Senin, Oktober 14, 2024

The Social Dilemma: Logika Eksploitatif Media Sosial

Tri
Tri
Pengajar di Sanggar Merah Merdeka. Sedang buka warung kopi kecil-kecilan.

Seorang teman baru bebas dari dunia gelap. Mengkonsumsi narkoba menjadi gaya hidupnya. Padalah kehidupannya tak terlalu suram bagi ukuran kelas menengah. Tapi kehidupannya itu terasa tak pernah cukup. Sehingga ketika merasa sendiri, sedikit dilupakan, tanpa tujuan, marah, atau sedih, narkoba menjadi jalan keluarnya.

Ada yang hilang darinya. Yang hilang adalah sifat-sifat alamiahnya sebagai manusia. Sifat alamiah dari manusia ialah menjalin hubungan dengan sebanyak mungkin manusia lain untuk tujuan-tujuan tertentu, berinteraksi secara langsung dalam komunitas dan bekerja sama menghasilkan sesuatu untuk dinikmati bersama.

Sifat itu yang perlahan terkikis. Mengapa? Sebab penyintas narkoba terus merasa dirinya berada di kelas sosial terbawah secara moral. Mereka menututup diri bagi hadirnya orang sekitar dan membatasi pergaulan hanya pada orang yang bergaya hidup sama.

Itu yang setidaknya kita jumpai pada penyintas media sosial (penyintas media sosial adalah sebutan bagi pengguna media sosial yang kecanduan mengakses media sosial).

Keduanya mempunyai kesamaan pada banyak aspek. Salah satunya ialah para penyintas menghasrati suatu objek secara berlebihan. Efek psikologis dari keadaan memaksa penyintas untuk menggunakan narkoba ataupun media sosial secara terus-menerus.

Dampak dari kegiatan candu itu adalah gejala klinis yang ‘menular’ pada gejala sosialisitas individu. Penyintas mengalami depresi dan cenderung antisosial.

Pada tahun 2019, Marissa Anita memutuskan berpuasa media sosial selama satu bulan. Puasa media sosial artinya tidak menggunakan sama sekali media sosial selama jangka waktu yang bebas ditentukan.

Pemain film Perempuan Tanah Jahanam ini tanpa sadar mengalami banyak kemunduran dalam hidupnya, terkhusus keadaan psikologis. Ia sering mengalami hal dimana ia merasa “sulit fokus, sering cemas, lelah secara mental dan emosi. Seakan tak punya cukup waktu dalam sehari, insecure, tak sabar, susah tidur,” ujarnya di laman youtube Greatmind.

Beberapa orang mungkin sadar akan gejala-gejala psikologis akibat kecanduan media sosial. Tetapi dari beberapa itu, sedikit yang berani bersikap dan meredefinisi ulang signifikansi media sosial, apakah sebagai kesenangan tanpa kendali atau sebagai kesenangan yang terkendali.

Lantas, apa yang sebenarnya mengendalikan kesenangan yang tanpa kendali dan sekaligus kesenangan yang terkendali itu?

Logika Eksploitatif Media Sosial

Media sosial ialah sarana penghubung yang bersifat global. Pemuda dari pinggiran kota Jakarta akan bisa terhubung dengan pemudi di kedai kopi di tepi sungai Venesia, Itali. Ini dimungkinkan sebab media sosial diciptakan atas motivasi yang baik, yakni membuat manusia diseluruh dunia terhubung.

Pada ranah sekunder, media sosial juga menimbulkan efek buruk yang sialnya juga bersifat global. Misalkan, Polarisasi politik, rasisme, politik identitas, disinformasi dan sebagainya (Lihatlah kembali Pilpres di tahun 2014. Betapa dekaden dan terbelahnya masyarakat Indonesia).

Pada ranah primer, rusaknya mentalitas individu, distorsi ruang publik menjadi ruang privat, individualis, kemunduran dalam sisi relasi dan komunikasi juga tak terperikan. Sebagai contoh, seorang teman dapat mengakses Instagram dalam sekali momen selama empat jam untuk sekedar melihat bagaimana kehidupan orang lain di Instastory.

