Perkembangan teknologi dan informasi mendorong lahirnya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Lahirnya UU ITE sesungguhnya hendak mengatur aktivitas manusia di media sosial agar bersih, beretika dan produktif.
Sebagai bagian dari peradaban manusia, perkembangan teknologi dan informasi tak bisa dihindari. Perkembangan ini mendorong pemerintah untuk memikirkan kembali bagaimana aktivitas manusia di media sosial dan bagaimana pengaturan hukumnya.
Wacana lahirnya UU ITE sebetulnya sudah ada sejak masa pemerintahan Gus Dur dan masa pemerintahan Megawati, namun pada saat itu wacana ini belum bisa diwujudkan menjadi undang-undang. UU ITE baru bisa diwujudkan menjadi undang-undang, yakni di masa pemerintahan SBY.
Melihat hal ini, ada dua hal yang perlu dicatat: Pertama, wacana lahirnya UU ITE di masa pemerintahan Gus Dur dan pemerintahan Megawati seyogyanya memperlihatkan bahwa pemerintah saat itu sudah jauh ke depan memikirkan tentang bagaimana perlunya pengaturan hukum aktivitas manusia di media sosial.
Kedua, sebagai akibat dari perkembangan teknologi dan informasi, pengaturan hukum aktivitas manusia di media sosial dimaksudkan untuk mendorong dan menciptakan aktivitas media sosial yang bersih, beretika dan produktif.
Dalam sejarahnya, UU ITE itu lahir dari dua RUU sebelumnya, yakni RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi dan RUU e-Commerce. Dua RUU ini kemudian di gabung menjadi satu, yang kemudian menjadi UU ITE. Di sini lah cikal bakal lahirnya UU ITE.
Di dalam UU ITE mengatur tiga hal: Pertama, mengatur e-Commerce, seperti marketplace. Kedua, mengatur tindak pidana teknologi dan informasi, seperti unggahan bernuansa suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), kebencian, hoaks, hingga pencemaran nama baik. Ketiga, mengatur soal akses ilegal, seperti hacking, penyadapan, perusakan sistem, dll.
Yang menarik dan yang menjadi sorotan adalah soal penggunaan UU ITE atau implementasi UU ITE, terutama yang berkaitan dengan ujaran kebencian, unggahan yang bernuansa suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), hoaks, pencemaran nama baik sering kali menjadi alat penguasa untuk membungkam dan menghamtam orang-orang yang kritis terhadap pemerintah.
Pasal karet dalam undang-undang ini banyak memakan korban. Misalnya, Jumhur Hidayat, petinggi KAMI yang kemudian menjadi korban UU ITE. Ia diduga menyebarkan ujian kebencian yang bernuansa suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) di tengah gelombang arus penolakan besar-besaran terhadap undang-undang Cipta Kerja.
Korban lainnya, misalnya, Buni Yani. Buni Yani kemudian menjadi korban UU ITE. Ia diduga telah menghina Ahok atau mencemarkan nama baik Ahok. Ini adalah beberapa contoh korban dari UU ITE, dan masih banyak korban-korban lainnya dari UU ITE.
Secara sosiologi hukum, kehadiran UU ITE mungkin akan merubah perilaku masyarakat bermedia sosial, agar bagaimana menggunakan media sosial dengan baik, lebih hati-hati dan bijak. Namun, dalam kondisi tertentu (dalam kekuasaan tertentu), kekuasaan yang anti terhadap kritik, UU ITE bisa menjadi alat bagi penguasa untuk membungkam orang-orang yang kritis dan orang-orang yang tidak sejalan dengan pemerintah. Psikososial politik Indonesia beberapa dekade terakhir sangat mengkhawatirkan.
Psikologi publik dan ketakutan publik sering kali dimanfaatkan oleh kekuasaan untuk membungkam orang-orang yang kritis melalui UU ITE. Dari rentang sejarah disahkannya undang-undang ITE sampai hari ini banyak sekali memakan korban, bahwa penggunaan hukum melalui kekuasaan yang “otoriter” dan UU ITE membunuh demokrasi yang sedang dibangun.
Di tinjau dari aspek politik hukum, UU ITE: Pertama, UU ITE dibuat dalam dinamika politik yang demokratis. Kedua, meskipun dibuat dalam dinamika politik yang demokratis (kekuasaan yang demokratis), UU ITE praktisnya “cenderung” konservatif, ortodoks dan elitis.
