Selasa, September 2, 2025

Titik Sunyi, Tan Malaka, dan Sindrom Perhatian

Multazam Ahmad
Multazam Ahmad
Founder Mata Project Indonesia
- Advertisement -

Ada satu hal yang pelan-pelan saya pahami dalam hidup: bahwa perjuangan bukan hanya tentang keramaian, tepuk tangan, dan pengakuan. Perjuangan, pada titik-titik tertentu, justru berwujud sunyi. Sunyi yang kadang melukai, tapi sekaligus mendewasakan.

Saya mengalaminya secara nyata. Purwokerto adalah saksinya. Di tengah darurat pandemi 2020–2021, ketika tren penurunan dan peningkatan kasus COVID silih berganti, organisasi yang saya cintai harus mengambil keputusan besar. Kami tidak punya kemewahan untuk menunggu. Maka dari Purwokerto lahirlah prototipe baru: muktamar tanpa ruang fisik, tanpa tatap muka, hanya dengan tekad bahwa gagasan bisa melampaui sekat ruang dan jarak. Muktamar itu berjalan dengan dahsyat, menjadi bukti bahwa sejarah bisa diciptakan bahkan di tengah keterbatasan.

Namun sejarah sering menyelipkan ironi. Sesudah Purwokerto, saya justru menghadapi impeachment di Yogyakarta. Saya dijatuhkan, dipinggirkan, bahkan distigma tidak relevan, tidak berkapasitas, dan lebih jauh lagi—dicap sebagai orang timur yang terbelakang. Dari panggung yang ramai, saya didorong masuk ke ruang yang sunyi. Sunyi yang dingin, tapi justru di situlah saya menemukan ulang dasar-dasar hidup saya.

Tan Malaka dan Jejak Sunyi

Kisah saya mungkin hanya serpihan kecil, tetapi ia menemukan resonansi pada seorang tokoh besar bangsa: Tan Malaka. Ia adalah pejuang yang sepanjang hidupnya bersentuhan dengan sunyi. Dibuang, diasingkan, bahkan dianggap berbahaya oleh kawan sendiri. Berkali-kali ia dipinggirkan karena gagasannya dianggap terlalu radikal atau tidak sejalan dengan arus besar.

Namun justru dalam sunyi itulah ia melahirkan karya-karya besar. Madilog bukan lahir di tengah gegap gempita, melainkan dalam ruang sepi pengasingan. Tan Malaka membuktikan bahwa seorang pejuang bisa kehilangan panggung, tapi tidak kehilangan gagasan.

Hari ini, nama Tan Malaka kembali populer, dikaji ulang, dan disambut oleh generasi muda yang haus akan pemikiran segar. Ironi pun terungkap: apa yang dulu dianggap nyeleneh ternyata kini terasa relevan. Ia kalah dalam forum, tetapi menang dalam sejarah.

Ada cermin yang jelas di sana: saya belajar menerima bahwa sunyi bukanlah tanda kekalahan, melainkan tipik perjuangan itu sendiri. Bahwa dicap “tidak relevan” bukan berarti kita salah, melainkan tanda bahwa kita sedang berada satu-dua langkah di depan.

Sindrom Perhatian dan Dunia Digital

Selama lebih dari sepuluh tahun saya mengamati dunia digital kita, saya melihat pola yang berulang: keramaian ada di mana-mana, tetapi kedalaman semakin jarang. Informasi berlimpah, tetapi komunikasi kehilangan ruhnya.

Saya menyebutnya Control Attention Syndrome (CAS)—sindrom perhatian yang membuat kita sibuk mengejar atensi, tapi lupa pada substansi. Akibatnya, komunikasi berhenti pada dua tahap awal: penyampaian pesan dan penyebaran pesan. Semua orang ingin bicara, semua orang ingin viral, tetapi jarang ada ruang untuk membangun kesepakatan bersama.

Padahal, sejatinya komunikasi bukan hanya tentang menyampaikan dan menyebarkan. Ia harus sampai pada titik ketiga: kesepakatan, atau minimal pemahaman bersama. Tanpa itu, komunikasi hanyalah kebisingan.

- Advertisement -

Saya melihat titik kosong itu sebagai titik sunyi komunikasi. Sebuah ruang yang hening, karena jarang dihuni. Ruang di mana seharusnya ada dialog, tapi yang terdengar hanya monolog. Ruang di mana seharusnya ada pertemuan, tapi yang hadir hanya lalu-lalang pesan yang saling mendesak tanpa sempat bertaut.

Sunyi sebagai Obat dari CAS

Dari Purwokerto, dari impeachment di Yogyakarta, dari kisah Tan Malaka—saya belajar satu hal penting: sunyi adalah obat dari sindrom perhatian. Sunyi memaksa kita berdiri sendiri, tanpa tepuk tangan. Sunyi mengajari kita bahwa gagasan tidak perlu selalu populer hari ini; asal ia jujur dan teguh, kelak ia akan menemukan jalannya sendiri.

Jika Tan Malaka menyerah pada sunyi, mungkin kita tidak akan pernah membaca Madilog hari ini. Jika saya menyerah pada impeachment, mungkin saya akan berhenti melangkah. Tetapi saya memilih untuk percaya bahwa sunyi bukanlah akhir, melainkan ruang untuk mengasah ketahanan batin, membersihkan niat, dan menata ulang arah.

Refleksi untuk Kita Hari Ini

Bangsa ini butuh lebih banyak orang yang tahan sunyi. Kita tidak kekurangan orang pandai berbicara, berteriak, atau mengejar sorak-sorai. Tetapi kita kekurangan orang yang sanggup bertahan di ruang gelap, mengolah gagasan tanpa pengakuan instan, dan menunggu dengan sabar hingga waktunya tiba.

Tan Malaka memberi teladan itu. Sejarah mencatatnya bukan karena ia selalu di panggung, melainkan karena ia konsisten di jalan sunyi. Dan saya, dalam kadar kecil saya sendiri, pun merasakannya: bahwa impeachment, stigma, pengucilan—semua itu hanyalah tipik perjuangan yang harus dijalani.

Di hadapan CAS yang mendera generasi kita, saya ingin menegaskan satu hal: jangan biarkan hidup kita dikendalikan oleh perhatian sesaat. Karena sorak-sorai bisa hilang, panggung bisa runtuh, tapi keyakinan yang lahir dari sunyi akan bertahan jauh lebih lama.

Pada akhirnya, sunyi bukan musuh. Sunyi adalah guru. Dan siapa pun yang berani berdamai dengan sunyi, dialah yang akan menulis sejarah.

Multazam Ahmad
Multazam Ahmad
Founder Mata Project Indonesia
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.