Rabu, April 24, 2024

Telisik Mural, Grafiti dan Vandalisme dalam Eksistensi Kritik

Rika Salsabila Raya
Rika Salsabila Raya
Mengambil konsentrasi Jurnalistik di UIN Jakarta, ibu anak satu, mantan staff Komunikasi di Ngertihukum.id dan pernah bekerja sebagai asisten muda di Komnas Perlindungan Anak Indonesia.

Dalam dua pekan terakhir, pemberitaan mengenai penghapusan karya mural dan grafiti oleh aparat keamanan menjadi perbincangan hangat. Khusus bagi kaum muda-mudi, hal ini dinilai terlalu berlebihan. Seperti karya mural bertuliskan “404 Not Found” yang sekilas juga membuat sketsa bapak Presiden secara samar.

Bagi sebagian kalangan, jelas bahwa hal tersebut adalah karya mahal yang tak sembarang orang bisa buat, kita pun mengetahui bahwa cat pilox dijual dengan harga yang bervariasi. Dilihat dari latar penggambaran mural, sketsa, isi dan font tulisan yang disisipkan sama sekali tak berlebihan. Pandangan yang ditakutkan oleh masyarakat biasa bisa saja berbeda-beda tetapi, wajib ditegaskan bahwa mural dan grafiti adalah sarana untuk menyampaikan aspirasi, hal ini yang masih sering disalah artikan bahwa karya seni rupa murni tersebut termasuk dalam aksi Vandalisme.

Pandangan bahwa mural dan grafiti termasuk aksi Vandalisme juga dipengaruhi oleh sikap penguasa dan lingkaran di sekitarnya dalam merespon mural sebagai sebuah ancaman yang bersifat merusak. Berlarut-larut juga menjadi sebuah proses dalam mengubah pandangan masyarakat awam dalam menyikapi aksi penghapusan karya mural.

Beberapa kasus yang terjadi dalam dua pekan terakhir ini, mendapat banyak respons yang berbeda, salah satunya menganggap bahwa penghapusan karya termasuk ke dalam upaya represif. Secara tidak langusng, penghapusan karya seni rupa murni seperti mural dan juga grafiti di wilayah masing-masing adalah respons yang tidak tepat. Bagi sebagian kalangan, mural adalah saluran aspirasi ketika terjadi di suatu kondisi yang tidak memungkinkan untuk dapat berbicara, menyampaikan langsung kepada pihak yang dituju. Bukankah penguasa juga perlu kritik? Dan karya seni bukan hanya tentang aspek estetika yang bernilai?

Mural, Grafiti dan Vandalisme

Lantas, apa sebenarnya yang membuat hal ini menjadi bias? Mengapa mural dan grafiti dianggap sebagai sebuah hal yang harus dihapus, ditutupi apabila itu menyinggung penguasa di masa pandemi? Pertama, mari kita telisik mengenai karya mural dan grafiti. Ketika kita tidak menemukan cara untuk mengekspresikan perasaan dan tidak bisa mengatakan dengan kata-kata, serta tidak mendapatkan tempat untuk menyampaikan aspirasi, mural dan grafiti menjadi pilihan.

Wajar bila aspirasi yang sulit disampaikan akan berubah menjadi bentuk lain. Menggambar hal-hal yang ada, situasi seperti di masa pandemi yang mempengaruhi hal-hal positif atau negatif bahkan berisi imajiner, adegan abstrak yang pada kenyataannya melambangkan mimpi, ketakutan, rasa sakit, kegembiraan, cinta atau apa pun yang dianggap pikiran manusia sebagai perasaan yang wajib disampikan.

Khusus sejarah mural berlangsung selama bertahun-tahun, dan bahkan mudah ditemukan di banyak negara di dunia. Mural, fresko dan mozaik telah ada dan bahkan khusus di negara Iran, menjadi sebuah bentuk penyampaian rasa dan propaganda rezim serta rakyatnya terhadap Amerika Serikat yang tidak mungkin disalurkan melalui bentuk kata-kata di forum dunia atau mengangkat senjata (perang). Begitupun di Korea Utara, dan negara adikuasa Amerika Serikat yang erat dengan keberadaan geng dan budaya Hip-Hop di wilayah Bronx.

Mural atau ‘dinding’ dalam bahasa Latin, adalah lukisan berskala besar yang diaplikasikan langsung pada dinding, langit-langit dan permukaan datar yang besar. Sekitar 32.000 tahun yang lalu, terdapat di gua-gua adalah contoh paling terkenal yang ditemukan di Perancis dan Spanyol tetapi umumnya mural ada di India, Australia, Afrika, Amerika Selatan dan Asia Tenggara.

