Sabtu, April 20, 2024

Tentang Gelar Negara Terbahagia

Aiman Nabilah rahmadita
Aiman Nabilah rahmadita
Saya pernah bekerja sebagai content writer di Aksi Cepat Tanggap, tulisan saya juga pernah menyebar di beberapa media seperti Detik.Com, IDN Times, dll

Gelar adalah hal yang bersifat ordinal, kalau kata ilmu statistika, artinya berjenjang. Gelar antar negara cakupannya sudah bukan sebatas piala dunia.

Dukungan PBB akan implementasi SDGS menyajikan banyak data untuk kita nikmati. Kalau data tentang ekonomi, kesannya sudah agak basi. Yang menempati posisi teratas sudah pasti bangga, karena biasanya memiliki GDP per kapita yang tinggi, sayangnya, dekat-dekat dengan posisi itu pun kita belum pernah.

Namun sejak PBB mencetuskan 20 Maret sebagai hari bahagia sedunia, tiap negara punya satu gelar lagi yang bisa dikompetisikan. Yaitu gelar negara terbahagia. Pengukurannya didasarkan pada kekuatan ekonomi, dukungan sosial, tingkat harapan hidup, persepsi tentang korupsi, dan lainnya. Tapi, bukankah bahagia itu relatif?

Survey yang dianggap subyektif ini memang memiliki kelemahan di beberapa sisi. Meski didukung data-data pengukuran seperti diatas, namun proses sampling hanya terdiri dari memberi pertanyaan kepada 1.000 orang secara acak di tiap negara tentang tingkat kebahagiaan mereka dalam hidup.

Negara-negara yang sukses merebut gelar tersebut di 2018 ini merupakan negara-negara Nordik di kawasan Eropa utara, diantaranya Finlandia, Norwegia, Denmark, Islandia dan Swiss. Kelima negara itu menempati posisi lima teratas setiap tahunnya, hampir tidak pernah tergantikan. Ekonomi mereka juga cenderung merajai, stabil dan lurus di jalannya.

Indonesia? Huh, jangan tanya. Kita pun masih berada di urutan bawah dibanding Singapura dan Malaysia. Dua negara tetangga yang secara de facto lebih kaya dari kita itu menempati posisi 34 dan 35 . Kita cukup bersyukur menempati posisi ke-96.

Sifat sebuah gelar yang membuat kompetisi sekaligus memotivasi, membuat kita kian bertanya, memangnya kita setidak bahagia itu?

Terus terang sih, saya bukan berasal dari keluarga kaya macam anak-anak Eropa. Tidak juga menikmati fasilitas kota yang serba mewah karena kota tempat saya hidup biasa saja. Tapi hidup saya dan anak-anak sebaya, meski tidak stagnan, penuh dengan ketenangan sehingga saya bisa katakan dengan percaya diri bahwa saya bahagia.

Indikasi negara bahagia sendiri tidak bisa melulu tentang ekonomi. Meski uang penting dan akan mempermudah keseharian, but money can’t buy happiness. Pernyataan itu agaknya tepat bila melihat laporan tahun ini dari PBB dalam bab berjudul “mengembalikan kebahagiaan Amerika”, yang mengukur kenapa tingkat kebahagiaan di Amerika Serikat merosot, padahal kehidupan ekonomi mereka terus meningkat. Ternyata kebijakan-kebijakan baru yang dikeluarkan Presiden Donald Trump banyak yang tidak sesuai di ‘hati’.

Sebuah organisasi Inggris, Varkey Foundation pun melakukan survey yang hampir sama. Parameter kebahagiaan dalam survey kali ini adalah pertanyaan soal tingkat optimisme, kepercayaan diri, dan perasaan dicintai. Masih sesubyektif dengan survey PBB sebelumnya, toh memang kebahagiaan itu relatif, tapi survey ini mengajarkan sesuatu.

“Anak-anak muda di Indonesia mencatat level tertinggi untuk kebahagiaan dengan skor bersih 90% disusul kemudian oleh Nigeria, Israel, dan India. Ini mungkin menunjukkan bahwa tinggal di negara yang relatif makmur dan maju secara ekonomi tak serta merta menjamin kebahagiaan,” kata tim peneliti Varkey Foundation.

Bagi kaum millenial Indonesia, komitmen terhadap agama dirasa sebagai faktor utama kebahagiaan. Disusul dengan kesehatan fisik dan mental. Anak muda Indonesia juga tidak terlalu mempermasalahkan bullying seperti negara besar layaknya Amerika dan Inggris.

Survey ini juga membuka mata kita akan apa arti bahagia dan relasinya terhadap aspek-apek lain dalam hidup. Salah satu pertanyaan yang dicantumkan dalam survey yang dilakukan oleh PBB adalah tentang korupsi, hal yang telah lama menjadi momok bagi negri pertiwi. Kelima negara terbahagia memiliki sejarah korupsi yang sangat sedikit. Meski uang bukan segalanya, rasa aman dari terguncangnya ekonomi juga penting dan ikut melahirkan rasa bahagia.

Aspek yang lain ialah sikap terhadap sesama dan keagamaan. Di dunia modern yang terkadang menafikan keberadaan Tuhan ini, pemuda-pemudi Indonesia mengaku bahagia sebab berpegang teguh pada nilai-nilai yang dinggap kuno oleh beberapa negara maju.

Tak heran SDGS menetapkan kebahagiaan sebagai standar yang mestinya diimplementasikan. Sebab satu hal ini dapat merambat ke aspek lain kehidupan memberi kita aspek baru tentang apa yang mestinya dituju demi mewujudkan negara yang sejahtera, mujur, beruntung, dan segala sinonim lain dari kata bahagia.

Aiman Nabilah rahmadita
Aiman Nabilah rahmadita
Saya pernah bekerja sebagai content writer di Aksi Cepat Tanggap, tulisan saya juga pernah menyebar di beberapa media seperti Detik.Com, IDN Times, dll
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.