Isu “serbuan” Tenaga Kerja Asing (TKA) kembali menjadi polemik di masyarakat. Berbagai media gencar memberitakan terkait isu tersebut. Termutakhir, seperti dilansir Detik (27/04/18) Kepala Staf Kepresidenan Jenderal (Purn) Moeldoko mengaku menemukan ada ribuan tenaga kerja asal China di Morowali. Sontak hal tersebut menjadi perhatian serius dari berbagai kalangan.
Perdebatan semakin memanas setelah pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 20 tahun 2018 yang membahas tentang TKA. Pihak yang kontra menganggap kebijakan tersebut menjadi karpet merah masuknya TKA ke Indonesia. Sebagian pihak menganggap masuknya TKA ke Indonesia berbahaya bagi kondisi ketenagakerjaan tanah air.
Argumentasi utamanya yaitu di Indonesia jumlah pengangguran masih tergolong tinggi lebih dari 7 juta jiwa. Sehingga masuknya TKA dapat memperuncing persaingan dalam mendapatkan pekerjaan. Dalam peringatan Mayday 2018 hari ini pun, ada beberapa serikat buruh yang menganggap TKA sebagai isu utama.
Sebelumnya, DPR dengan reaktif ingin membentuk hak angket TKA. Seperti dilansir detik news, pada Kamis (26/04/2018) Wakil Ketua DPRD Fadli Zon menggalang tanda tangan anggota DPR untuk mendukung pansus TKA. Acara tanda tangan pansus angket TKA itu dihadiri Waketum Gerindra Ferry Juliantono bersama Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal. Mereka menganggap seakan-akan serbuan TKA sudah menjadi ancaman serius bagi bangsa, terlebih TKA asal Tiongkok.
Namun muncul pertanyaan, apakah isu TKA memang harus diwaspadai masyarakat khususnya kaum buruh? Bagaimana seharusnya buruh menyikapi hal tersebut?
Beberapa kalangan menganggap bahwa TKA tidak perlu dijadikan permasalahan. Pasalnya jumlah TKA di Indonesia menurut data Kemenakertrans (2017) hanya sebanyak 85,9 ribu orang. Sementara jumlah tenaga kerja Indonesia adalah 121 juta, itu artinya rasio TKA di Indonesia sebesar 0,07%.
Rasio tersebut terendah di kawasan ASEAN. Dibandingkan dengan Malaysia saja rasio TKA-nya 12% dengan jumlah TKA 1,8 juta orang berbanding 15 juta tenaga kerja. Lalu jika dibandingkan dengan Singapura di 2017 rasio TKA-nya mencapai 60,9% dengan jumlah TKA 1,4 juta orang dan jumlah tenaga kerja 2,3 juta. Sementara rasio TKA Thailand 4,5%, Vietnam 0,14%. Rasio paling tinggi menurut data MPS Census 2010 yaitu Qatar, yang rasio TKA-nya mencapai 94,5% dengan jumlah TKA sebesar 1,2 juta orang dan tenaga kerja 1,3 juta orang. Lalu Uni Emirate Arab 96% dan Amerika Serikat 16,7%.
Di sisi lain, jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja ke luar negeri jumlahnya juga fantastis. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, pada 2016 jumlah WNI yang berada di luar negeri sebanyak 4,3 juta jiwa. Sebagian besar dari mereka adalah pekerja migran. Tentu jumlah tersebut selalu mengalam peningkatan setiap tahun. Pada 2017, menurut da BNP2TKI jumlah TKI di Malaysia saja sebanyak 2,7 juta jiwa, Taiwan 248 ribu, Jepang 18 ribu, Hongkong 180 ribu, Korsel 42 ribu, Singapura 160 ribu, dan yang berada di China sebesar 81 ribu TKI.
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia
Selain fakta di atas, banyaknya permasalahan perburuhan di Indonesia menjadikan tidak relevan untuk mengkhawatirkan TKA akan berbondong-bondong ke Indonesia. Logikanya, ikan tidak akan bermigrasi ke air yang keruh dan tercemar. Menurut penulis ada beberapa permasalah perburuhan di Indonesia yang membuat TKA “enggan” masuk ke Indonesia. Selain itu, masalah di bawah ini yang lebih penting untuk diperjuangkan dari pada mempertajam sentimen SARA melalui isu TKA.