Mural pertama ditemukan di Horse Panel di Gua Chauvet, di Prancis pada 30.000 SM. Beberapa tahun kemudian mereka menemukan mural kronologis tua lainnya dari 1200 SM di Altmira, Spanyol. Subyek yang paling umum ditemukan di gua-gua adalah sosok hewan, dan lebih tepatnya hewan liar dan besar seperti kuda, rusa, buaya, beruang, singa, mamut, dan badak. Warna yang digunakan adalah merah klasik, hitam dan kuning oker. Di tahun-tahun berikutnya kita dapat melihat perkembangannya karena kita memiliki teknik baru, tema baru bervariasi dari satu tempat ke tempat lain dan inovasi dalam dekorasi, di Mesir, Yunani dan Roma.

Mural di lokasi-lokasi tersebut umumnya banyak diaplikasikan pada bangunan-bangunan umum seperti gereja, makam, candi, museum, istana, karena membutuhkan biaya yang besar dan pemerintah membayar untuk pengaplikasiannya. Mural digunakan di interior dan eksterior, meskipun sebagian besar eksterior telah hancur karena bencana buatan manusia atau bencana alam sekalipun.

Peradaban Mesir dalam merefleksikan kehidupan para penguasa disertai dengan bahasa hieroglif menjadi sebuah bukti bahwa penguasa membutuhkan mural sebagai penguat kekuasaan. Hanya saja, peradaban Mesir tidak membuat mural untuk menurunkan citra penguasa, bukankah waktu berjalan sebagaimana mestinya sehingga mural sebagai sarana kritik juga harus diakui sebagai sarana penguasa?

Di Yunani, mural menggamabrkan adegan upacara, adegan kehidupan masyarakat dan peristiwa sejarah yang berbeda. Lukisan-lukisan dinding romawi, yang dipengaruhi oleh lukisan-lukisan di Yunani, adalah tema-tema yang realistis dari rumah, taman, langit biru, dan juga tema mitologi dan erotis. Terutama di masa Renaisans, semua figur manusia di fresko telanjang.

Mural memiliki peran penting seperti membantu para sejarawan untuk belajar lebih banyak tentang kehidupan di tahun-tahun prasejarah, tahun-tahun di mana kita tidak memiliki tanda tulis. Bahkan dalam mural Bizantium, mengkonfirmasi bukti-bukti yang tertulis dalam Alkitab. Haruskah mural saat ini dianggap sebagai sebuah ancaman penguasa dibandingkan sebagai sebuah karya seni dan sejarah peradaban  manusia yang sangat bernilai? Begitupun dengan karya grafiti yang dijadikan budaya hasil revolusi.

Sebab Pasal dan Sanksi

Apa yang membuat mural dan karya seni rupa murni seperti grafiti dapat mengarah ke jenis-jenis Vandalisme? Sanksi vandalisme berdasarkan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) Pasal 170 ayat 1: Barangsiapa secara terang-terangan dan secara bersama-sama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

Salah satu pengenaan Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang digunakan dalam pengenaan kasus vandalisme adalah Pasal 406 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Aksi Vandalisme ini pun juga masih bersifat abstrak dan tidak spesifik menyebutkan bagaimana bentuk coret-mencoret dan apa pengecualian yang dijadikan dasar penguat. Dengan berat hati, pasal tersebut hanya menggunakan sebutan “pengerusakan dan penghancuran”, yang membuat kita makin bertanya-tanya, apakah mural dan grafiti termasuk ke dalamnya?.

Untuk lebih spesifiknya, adalah baik untuk melihat mural, grafiti sebagai sebuah saluran aspirasi dan kritik ke penguasa mengenai kondisi dan situasi bukan sebaliknya yang menganggap timpang keduanya sama dengan aksi vandalisme.  Ada baiknya elemen hukum juga mengkaji pasal dan menanggapi problematika ‘bungkam kritik’ secara jelas dan relevan agar dua opini di mata publik dapat menyatu.

Rika Salsabila Raya
Rika Salsabila Raya
Mengambil konsentrasi Jurnalistik di UIN Jakarta, ibu anak satu, mantan staff Komunikasi di Ngertihukum.id dan pernah bekerja sebagai asisten muda di Komnas Perlindungan Anak Indonesia.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.