Berjalan satu gerbong menjadi makna simbolis berakhirnya “perseteruan” antara Jokowi dan Prabowo dalam pertarungan pemilihan presiden 2019. Setelah sekian lama publik menanti-nantikan kapan kedua tokoh ini akan bertemu, akhirnya hasrat ini dapat tertuntaskan dengan kejadian tersebut.
Sejatinya dalam pertarungan memang tidak terjadi perselisihan setelah diumumkan mana yang menang dan kalah. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa sistem politik di Indonesia adalah politik yang transaksional. Politik memerlukan dana yang sangat besar mengingat kampanye dilaksanakan se-Indonesia.
Pihak yang kalah perlu mengejar posisi-posisi penting dalam pemerintahan demi mewujudkan cita-cita mereka. Maka dari itu banyak terjadi gertakan yang dilemparkan kepada pihak yang menang demi mencapai kesepakatan negosiasi politik.
Makna simbolis di level kulit yang ditunjukkan dalam media massa cukup untuk meredam hati rakyat dan mengurangi perselisihan. Namun bukan tidak mungkin sebelum pertemuan tersebut terjadi kesepakatan politik yang terjadi Antara dua kubu. Entah posisi apa yang disepakati, namun pasti posisi penting.
Hal di atas terjadi di level elit pemerintah. Di sisi lain, ternyata masyarakat akar rumput masih banyak yang belum berdamai, bahkan cenderung kecewa dengan keputusan Prabowo yang memilih untuk rekonsiliasi. Mereka merasa kecewa karena orang yang selama ini mereka rasa dibela, ternyata berputar arah.
Masyarakat terlalu mengedepankan sisi emosional dalam membela sesuatu. Ini didukung oleh kepiawaian persuasif politisi dalam memainkan hati para pendukungnya. Pidato yang menggelegar dan pemilihan kata yang apik membuat para relawan ini rela berjuang mati-matian.
Kita memang sudah terbiasa tidak kritis. Dogma menjadi hal yang lebih lumrah dari pada sifat skeptis terhadap suatu hal. Hal ini menjadi hal yang sangat berbahaya dalam dunia politik. Bualan palsu politisi mampu merasuki pikiran dan hati pendukungnya sampai-sampai mereka rela menjadi pion terdepan.
Politik didasari atas presentase kekuasaan dan perwakilan. Semakin banyak orang yang terwakili, maka kekuatan politik semakin kuat. Ketika orang yang terwakili semakin banyak dan oposisi semakin sedikit, maka kekuasaan menjadi absolut, yang mana tidak baik untuk demokrasi.
Rakyat yang terwakili bukan hanya mewakili daerah saja namun yang paling penting adalah mereka mewakili golongan. Dasar penggolongan ini bisa bermacam-macam, suku, ideologi, agama, dan lain-lain. Ketika perbandingan antara satu golongan dengan golongan yang lain sangat besar, maka polarisasi akan semakin terlihat dan kuat.
Pada saat polarisasi terjadi begitu besar, maka kita memiliki dua kubu yang hampir sama kuat. Jika kita melihat presentase mungkin terlihat perbedaan suara cukup besar yaitu tujuh belas persen. Namun yang kita tidak sadar, ada puluhan juta orang yang mungkin tidak setuju dengan ideology atau kebijakan kubu yang menang. Hal ini yang menyebabkan proses perkelahian di akar rumput masih berjalan lama.
Untuk meredam polarisasi tersebut, tentu kubu pemenang harus mengakomodasi golongan yang kalah. Pada akhirnya kubu yang menang harus menjaga stabilitas emosi masyarakat. Cara termudah adalah dengan menyenangkan pemimpinnya, yaitu tokoh politik yang menjadi kiblat para relawan.
Hal-hal di atas lah yang mendasari akhirnya mereka satu gerbong di MRT dan makan bersama serta direkam puluhan media. Menunjukkan bahwa mereka sudah berdamai, pula sudah bertransaksi.