Pertama, masalah upah murah. Posisi upah minimum regional (UMR) Indonesia terbilang cukup rendah se ASEAN. berdasarkan laporan tren ketenagakerjaan International Labour Organization(ILO) 2015, rata-rata upah buruh Indonesia sebesar US$ 174 per bulan. Angka ini hanya lebih tinggi dari rata-rata upah buruh di Kamboja yang sebesar US$ 119 per bulan dan Laos US$ 121.
Namun, rata-rata upah buruh di Indonesia ini kalah dibandingkan dengan Vietnam yang telah mencapai US$ 181 per bulan. Kemudian juga kalah dengan Filipina sebesar US$ 204 per bulan, Thailand US$ 357 per bulan, Malaysia US$ 506 per bulan dan Singapura US$ 609 per bulan. Bila dibandingkan dengan Tiongkok, upah minimumnya dua kali lebih besar dari pada Indonesia yaitu US$ 363 per bulan.
Selain itu masalah pengupahan di Indonesia menjadi lebih parah setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan PP 78/2015 tentang pengupahan. Melalui kebijakan tersebut pengupahan di Indonesia menjadi fleksibel menyesuaikan “kemampuan” pengusaha. Poin utama dari PP yang sampai sekarang masih menuai protes dari kalangan buruh adalah kenaikan upah mengikuti mekanisme pasar.
Kenaikan upah dihitung berdasarkan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Upah Tahun sekarang + (( Upah tahun sekarang x (pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) + persentase inflasi)). Rumus tersebut mengabaikan komponen hidup layak (KHL) serta menghilangkan peran serikat buruh dalam penetapan upah. Selain itu, ekonomi (PDB) ditambah dengan inflasi selama ini hanya sekitar 10 persen.
Singkatnya, dengan UMR yang rendah ditambah adanya PP pengupahan, maka kondisi upah di Indonesia akan stabil di titik tersebut. Tidak akan terjadi lompatan kenaikan upah yang signifikan. Kita ambil contoh di Morowali (daerah yang katanya banyak terdapat TKA), berdasarkan UMP Provinsi Sulawesi Tengah, upah minimum tahun 2018 sebesar Rp 1.965.232, hanya naik 8,71 persen dari upah tahun 2017. Tentu jauh jika dibandingkan dengan di Tiongkok.
Kedua, pasar tenaga kerja fleksibel (TKF). Kebijakan pasar tenaga kerja fleksibel masih menjadi salah satu penyebab buruh di Indonesia jauh dari kata sejahtera. Melalui tercantum dalam UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan, pemerintah menyediakan instrumen dalam bentuk kebijakan sistem kerja yang temporer, yaitu sistem kerja kontrak, alihdaya (outsourcing), harian lepas, borongan, rumahan, serta sistem kerja magang.
Pada Kawasan Industri Bekasi,sekitar 48,6 persen terdiri dari buruh kontrak dan outsourcing (Nugroho, 2016).Di bawah relasi industrial yang lentur tersebut buruh di Indonesia tidak mendapat kepastian kerja. Bisa sewaktu-waktu diberhentikan atau diganti. Tidak berlebihan jika kebijakan pasar kerja fleksibel dianggap memiliki sifat predatoris (Juliawan, 2010; Mather, 2004; Nugroho, 2017).
Ketiga, rendahnya keselamatan kerja. Aliansi Rakyat Peduli K3 menilai kondisi kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di Indonesia masih sangat memprihatinkan yang ditunjukkan dengan beberapa kecelakaan kerja yang mengakibatkan kematian dalam kurun waktu yang berdekatan. Menurut data BPJS Ketenagakerjaan, sepanjang 2017 terjadi 123 ribu kasus kecelakaan kerja. Jumlah tersebut meningkat sebesar 20 persen dibandingkan 2016.
Isu Kesejahteraan
Sedikit permasalahan di atas menunjukkan kondisi perburuhan di Indonesia masih jauh dari sejahtera. Dibandingkan dengan Negara tetangga pun masih kalah. Upah murah, PHK sepihak, TKF dan K3 alih-alih menjadi perhatian, pemerintah malah sibuk dengan urusan TKA yang dibesar-besarkan.
Secara substansial di mana pun tempatnya, kondisi dan posisi buruh sama. Mempermasalahkan TKA hanya akan mengaburkan isu yang lebih penting dan mempertajam sentimen SARA.