Dalam riwayat tentang Isa Al-Masih atau Yesus, bisa dibilang telah cukup lama saya mempelajari kisah hidupnya dan ajarannya. Saya mempelajari sosok kenabian Isa Al-masih atau Yesus ini dari kedua tradisi keagamaan besar (Islam dan Kristen) melalui kitab suci dan kitab keagamaan lainnya (Al-Quran, hadits, kitab para ulama, Injil Kanonik, dan Injil Barnabas), serta buku-buku sejarah agama pada umumnya dan secara khusus (seperti buku Yesus besutan Leith Anderson), atau bahkan dari penjelasan para teolog-filsuf Kristen itu sendiri seperti Martin Luther, Karl Barth, Jean-Luc Marion, dan lainnya, di samping tentu saja dari para sarjana dan cendikiawan muslim.
Selain itu, produk-produk budaya seperti film dengan beragam versinya, sangat membantu saya dalam memahami lebih jauh dan membangunan imajinasi secara “konkret” tentang sosok Isa Al-Masih atau Yesus: 1) Film The Passion of The Christ (2004) besutan Mel Gibson; 2) The Gospel According To St. Matthew (1964), yang uniknya dari film ini dibuat oleh seorang penulis dan ateis ternama asal Italia bernama Pier Paolo Pasolini; 3) Dalam sudut pandang Islam terdapat sebuah film berjudul The Messiah (2007) besutan Nader Talebzadeh, seorang sutradara asal Iran, dan terakhir; 4) The Last Supper (2025), yang mengikuti sudut pandang kekristenan Barat, disutradarai oleh Mauro Borrelli serta ditulis oleh dirinya sendiri dan John Collins.
Dalam hal ini, saya pun hendak membicarakan dari salah satu sumber yang telah saya pelajari, yaitu dari film The Last Supper. Saya akan menguraikan secara ringkas alur cerita dan narasi yang hendak dibangun dalam film The Last Supper, terutama yang menurut saya penting, sebagai objek pembahasan dari artikel singkat ini.
Tujuan saya dalam mempelajari kehidupan dan ajaran dari Isa Al-Masih atau Yesus, khususnya melalui film The Last Supper ini, adalah untuk mencari tahu dan membandingkan perihal apa yang tetap dan berubah, di titik mana dan sejauh mana perbedaannya dan kesamaannya, serta apa yang bisa kita petik dari ajaran Nabi Isa atau Yesus dalam tradisi keagamaan Islam dan Kristen. Walaupun, sebagai seorang muslim, saya pun menyadari bahwa ada perbedaan mendasar (akidah) dan signifikan dari kedua tradisi keagamaan itu (Islam dan Kristen) dalam kisah kehidupan dan ajaran Nabi Isa Al-Masih atau Yesus.
Akan tetapi, bukan berarti hal tersebut menjadi hambatan bagi saya, atau seorang muslim lainnya, untuk mempelajari sejarah kehidupan dan ajaran beliau dalam proses belajar dan pencarian kebenaran, terutama dengan tujuan untuk memperteguh keyakinan kita atas ajaran Islam. Sebagai seorang pembelajar, saya pun harus berani untuk melepaskan asumsi-asumsi keagamaan yang telah saya dapatkan sekaligus telah dianggap mapan sejak dulu oleh masyarakat pada umumnya, dan berusaha untuk bersikap kritis dan “objektif” saat mempelajari kisah hidup dan ajarannya tersebut, meskipun bukanlah perkara yang mudah.
Lalu apa alasan saya memilih film The Last Supper, dan bukan yang lainnya? Sederhana saja, karena film ini baru dirilis dan tengah ramai diperbincangkan. Ada banyak tokoh keislaman seperti Habib Jafar, misalnya, yang membahas pengalamannya secara selintas saat menyaksikan film The Last Supper, selain sebagai misi toleransi keberagamaan di Indonesia juga untuk mempelajari kehidupan Nabi Isa Al-Masih dalam versi kekristenan.
Di sisi lain, tak sedikit pula dari kalangan teman-teman muslim yang enggan dan fobia untuk menyaksikan dan mempelajari film-film bernuansakan sejarah keagamaan atau drama sejarah semacam The Last Supper ini karena alasan keimanan. Menurut saya, hal tersebut sah-sah saja, meskipun terlihat konyol juga, dalam arti apakah karena sebuah film membuat keimanan seseorang secara otomatis bisa lenyap begitu saja.
