Jumat, April 26, 2024

Tempat Masyarakat Adat bagi Indonesia?

Daffa Prangsi Rakisa Wijaya Kusuma
Daffa Prangsi Rakisa Wijaya Kusuma
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Staff Peneliti Pusat Studi Hukum (PSH) FH UII, dan Head of Research and Development Jong Indonesische Progam (JIP)

Hari ini publik cukup dikejutkan dengan hasil investigasi Mata Najwa dengan tajuk Mata Najwa “Hukuman Suka-Suka” yang mengulik berbagai penyelewenagan hukum serta cerminan ketidaksetaraan di depan hukum. Khususnya bagi Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang berkonflik atas keabsahan tanah adat yang selama ini mereka jaga dan manfaatkan. Tanah-tanah adat yang beralaskan pada adanya hak ulayat yang dimiliki oleh MHA sering kali menimbulkan persoalan dikarenakan keberadaan sering diabaikan oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.

Berbagai masalah agraria terkait hak ulayat, mulai dari konsep penguasaan tanah ulayat sebagai tanah negara yang menimbulkan banyak masalah struktural antara perusahaan-perusahaan dengan MHA terhadap penggunaan tanah hak ulayat. Dalam buku Masyarakat Adat dalam Cengkaraman Positivisme dijelaskan terdapat 1.400 kasus konflik agraria di Pengadilan Sumatera Barat yang tidak satupun dimenangkan masyarkat hukum adat.

Begitu pula, tanah ulayat Nagari sekitar 100 hektare telah berpindah menjadi tanah Departemen Kehutanan. Situasi ini, juga ditemukan di Kalimantan Barat, di mana tanah-tanah adat yang berada di hutan-hutan tidak dapat diklaim masyarakat karena letaknya berada dalam hutan lindung dan hutan produksi. Tidak sedikit pula kasus, di mana tanah-tanah perseorangan dikuasai oleh investor karena berada dalam lahan perkebunan sawit (enclave).

Kasus penangkapan yang menimpa Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing dapat direfleksikan bersama sebagai gambaran besar bagaimana negara memperlakukan MHA dikala sedang berkonflik dengan pihak-pihak lain atas pemanfaatan tanah adat. Barang kali sudah bukan menjadi rahasia umum, betapa massifnya konflik agraria yang menimpa komunitas MHA dengan korporasi-korporasi besar.

Meski persoalan semacam ini sudah sering diadvokasikan, misal melalui Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Tetapi negara kerap melewatkannya layaknya angin lalu. Sehingga menimbulkan pertanyaan besar dimanakah tempat MHA bagi Indonesia?

Hubungan Masyarakat Adat dengan Negara

Sejatinya sejak negara ini belum terbentuk sebagai suatu republik kesatuan. MHA telah eksis dan dapat bertahan hidup seiring berubahnya waktu. Eksistensi MHA tidak dapat dilepaskan dari keberadaan hak ulayat yang mendasarkan pemanfaatan tanah-tanah adat yang mereka jaga dan lestarikan sepanjang hidupnya. Ungkapan bahwa tanah begitu penting bagi manusia karena ia hidup dan mati bersama tanah. Rasanya sangat tepat untuk menggambarkan betapa pentingnya tanah dalam menyambung hidup MHA.

Atas dasar itulah, persepsi bahwa MHA yang terkesan kuno dan menggantung diri kepada negara untuk bertahan hidup tentu sebuah persepsi yang salah. Bahkan dalam tataran yang lebih jauh negara banyak berhutang kepada MHA karena telah ikut melestarikan lingkungan hidup yang mereka tempati lebih lama daripada masa republik ini berdiri. Tentu konsepsi hubungan antara MHA dengan negara yang demikian. Secara historis akan menampakkan bahwa sejatinya MHA tidaklah menggantungkan sepenuh hidupnya pada negara. Melainkan menggantungkan hidupnya kepada alam yang ditempatinya.

