Definisi yang luas tentang toxic femininity mencakup tekanan yang dihadapi perempuan untuk menyesuaikan diri dengan sifat dan karakteristik stereotip feminin serta definisi kewanitaan yang kaku dan represif. Empati, kepekaan, kelembutan, dan keanggunan adalah karakteristik yang secara tradisional dikaitkan dengan feminitas.
Dalam masyarakat patriarki, toxic femininity mengikuti biner gender untuk menerima nilai bersyarat. Ini adalah konsep yang mengharuskan perempuan untuk bersikap lembut, kooperatif, pasif, tunduk secara seksual, dan mendapatkan nilai dari kecantikan fisik mereka agar disukai oleh laki-laki.
Toxic femininity menegaskan bahwa perempuan tidak memiliki pilihan selain didefinisikan dan dihargai oleh laki-laki dalam kehidupan mereka, seperti ayah atau suami.
Toxic femininity mendukung penerimaan diam-diam terhadap kekerasan dan dominasi untuk bertahan hidup, sedangkan toxic mascunility mempromosikan kekerasan dan dominasi untuk mempertahankan dinamika kekuasaan yang tidak setara.
Di sisi lain, toxic femininity mendorong perempuan untuk menjadi pendiam, patuh, dan menarik, sementara toxic mascunility mendorong laki-laki untuk bersikap keras, tidak menunjukkan emosi, dan menolak apa pun yang dianggap feminin. Dalam hal ini, istilah “kewanitaan” didefinisikan secara dangkal yang merendahkan martabat dan mengobjektifikasi perempuan.
Setiap pikiran, tindakan, atau perilaku yang menguntungkan atau merugikan orang lain biasanya laki-laki dengan mengorbankan otonomi, kebebasan, dan berbagai emosi, serta kesehatan emosional dan mental perempuan dianggap sebagai toxic femininity.
Meskipun toxic masculinity dan toxic femininity tampak seperti dua sisi mata uang yang sama, kekuasaanlah yang mendorong laki-laki untuk memainkan peran yang agresif, kasar, mengintimidasi, dan dominan secara seksual untuk mempertahankan kekuasaan, dan perempuan berusaha menyenangkan mereka yang berkuasa untuk menghindari rasa sakit dan hukuman.
Laki-laki dan perempuan terlibat dalam toxic masculinity dan toxic femininity dalam upaya mempertahankan nilai sosial mereka. Laki-laki dan perempuan diajarkan bahwa harga diri, nilai, dan keabsahan mereka sebagai laki-laki dan perempuan bergantung pada kepatuhan mereka pada toxic masculinity dan toxic femininity. Toxic femininity, seperti halnya toxic mascunility, terdiri dari segudang aturan yang spesifik secara budaya. Konstruksi sosial ini mendorong perilaku tunduk pada perempuan dan memberdayakan laki-laki dengan menyatakan bahwa kekerasan dapat diterima.
Tidak seperti toxic mascunility, toxic femininity adalah hasil dari masyarakat patriarki. Meskipun diskusi tentang istilah ini di luar lingkungan akademis dapat mengarah ke sisi antifeminis, konsepsi feminitas yang berbahaya ini semakin menyangkal agensi atau identitas perempuan. Istilah ini digunakan untuk melawan diskusi feminis tentang toxic masculinity dengan argumen reaksioner.
Gagasan bahwa perempuan secara alamiah sangat emosional, manipulatif, atau suka bergosip adalah salah satu contoh stereotip berbahaya tentang perilaku feminin yang disebarkan ketika istilah “toxic femininity” digunakan dengan fokus pada laki-laki sebagai korban utama.
Akibatnya, para akademisi telah menyarankan orang-orang untuk mempertimbangkan aspek-aspek apa saja dari beberapa pendekatan terhadap feminisme yang berbahaya daripada menggunakan istilah ini dengan cara yang tidak akurat atau manipulatif. Misogini yang terinternalisasi adalah perilaku yang paling umum disebut sebagai contoh toxic femininity.
