Kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk dari pelanggaran hak asasi manusia. Korban kekerasan seksual tidak terbatas pada perempuan saja, namun juga laki-laki, lansia, maupun anak-anak.
Komnas perempuan menemukan setidaknya ada sembilan bentuk kekerasan seksual, yakni: pelecehan seksual; eksploitasi seksual; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan aborsi; perkosaan; pemaksaan perkawinan;pemaksaan pelacuran; perbudakan seksual; dan penyiksaan seksual.
Sebagai konstitusi, UUD 1945 mengatur masalah ini secara tersirat dalam Pasal 28G dan Pasal 28I. Pasal 28G UUD 1945 Mengatur Hak Memperoleh Perlindungan.
Makna Pasal 28G UUD 1945 menerangkan hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi (termasuk data pribadinya), keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Kemudian, pasal yang sama juga menerangkan hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Pasal 28I UUD 1945 Mengatur Hak atas Pemenuhan HAM
Makna Pasal 28I UUD 1945 menerangkan bahwa ada sejumlah hak asasi manusia yang melekat pada tiap-tiap individu yang mana hak tersebut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Kemudian, setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan atas perlakuan yang bersifat diskriminatif. Pasal yang sama juga menerangkan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional harus dihormati dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Lalu, untuk menegakan dan melindungi HAM sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan HAM harus dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan.
Senada dengan UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur perihal hak warga negara untuk bebas dari kekerasan seksual. Dalam Pasal 4 menyebut adanya hak setiap orang untuk hidup, tidak disiksa dan tidak diperbudak.
Adapun selama ini, penanganan kasus tindak kekerasan seksual mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan selama kurun waktu 1998 – 2011 menunjukkan bahwa 25% data kekerasan terhadap perempuan (KtP) adalah kekerasan seksual. Kondisi ini menunjukkan bahwa KtP banyak yang mengarah pada atribut seksual.
Konstruksi gender sebagai konstruksi sosial yang tumbuh dan berkembang di masyarakat selama ini lebih banyak menempatkan perempuan sebagai obyek seksual, makhluk kelas dua yang potensial mengalami kekerasan dan diskriminasi. Bahkan keberadaan perempuan acapkali dianggap sebagai pemicu terjadinya tindakan kekerasan seksual, mulai dari yang bersifat pelecehan seksual hingga perkosaan, eksploitasi seksual dan perbudakan seksual.
Tingkat Hukuman
Sanksi bagi pelaku Kekerasan Seksual di lingkungan kampus diberikan kepada pelaku, baik pelaku yang berasal dari ASN (dosen dan tenaga kependidikan), dan siapapun yang bekerja di PTKI (pegawai BLU, dosen non ASN, pekerja outsoursing, dan siapapun yang bekerja di PTKI), serta mahasiswa PTKI, meliputi:
1. Sanksi Ringan:
Sanksi ringan diberikan atas perbuatan pelaku sebagaimana dimaksud dalam Tabel 2 tentang Tata Cara Penindakan.Adapun Tata Cara Penjatuhan Sanksi, pelaku akan mendapat surat pemanggilan dari Dewan Etik untuk:
a) Mendapatkan peneguran dari Dewan Etik;
b) Membuat surat pernyataan tidak mengulangi lagi perbuatannya;
c) Meminta maaf kepada korban disaksikan pihak-pihak terkait;
d) Mendapat penindakan/pembinaan (edukasi) mengenai etika dosen/pendik/pegawai/ASN/mahasiswa untuk memahami pola relasi sehat yang menghargai hak-hak perempuan, nilai-nilai anti kekerasan, dan pemahaman tentang konsekuensi hukum bila pelaku terus menerus menjadi pelaku kekerasan seksual.
2. Sanksi Sedang:
Adapun tata cara penindakan terhadap pelaku pelanggaran kekerasan seksual akan mendapat surat pemanggilan dari
Dewan Etik untuk:
a) Mendapatkan peneguran dari Dewan Etik;
b) Membuat surat pernyataan tidak mengulangi lagi pebuatannya;
c) Meminta maaf kepada korban disaksikan pihak-pihak terkait,
d) Diberikan penindakan/pembinaan (edukasi) dengan meng ikuti program konseling perubahan perilaku;
e) Bila PTKI belum memiliki SDM yang memberikan konseling psikologis perubahan perilaku, maka pihak kampus akan merujuk ke lembaga yang kompeten di bidangnya.
f) Diberikan sanksi yang merujuk pada PP No. 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, bagi ASN atau pihak-pihak yang bekerja untuk PTKI, atau sebagaimana kode etik mahasiswa bagi para mahasiswadan sanksi kumulatif diberikan sebagaimana tercantum dalam Tabel 1 tentang Sanksi/Hukuman.
g) Dilaporkan kepada Polisi atas permintaan korban, atau pihak kampus/mahasiswa bila perilaku pelaku sudah dianggap meresahkan sebagaimana termaktub pada Tabel 2 Tentang Tata Cara Penindakan/Pembinaan.
3. Sanksi Berat:
Adapun tata cara penindakan terhadap pelaku pelanggaran kekerasan seksual akan mendapat surat pemanggilan dari Dewan Etik untuk:
a) Mendapatkan peneguran dari Dewan Etik,
b) Membuat surat pernyataan tidak mengulangi lagi perbuatannya;
c) Meminta maaf kepada korban disaksikan pihak-pihak terkait;
d) Diberikan sanksi yang merujuk pada PP No. 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, bagi ASN atau pihak-pihak yang bekerja untuk PTKI, atau sebagaimana kode etik mahasiswa bagi para mahasiswa, dan sanksi kumulatif diberikan sebagaimana tercantum dalam Tabel 1 tentang Sanksi/Hukuman.
e) Dilaporkan ke Polisi dengan dukungan pihak kampus ter hadap korban