Pagi itu, saya datang ke kantor seperti biasa, selesai menyiapkan alat pekerjaan di meja, segera memasak air, menyeduh kopi. Sekitar 30 menit kemudian, beberapa teman mulai berdatangan. Okto, salah satu teman sekantorku yang cukup mudah diindentifikasi dari badannya yang kurus kering seperti ilalang di musim kemarau, langsung menyalakan TV
“Ada siaran langsung upacara HUT TNI di TV, mau liat Presiden Jokowi sama Jenderal Gatot” ujarnya, bermaksud memberikan alasan atas tindakan yang dia lakukan. Aku bukan tidak mengetahui bahwa TNI sedang menempuh HUT yang ke 72, tetapi mengenai siaran langsung itu, memang aku belum tahu sama sekali.
Sekilas aku lihat, Presiden Jokowi duduk bersebelahan dengan Jenderal Gatot, pikiranku langsung tertuju pada isu yang lagi hangat belakangan ini, mengenai Jenderal Gatot dan informasi soal 5.000 pucuk senjata dari intelijen. Banyak pihak yang kemudian menyangkutkan tindakan beliau itu dengan PILPRES 2019. Isu yang menarik untuk menggelitik opini publik, tetapi terlalu terbiasa, karena praktis siapa saja tokoh yang terlihat sering muncul di publik, pada akhirnya akan diisukan dengan PILPRES 2019. Jenderal Gatot hanya satu di antara yang lain, kita lihat saja, toh 2019 masih lama.
Sekitar 15 menit menonton siaran langsung tersebut, tibalah saatnya Presiden Jokowi menyampaikan sambutan, tidak banyak yang bisa saya cerna, karena perhatian saya terbagi, menonton sambil mengerjakan laporan di laptop. Satu hal yang paling saya ingat adalah penegasan presiden tentang peran TNI, beliau mengutip pesan Jenderal Sudirman tentang jati diri TNI bahwa politik tentara politik negara, politik TNI adalah politik negara, loyalitas TNI adalah loyalitas negara. Kesan dari penegasan ini menurut saya sekaligus respon beliau terhadap maraknya isu mengenai Jenderal Gatot akhir-akhir ini.
Sejenak pikiranku terbang menuju romansa saat aku kecil dulu, aku pernah bercita-cita menjadi TNI, alasannya cukup sederhana, melihat gagahnya BABINSA di desa-ku, beliau cukup disegani, selalu diundang untuk mengamankan setiap acara di desa, mulai dari acara resmi pemerintah sampai acara keluarga. Badan tegap dengan rambut cepak, memeluk senjata, dengan senyum yang sekali-sekali. Tetapi sayang, cita-cita berangsur pudar seiring kompleksnya lingkungan yang mempengaruhi, khususnya finansial.
Orang-orang kaya di desaku, didominasi oleh pemilik kebun kelapa, memiliki pola sendiri dalam melanjutkan pendidikan anaknya. Kalau anaknya perempuan, maka dikuliahkan di bidang kesehatan (bidan, dokter, perawat, dll). Kalau anaknya laki-laki, maka angkatan bersenjata menjadi pilihan utama (TNI dan POLRI). Hal ini tidak lain dilatarbelakangi oleh adanya anggapan bahwa bidang-bidang pendidikan tersebut menjanjikan kesejahteraan. Pola ini sudah berlangsung sangat lama, sudah banyak anak laki-laki dari desa-ku yang menjadi anggota TNI, pada akhirnya hal ini menjadi gengsi dan meningkatkan status sosial. Demi mendapatkan gensi yang dimaksud, maka berbagai cara pun dilakukan, ratusan juta pun melayang demi anaknya.
Benarkah menjadi anggota TNI itu mampu menyejahterakan? Banyak jawaban yang bisa diungkap, tergantung dari sudut pandang masing-masing, yang jelas TNI adalah abdi negara, artinya semua kebutuhan hidupnya akan ditanggung oleh negara. Sayangnya, negara kita bukanlah negara dengan cadangan dana yang banyak (negara kaya), mau tidak mau setiap anggaran harus disesuaikan. Pada akhirnya, kalau hanya menggantungkan hidup dari negara, saya pikir ya hidup mereka akan biasa-biasa saja. Sudah banyak bukti untuk membuktikan itu. Di sisi lain, banyak juga anggota TNI yang kaya raya dengan caranya masing-masing.
Pada akhirnya, dengan momentun HUT TNI ke 72 ini, pemilihan tema “Bersama Rakyat TNI Kuat” harus mampu dibuktikan dengan pelibatan aktif anggota TNI di setiap sendi-sendi kehidupan rakyat. Semoga.