Toxic femininity ditandai dengan seperangkat aturan dan peraturan khusus individu yang terus berubah. Misalnya, beberapa orang mungkin menganggap perlu mengenakan sepatu hak tinggi untuk bekerja.
Dalam masyarakat, wanita yang mempraktikkan toxic femininity dapat diberi penghargaan, sementara mereka yang tidak dapat dihukum. Dinamika ini dipaksakan oleh mereka yang berada dalam posisi otoritas untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Sebagai contoh, sebuah studi tahun 2016 terhadap 14.600 orang di tempat kerja menemukan bahwa perempuan yang kurang menarik tetapi terawat dengan baik mendapatkan penghasilan rata-rata lebih banyak daripada perempuan yang lebih menarik tetapi kurang terawat. Hal ini mengindikasikan bahwa kebiasaan dandanan perempuan bertanggung jawab atas hampir semua perbedaan gaji yang ditemukan dalam kelompok penelitian ini. Di sisi lain, para pria dalam penelitian ini menghabiskan sekitar separuh waktu mereka untuk merawat diri.
Hasilnya, para peneliti sampai pada kesimpulan bahwa, meskipun pria mendapatkan keuntungan dari perawatan yang tepat, wanita harus mempraktikkannya jika mereka ingin mengambil keuntungan dari peluang di tempat kerja.
Di sisi lain, sebuah studi tahun 2018 tentang penggunaan kosmetik perempuan di tempat kerja menemukan bahwa riasan yang digunakan untuk acara sosial malam hari berdampak negatif pada persepsi orang tentang kemampuan kepemimpinan perempuan. Para peneliti berhipotesis bahwa hal ini mungkin terjadi karena sifat-sifat yang mempercantik riasan penting untuk menjalin hubungan dan memiliki keluarga, yang bertentangan dengan gagasan bahwa dominasi sosial dalam kepemimpinan itu penting.
Meskipun kesimpulan mereka berbeda, penelitian-penelitian ini menyoroti paradoks kecantikan perempuan, di mana perempuan dihakimi karena tidak mengikuti standar kecantikan yang ideal sekaligus dipermalukan karena mencarinya. Dengan kata lain, peraturan tidak terlalu penting dibandingkan dengan rasa tidak aman yang ditimbulkannya. Perempuan didorong untuk mengikuti aturan-aturan tersebut karena kekakuan dan kontradiksi.
Toxic femininity berbahaya karena menganggap penaklukan perempuan sebagai sesuatu yang alamiah dan diperlukan untuk mendapatkan persetujuan sosial. Dalam keputusasaan ini, perempuan menjadi lebih mudah dikendalikan dan dieksploitasi.
Misalnya, perempuan yang merasa terdorong untuk tetap berada dalam situasi yang tidak aman atau yang dilecehkan dapat menyerah pada tekanan untuk menjadi pendiam, patuh, dan mengasuh.
Sederhananya, toxic femininity berdampak buruk bagi perjuangan kesetaraan perempuan karena ingin mempertahankan struktur dan sistem kekuasaan gender yang beracun dan kaku yang sudah ada saat ini.
Alih-alih mendukung, merayakan, dan mendorong perempuan untuk menjadi diri mereka sendiri sepenuhnya, toxic femininity justru memaksa perempuan untuk merasa menyesal, bingung, dan malu atas pemikiran, ide, dan keyakinan mereka yang menegaskan stereotip gender.
Selain itu, perempuan terbelenggu pada definisi ulang femininitas yang kaku yang tidak melayani kepentingan siapa pun karena mereka takut untuk mende-gender-kan diri mereka sendiri melalui perilaku manusia yang netral.
Namun, terlepas dari fakta bahwa toxic femininity mungkin tampak ada di mana-mana, banyak contoh feminitas yang diwujudkan dan otentik. Berbagai penggambaran feminitas yang berbeda ini tidak mengikuti aturan yang ditetapkan dan menekankan kemandirian dan individualitas.