Menonton The Social Dilemma memberi pelajaran tentang bagaimana cara kerja eksploitatif media sosial. Garis besar film bergenre drama dokumenter itu adalah memberikan pemahaman tentang apa latar belakang dan tujuan media sosial diciptakan—dengan segala sifat destruktif dan konstruktif yang dikandungnya—langsung dari beberapa narasumber yang pernah memiliki posisi krusial di beberapa media sosial seperti Instagram, Facebook, Google, Twitter, Linkedln, Youtube, Pinterest dan sebagainya.

Terlepas dari sifat destruktif diatas, film yang di sutradari oleh Jeff Orlowski itu menampakkan adegan yang wajib di refleksikan tentang bagaimana mekanisme algoritma.

Algoritma dianalogikan dalam bentuk visual oleh Jeff. Algoritma menyerupai ruangan kecil yang terdapat tiga manusia sebagai operator yang mengendalikan sebuah mesin control dan memantau semua aktivitas penggunanya selama 24 jam. Apa yang Anda tonton, apa yang Anda sukai, hal apa yang memungkinkan Anda mengakses selama mungkin, terekam dengan rapi oleh algoritma sebagai big data.

Dalam big data analisa kualitatif dilakukan: menghimpun semua kecendrungan psikologis dan membuat prosentase matematis atas semua kecendrungan yang ada—untuk selanjutnya menyajikan kembali objek-objek yang sesuai dengan kecendrungan psikologis pengguna. Pada titik ini pula manusia di distorsi posisinya menjadi objek dan proses eksploitasi dimulai dengan metode Klik dan Iklan.

Gejala-gejala mental dan sosial adalah dampak negatif dari bisnis media sosial. Manusia dijadikan objek dalam arti yang sebenarnya: komoditas yang hidup serupa dengan pohon pinus. Dengan mengandaikan distorsi manusia menjadi objek ekonomi kita dapat mengetahui bahwa dimensi eksploitatif media sosial adalah fenomena yang implisit.

Semua kecendrungan psikologis manusia adalah asas probabilitas bagi relaitas ekonomi. Kenikmatan manusia menjadi yang paling aktual dan prediktif untuk mendulang laba. Dalam konteks media sosial, kecendrungan psikologis manusia berubah maknanya menjadi sarana pertukaran antara perusahaan teknologi dan pengiklan.

Hermann Heinrich Gossen, seorang ekonom dan salah satu pelopor pendekatan nilai berbasis utilitas dalam bukunya The Laws of Human Relation (1853), “mengasumsikan bahwa manusia yang dibahas oleh ilmu ekonomi adalah manusia sebagai agensi yang bertujuan memaksimalkan kenikmatannya. Seorang agen ekonomi disebut rasional bila seluruh tindakannya diatur berdasarkan pertimbangan untuk mengoptimalkan kenikmatan” (Suryajaya, Asal Usul Kekayaan; 2016: 122).

Kecanduan media sosial mengamini asumsi Gossen, dimana manusia beramai-ramai mencari kenikmatan semaksimal mungkin. Tindakan rasional ekonomi untuk mengoptimalkan kenikmatan menjadi sisi tersembunyi yang akan terus-menerus menjadi dasar perhitungan ekonomis bagi perusahaan teknologi.

Salah satu narasumber ialah Tristan Harris, mantan Google Former Design Ethicist, dan sekaligus pendiri dari Center For Human Technology, ia menyiratkan bahwa solusi jangka pendek untuk mengatasi gejala primer dan sekunder dari sifat destruktif media sosial adalah dengan menyadarkan terlebih dulu bahwa pada dasarnya manusia telah hidup dalam sebuah matrix atau sebuah kotak—sebelum mununtut orang tersebut berbalik mengevaluasinya.

Masyarakat wajib memahami bahwa media sosial bukanlah obat penenang atas semua gejala mental kehidupan manusia. Dunia nyata tetap lebih manusiawi bagi setiap kehidupan manusia untuk merasakan kebahagiaan dan—bahkan, penderitaan yang hakiki. Puasa media sosial mungkin adalah solusi temporer yang bisa dicoba untuk mengurangi dampak negatif media sosial.

Tri
Tri
Pengajar di Sanggar Merah Merdeka. Sedang buka warung kopi kecil-kecilan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.