Berbagai kriminalisasi serta cerminan penegakan hukum yang menimpa MHA masih jauh dari kata keadilan. Tentu menimbulkan pertanyaan serius terhadap komitmen negara dalam pengakuan keberadaan MHA sebagaimana tercantum dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD NRI 1945. Serta pengakuan atas hak lingkungan sebagai hak asasi dalam Pasal 28H Ayat (1) dan Pasal 33 Ayat (4) UUD NRI 1945.

Pengakuan tersebut berkonsekuensi pada timbulnya kewajiban negara dalam memenuhi, melindungi dan menghormati hak-hak dasar MHA, salah satunya terkait keabsahan tanah-tanah adat yang mereka kelola demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi, yang nampak saat ini hanyalah amputasi kepemilikan dan pemanfaatan tanah adat hanya didasarkan pada bukti normatif kepemilikan tanah adat. Tanpa memandang aspek substansial secara historis keberadaan dan betapa pentingnya tanah adat bagi MHA.

Arah Kebijakan Kedepan

Penulis rasa tidaklah berlebihan bahwa negara berhutang banyak pada MHA, khususnya dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup (tanah adat). Sehingga arah politik hukum yang dilandaskan pada pengakuan keberadaan MHA yang penuh akan kepastian, kemanfaatan dan keadilan merupakan jaminan yang tak boleh dianggap angin lalu oleh negara. Sayangnya, dewasa ini arah kebijakan bagi MHA tidaklah semulus sebagaimana keadaan ideal yang diimpikan karena keberadannya sering tak dianggap serta disepelekan.

Berbagai agenda besar yang cenderung merugikan MHA terpampang nyata di depan kita. Dari aspek hukum, hal yang paling mendasar soal belum adanya Undang-Undang Masyarakat Adat tentu menjadi persoalan yang cukup pelik. Hal tersebut secara apik telah dibahas oleh penulis lain mengenai pentingkah RUU Masyarakat Adat?

Sayangnya, MHA hingga saat ini kita kenal bersama hanyalah berupa angka yang selalu digaung-gaungkan. “Indonesia memiliki sekian ribu masyarakat hukum adat dengan berbagai bahasa dan budaya yang tersebar di seluruh penjuru wilayah Indonesia”. Rasanya cukup menyakitkan, bilamana gambaran umum mengenai keberadaan MHA hanyalah dijadikan komoditas promosi oleh segelintir pihak. Bukannya dijadikan point penting dalam agenda pembentukan hukum yang dilandaskan keterwakilan MHA.

Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efek penegakkan hukum tergantung dari tiga unsur sistem hukum, yaitu struktur hukum (legal Stucture), substansi hukum (legal substance), dan kultur hukum (legal Culture). Atas dasar teori tersebut, untuk menjawab dimanakah tempat masyarakat adat bagi Indonesia. Khususnya dalam sistem hukum kita yang menjamin kesetaraan di depan mata hukum serta menjunjung tinggi keadilan. Perlu rasanya untuk belajar dan menelaah kembali hubungan MHA dengan negara.

Mari kita tengok bersama, mulai dari substansi hukum yang masih menjadi pertanyaan bersama bagaimana nasib RUU Masyarakat Adat. Struktur hukum yang berkaitan dengan aparat penegak hukum yang jika dikaitkan dengan realitas saat ini. Masih kental akan minimnya rasa keberpihakan terhadap MHA dan kecenderungan kriminalisasi yang cukup tinggi. Serta budaya hukum seperti apa yang diidam-idamkan bersama mengenai relasi MHA dengan negara? Apakah akan menjadi sebuah kebiasaan yang diamini bersama bahwa amputasi hak-hak dasar MHA diperbolehkan demi meraup keuntungan sebesar-besarnya?

Tentu tidak, hak asasi manusia lahir atas dasar pengakuan hak secara menyeluruh dan mewajibkan negara mengambil peranan penting to fullfil, to protect dan to respect. Sehingga dengan semua yang telah menimpa MHA saat ini, dimanakah tempat masyarakat adat bagi Indonesia?

Daffa Prangsi Rakisa Wijaya Kusuma
Daffa Prangsi Rakisa Wijaya Kusuma
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Staff Peneliti Pusat Studi Hukum (PSH) FH UII, dan Head of Research and Development Jong Indonesische Progam (JIP)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.