Memang benar, apabila tingkat keimanan seseorang itu berbeda-beda dan tak dapat diprediksi seumpama roller coaster: bisa naik, bisa turun, secara mendadak. Walaupun tak bisa diprediksi, setidaknya, masih bisa diukur. Karena itu, pertanyaannya sederhana, apakah keimanan seorang muslim hanya diukur dari sebuah film, misalnya, jika seseorang melihat film itu berarti ia telah kehilangan keimanan, karena secara tak langsung telah menyetujui apa yang ada di dalam film tersebut? Dan apakah masyarakat muslim kita hari ini akan selalu menutup diri atau fobia ekstrem dengan berbagai produk pengetahuan dan kebudayaan (film, seni atau karya sastra, misalnya) yang memiliki muatan kekristenan atau ajaran agama lain, atau dihasilkan dari seorang sosok yang memiliki keyakinan yang berbeda dari diri kita?
Dalam kasus semacam ini, ada baiknya kita sedikit menengok pada penjelasan Imam Nawawi al-Bantani. Di dalam Kasyifatus Sajah (trj. Arab-Indonesia; 2018), Syekh Nawawi memaparkan bahwa terdapat lima tingkatan dalam keimanan di antaranya; iman taklid, iman ilmu, ainul yaqin, iman haq (haqqul yaqin), dan iman hakikat.
Semua tingkatan keimanan itu, menurut Syekh Nawawi, adalah mulia karena bersumber dari Tuhan, walaupun berbeda derajatnya di sisi Tuhan. Dan jika kita berangkat dari penjelasan tentang lima tingkatan keimanan Syekh Nawawi ini, artinya keimanan seseorang yang selalu diselimuti ketakutan secara berlebihan, cenderung tertutup, penuh dengan kecurigaan yang dangkal (bukan suatu keimanan yang memberikan pencerahan), bisa dikatakan bahwa keimanannya tersebut masih dalam tingkatan pertama, yaitu keimanan taklid: keimanan yang didasarkan pada ucapan orang lain (ustaz atau ulama panutannya, atau kelompoknya sendiri, misalnya) tanpa memahami kebenaran atau dalilnya.
Menurut Syekh Nawawi, keimanan orang semacam ini sah-sah saja meski ia terbilang “bermaksiat” karena meninggalkan upaya pencarian kebenaran atau dalil itu sendiri, apabila ia termasuk orang yang dalam kategori mampu untuk melakukan pencarian dalilnya. Karena kedua keimanan pada dua kategori awal (iman taklid dan iman ilmu) merupakan tingkat keimanan yang dapat diupayakan oleh manusia. Sedangkan tingkat keimanan selanjutnya adalah suatu keimanan yang dianugerahkan oleh Tuhan (laduni), berdasarkan kehendak Tuhan, dalam arti tidak sepenuhnya dapat diupayakan oleh manusia sendiri.
Lebih lanjut, keimanan semacam itu pada akhirnya hanya akan menjadikan diri seseorang itu menjadi mandeg, dipenuhi dengan kecurigaan-kecurigaan liar dan ketakutan berlebihan, sehingga perlu suatu ikhtiar lebih keras untuk terus meningkatkan level keimanannya agar tak berujung pada ekstremisme atau fanatisme buta.
Saya pun jadi teringat suatu ungkapan dari Gus Dur yang barangkali relevan dengan kasus semacam ini, yaitu “hamba amatiran”. Atau dalam istilah lain (memparodikan Gus Dur), sebagai “muslim amatiran”, alasannya karena keimanannya itu cenderung tertutup, mudah sekali terganggu, dan selalu fobia dengan hal-hal di luar keyakinannya. Maka untuk menyandang gelar “hamba” (mukmin), atau bahkan muslim yang terhormat saja, masih belum pantas. Mungkin hanya orang-orang yang tak lagi mudah tergangu dan fobia pada hal-hal di luar dirinya, orang-orang yang benar-benar alim dan hatinya bersih, atau memiliki kecerdasan intelektual-spiritual semacam Gus Dur, misalnya, yang pantas menyandang gelar “hamba” (atau mukmin).
Karena itu, tak mengherankan apabila Gus Dur pernah menyatakan di tahun 1999, ketika ia tengah menjabat sebagai presiden, bahwa seharusnya yang merayakan hari natal bukan hanya umat Kristen, melainkan juga umat Islam dan umat beragama lain, bahkan seluruh umat manusia.
Sebab, Yesus Kristus atau Isa Al-Masih adalah juru selamat seluruh umat manusia, bukan juru selamat umat Kristen saja. Perkataan Gus Dur ini, menurut saya, bukan hanya sebatas pernyataan dalam konteks toleransi umat beragama semata sebagai warga negara atau kehidupan berbangsa, tapi menunjukan suatu level keimanan yang sempurna, yang tak pernah takut akan apa yang berada di luar dirinya, hal-hal yang terkadang tak dapat diprediksi atau tak terjangkau oleh suatu nalar-keimanan yang tertutup.