Jumat, April 19, 2024

Tidak Ada Pekerja Migran dalam Debat Perdana Calon Presiden

Yovi Arista
Yovi Arista
Alumnus Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro. Saat ini bekerja bersama organisasi masyarakat sipil. Tertarik membahas isu sosial, politik dan pemerintahan.

Debat perdana semestinya menjadi tolok ukur pertama bagi pemilih untuk menilai bagaimana kemampuan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden menyampaikan narasi dan argumentasi. Begitupun bagi kandidat Calon Presiden dan Wakil Presiden, debat perdana harusnya menjadi ajang yang strategis untuk menunjukkan kapabilitas mereka kepada publik dan masyarakat pemilih.

Dalam Pemilu 2019, Komisi Pemilihan Umum mengagendakan lima rangkaian debat yang disiarkan langsung dan dibagi secara tematis, dengan rancangan formasi yang berbeda-beda. Ada yang melibatkan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, ada sesi debat khusus untuk Calon Presiden, juga sesi khusus untuk Calon Wakil Presiden. Debat pertama telah dihelat pada 17 Januari 2019 dengan tema hukum, HAM, korupsi dan terorisme.

Performa kedua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam debat perdana memunculkan banyak penilaian. Ada yang menilai baik, ada pula yang menilai kurang. Sementara jika meninjau substansi debat, sepertinya kedua pasangan kandidat belum mengeksplorasi materi-materi secara strategis. Untuk isu hukum dan HAM misalnya, banyak isu-isu strategis yang tidak terbahas atau disampaikan oleh kedua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Salah satunya adalah isu pekerja migran.

Jika membaca peta pembagian tematik Debat Pemilihan Presiden 2019, memang isu pekerja migran akan lebih mengarusutama dalam debat ketiga yang bertemakan pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, sosial dan budaya.

Namun sebetulnya, banyak dimensi isu pekerja migran yang bisa diangkat dan sangat berkaitan dengan tema hukum, HAM, korupsi dan bahkan terorisme. Karena sebagaimana diketahui, banyak kasus-kasus pekerja migran beririsan dan bahkan masuk kategorisasi kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di lintas batas negara. Mulai dari pelanggaran hak untuk dilindungi, hak berkomunikasi, hak politik, serta hak-hak fundamental lainnya.

Dalam dimensi penegakan hukum dan HAM misalnya, pasangan calon nomor urut 01 semestinya dapat menyampaikan upaya-upaya progresif dalam penegakan hukum dalam perlindungan pekerja migran. Salah satunya, pengesahan Undang-Undang No.18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) yang disahkan oleh Calon Presiden petahana.

UU PPMI secara substansi menjadi landasan hukum yang transformatif dalam memberikan perspektif perlindungan yang lebih kuat dan komprehensif dalam tata kelola perlindungan pekerja migran ketimbang regulasi sebelumnya. Di sisi yang lain, pasangan calon nomor urut 02 juga sebetulnya dapat mengkritisi bagaimana UU PPMI belum terimplementasi dengan baik karena masih banyak celah permasalahan serta terdapat aturan turunan yang belum rampung digarap oleh Pemerintah.

Terkait korupsi, tentu kita bisa merelevansikan kerawanan praktik korupsi dalam tata kelola migrasi tenaga kerja di Indonesia yang kemudian mengarah pada kejahatan perdagangan orang. Merunut waktu ke belakang, di tahun 2014, Kepala Dinas Ketenagakerjaan Kupang dinyatakan terlibat langsung dalam pembuatan dokumen perjalanan palsu dan melindungi proses pengiriman anak sebagai buruh migran.

Kasus keterlibatan aparat penegak hukum dan mafia peradilan juga dapat dijadikan sebuah contoh. Masih dari Nusa Tenggara Timur, di tahun 2015, seorang Brigadir Polisi harus mengalami kriminalisasi berupa hukuman indisipliner karena bertentangan dengan atasannya yang terlibat dalam mata rantai perdagangan orang. Maraknya kasus korupsi yang sejalan lurus dengan situasi perdagangan orang di Nusa Tenggara Timur ini yang juga kemudian menjadikan wilayah ini sebagai zona darurat trafficking.

Belum lagi menyoal terorisme, situasi terkini sebetulnya telah menunjukkan bagaimana kerentanan pekerja migran pada pusaran sel-sel radikalisme dan ekstremisme di berbagai belahan dunia. Keterbukaan akses dan minimnya upaya-upaya mitigasi dalam proses migrasi tenaga kerja menjadikan pekerja migran di beberapa wilayah terindikasi dan bahkan terlibat langsung dalam aksi terorisme.

Rangkaian situasi di atas sebetulnya telah menunjukkan betapa isu pekerja migran sangat beririsan dengan tema debat calon presiden yang pertama. Namun sayang, tidak ada satu pun sudut pandang ini digunakan sebagai perspektif konkrit yang diterjemahkan dalam retorika debat. Kedua pasangan calon masih tersandera pada persoalan makro dan batas kontekstual yang sempit.

Padahal jika merujuk dokumen visi, misi dan program kerja, kedua kandidat memiliki peluang untuk memperkuat dan mengeksplorasi argumentasi berdasar kerangka visi dan misi yang dibuat. Bahkan di antaranya ada yang secara eksplisit mencantumkan perlindungan pekerja migran Indonesia sebagai subyek rencana kerja. Namun disayangkan, pada helat debat perdana calon presiden dan wakil presiden, pekerja migran masih termarjinalkan dalam konteks hukum, HAM, korupsi dan terorisme.

Yovi Arista
Yovi Arista
Alumnus Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro. Saat ini bekerja bersama organisasi masyarakat sipil. Tertarik membahas isu sosial, politik dan pemerintahan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.