Ini menggambarkan apa? Ini menggambarkan bahwa tidak selamanya kemudian undang-undang yang dibuat dalam kekuasaan yang demokratis itu responsif. Adakalanya undang-undang yang dibuat dalam dinamika politik yang demokratis, tapi kemudian undang-undangnya “cenderung” konservatif, ortodoks dan elitis. Salah satunya adalah UU ITE ini.
Secara teoritis, kekuasaan yang demokratis akan menghasilkan undang-undang yang responsif. Kekuasaan yang otoriter akan menghasilkan undang-undang yang konservatif, ortodoks dan elitis. Namun hal ini berbeda dengan UU ITE, kekuasaan yang demokratis menghasilkan undang-undang yang responsif, akan tetapi praktisnya “cenderung” konservatif, ortodoks dan elitis. Penekanannya adalah ada pada implementasi UU ITE atau penggunaan hukum dan kekuasaan yang “otoriter”.
Artinya, tidak ada konsep tunggal bahwa kekuasaan yang demokratis akan menghasilkan undang-undang yang responsif. Kekuasaan yang otoriter akan menghasilkan undang-undang yang konservatif, ortodoks dan elitis. Bisa jadi kekuasan yang demokratis menghasilkan undang-undang yang konservatif, ortodoks dan elitis. Atau kekuasaan yang otoriter menghasilkan undang-undang yang responsif. Tidak ada jaminan untuk itu, tergantung pada dinamika politik dan kekuasaan.
Dalam konteks ini, ada dua hal yang perlu dicatat dalam pembentukan dan implementasi UU ITE: Pertama, UU ITE merupakan produk hukum yang dibuat dalam kekuasaan yang demokratis, yakni dibuat di masa pemerintahan SBY.
Kedua, implementasi UU ITE dalam kekuasaan yang berbeda, yakni di masa pemerintahan SBY dan di masa pemerintahan Jokowi, dengan dinamika politik dan sosial yang berbeda, setting teknologi dan informasi yang berbeda, kepemimpinan yang berbeda, sehingga mempengaruhi corak dan watak implementasi UU ITE juga berbeda.
Bagi penganut das sein melihat bahwa hukum dipengaruhi oleh politik. Aktivitas-aktivitas politik mempengaruhi aktivitas-aktivitas hukum. Penganut das sein melihat hukum sebagai ancaman. Dengan demikian, sebagaimana doktrin das sein, UU ITE menjadi ancaman bagi kebebasan berekspresi, berpendapat dan keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Di masa pemerintahan Jokowi, kebebasan berekspresi, berpendapat dan nasib demokrasi di Indonesia dipertaruhkan.
Berbeda dengan penganut das sollen, penganut das sollen melihat politik dipengaruhi oleh hukum. Aktivitas-aktivitas hukum mempengaruhi aktivitas-aktivitas politik. Bagi penganut das sollen melihat hukum sebagai solusi. Dengan demikian, sebagaimana doktrin das sollen, pengaturan hukum aktivitas manusia di media sosial melalui UU ITE untuk menjaga agar media sosial bersih, beretika, produktif,_lebih baik, lebih hati-hati dan bijak sebagai solusi.
Agar UU ITE tidak memakan korban lagi dan tidak menjadi ancaman bagi kebebasan berekspresi, berpendapat dan keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Pertama, UU ITE sebaiknya harus segera direvisi, terutama pasal-pasal karet, yang multitafsir dan diskriminatif. Kedua, menghapus penggunaan hukum atau penggunaan pasal-pasal karet, diskriminatif dan multitafsir dalam UU ITE, baik penggunaan hukum yang dilakukan oleh penguasa maupun penggunaan hukum yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum (APH).
Ketiga, bijaklah dalam bermedia sosial, membangun dan menciptakan aktivitas media sosial yang bersih, beretika, produktif_lebih baik, lebih hat-hati dan bijak dalam menggunakan media sosial. Keempat, berdewasalah dalam berpikir dan dalam berpolitik, maka dengan ini kita bisa leluasa, lebih jujur untuk berekspresi, menyampaikan pikiran dan pendapat, dan mengambalikan demokrasi pada relnya.