggapi demam kaos #2019gantipresiden tersebut, simpatisan Jokowi membuat kaos tandingan bertuliskan #diasibukkeja. Sejak saat itu, kaos menjadi alat politik dan penanda sikap politik masyarakat.

Mengekspresikan sikap politik hingga ketidaksukaan terhadap presiden melalui kaos sebenarnya tidak bermasalah dalam sistem demokrasi. Meluapkannya dalam bentuk produksi massa tentu saja dibenarkan. Maka dari itu, persoalan kaos bertuliskan #gantipresiden2019 tidak bermasalah sama sekali. Begitupun dengan menggunakan kaos #diasibukkerja tentu pula tidak bermasalah.

Namun, memaksa orang lain untuk menggunakan kaos tersebut lain cerita. Ditambah dilakukan dengan cara mengintimidasi dan merendahkan orang lain didepan publik. Tindakan ini masuk dalam kategori perundungan ataupun persekusi. Tentu saja implikasinya ialah melanggar hukum.

Arogansi massa

Kejadian CFD Jakarta tempo lalu, bisa jadi membuka babak baru dari kisruh politik yang mulai muncul paska pemilihan presiden 2014. Sejak pemilihan presiden 2014, perbedaan pandangan politik memang kentara dalam menimbulkan disharmonis di masyarakat. Tingginya sentimen antar pendukung satu tokoh dan tokoh lain menjadi faktor utama disharmonis ini. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan pihak-pihak yang disokong oleh elite politik untuk terus dijaga hingga (mungkin) 2019 nanti.

Boleh dikatakan, suksesnya pola ‘perundungan massa’ yang juga pernah dilakukan pada pilgub Jakarta membuat elite politik yang berkepentingan kian pede dalam menerapkan cara kerja seperti ini. Elite politik kian percaya diri bahwa tindakan tersebut mendapatkan dukungan dan kewajaran oleh masyarakat. Setidaknya itu dapat dilihat dari cuitan Mustofa Nahrawardaya melalui akunt twitternya @NetizenTofa yang bukan bersimpati terhadap aksi perundungan, justru menyalahkan Susi Ferawati yang membawa anak pada acara tersebut.

Bermainnya elite politik dalam menjaga kondisi disharmonis seperti saat ini, tentu saja dipengaruhi oleh libido kekuasaan yang tinggi. Libido kekuasaan tersebut terlihat dalam pengoperasian cara kerja demokrasi yang tidak fair dengan memperkeruh saluran demokrasi. Alhasil Masyarakat terus-menerus terbiasa menciptakan limbah dari proses demokrasi.

Kini limbah demokrasi tidak hanya hadir dalam kampanye SARA, namun juga dalam bentuk arogansi massa. Kejadian yang menimpa Susi Ferawati dapat dilihat sebagai bentuk baru limbah demokrasi yang memanfaatkan arogansi massa dalam menghadapi perbedaan sikap politik. Arogansi yang berpayung pada jumlah massa tersebut sepertinya akan terus menghantui proses demokrasi di Indonesia kedepannya.

Pendewasaan sikap demokrasi elite politik

Limbah tentu tidak mungkin dinihilkan dalam proses demokrasi. Maka dari itu, terburu-buru menyalahkan demokrasi juga tidak tepat. Persoalannya bukan pada sistem demokrasi, akan tetapi proses demokrasi yang tidak fair.

Untuk itu cara paling mungkin dilakukan untuk mengurangi limbah demokrasi ialah dengan merawat proses demokrasi agar tidak menghasilkan limbah yang banyak. Untuk itu, tindakan tegas dalam menjernihkan saluran demokrasi menjadi penting.

Proses pemilihan legislatif kedepan dapat menjadi bahan ujian kita bersama dalam merawat saluran demokrasi bebas dari politik arogansi massa. Partai politik harus memiliki kesadaran untuk tidak  bermain pada isu-isu sentimen dalam meraup dukungan massa. Keberanian partai politik melawan kampanye SARA dan persekusi massa harus diaktualisasikan secara tegas. Tidak lagi hanya sekedar wacana kampanye semata. Pendewasaan partai politik mutlak diperlukan dalam kondisi bernegara seperti saat ini.

Selain itu masyarakat juga perlu bersikap berani dalam melawan limbah aksi perundungan dan juga arogansi massa. Sikap Susi Ferawati dapat menjadi contoh dalam melawan perundungan dan arogansi massa. Keberanian mutlak diperlukan agar limbah demokrasi tidak semakin pekat dan semakin sering diproduksi.

Yogi Febriandi
Yogi Febriandi
Penulis adalah Dosen di Jurusan Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh, Lhoksemawe dan Alumni SPK CRCS UGM
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.