Siapa yang tidak kenal dengan The Popo? Muralis asal Bekasi yang namanya kian menjulang di dunia seni mural tanah air. Malam itu, kami telah berjanji akan bertemu di Ruang Rupa, salah satu organisasi seni rupa kontemporer yang didirikan pada 2000 oleh sekelompok seniman di Jakarta. Semua begitu berbakat, tak terkecuali The Popo.
Waktu sudah menunjukan pukul 19.30, namun ia belum kunjung datang. Sesekali saya menengok ke sekitar, merasakan atmosfer yang tidak biasa. Walaupun bukan dalam ruangan yang tertutup, saya tetap merasa nyaman duduk di kursi kayu yang juga memiliki nilai seni, sama seperti semua benda yang ada disini. Tertata rapih dan terlihat elok.
Tidak lama kemudian, sosok yang dinanti pun datang. Ia, The Popo alias Riyan Riyadi, datang membuka gerbang memakai baju hitam, topi yang juga hitam, serta celana tanggung dengan mendorong sepedanya. Seraya ia menghampiri dan menyapa, “Sori ya telat, nunggu lama gak?”. Tanpa ragu, ia langsung duduk di sebelahku.
“Baru aja abis ngajar dari kampus, tadi dari stasiun kesini naik sepeda,” ucapnya. Hari itu, Popo, panggilan akrabnya, baru saja usai mengajar dari salah satu kampus swasta ternama di bilangan Jakarta Selatan. Selain aktif menekuni dunia seni mural, Popo juga turut mengisi luang waktunya dengan mengajar Komunikasi Visual. Menurutnya, mengajar merupakan salah satu perantara untuk memperkenalkan mural. Baginya, mural tak hanya sekedar menjadi karya seni, namun media untuk pembelajaran. Bahkan sebelum pelajaran dimulai, Popo tidak ragu mempresentasikan karyanya kepada para mahasiswa yang mengikuti kelasnya. Popo juga beranggapan bahwa semua seni bisa menjadi media pembelajaran, tergantung senimannya itu sendiri.
Pada awalnya, mengajar merupakan pekerjaan utamanya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan didukung koneksi dengan para muralis lainnya yang makin meluas, justru mural saat ini telah menjadi pekerjaan utamanya. “Sampai saat ini, justru mural ini jadi pekerjaan utama gue, dari segi finansial, dari segi proyek, ya mural yang lebih menjanjikan,” katanya.
Ketika ditanya soal bagaimana ia bisa tertarik menekuni dunia mural, Popo bicara bahwa dirinya memang mencintai dunia gambar sejak kecil. “Awalnya sih karena menggambar memang passion gue sedari kecil, apapun yang bisa digambar pasti gue gambar. Mulai dari kertas sampai tembok. Sampai akhirnya, kenal teman-teman yang juga suka gambar, kita akhirnya rutin ketemu buat mural. Jadi bisa dibilang, jauh sebelum gue tau mural itu apa, gue sudah praktikan membuat mural,” ungkapnya. Tujuannya menekuni dunia mural juga tidak muluk. Popo merasa melalui mural, ia bisa berkomunikasi dengan bahasa lain dengan mural sebagai medianya.
Saya sendiri ingat, mural Popo memang memiliki ciri khas. Karakternya pun berbeda dengan mural yang lain. Pernah saya terkesima dengan salah satu muralnya yang mengambarkan situasi Pasar Asemka. Ketika disinggung mengenai tema utama dalam setiap muralnya, Popo mengaku bahwa dalam proses pembuatannya, ia kerap menampilkan isu yang berkaitan dengan lingkungan dimana mural itu dibuat. “Dulu sih buat mural ya langsung aja gambar di tembok. Tapi, beberapa tahun belakangan ini, gue selalu mengangkat isu yang terjadi di tempat itu. Secara garis besar sih tentang kehidupan sosial, kehidupan warga sekitar tempat itu,” katanya. Tema nya yang matang karena riset juga membuat Popo tidak pernah kehabisan ide dalam membuat mural.
Tidak hanya temanya yang melekat di hati para penikmat karyanya, namun juga karakter ‘The Popo’ yang berwarna putih dan bermata bulat besar telah menjadi signature dalam muralnya. “Sebenernya, karakter The Popo itu ya gue sendiri. Awalnya gue memang mau gambar muka gue sendiri, dengan mata yang belo dan sebagainya. Tapi karena gue memang gak punya skill untuk gambar realis, eh hasilnya ya kaya gitu, akhirnya gue pakai sampai sekarang, hahaha…” katanya sambil tertawa.
Mural, yang pada pengertiannya merupakan cara menggambar atau melukis di atas media dinding, tembok maupun permukaan luas yang bersifat permanen lainnya, seringkali mendapatkan tentangan dari masyarakat. Tidak sedikit, praktik mural dianggap merusak lingkungan karena sifatnya yang permanen dan medianya yang berada di dinding maupun tembok. Namun, beda halnya dengan Popo. Ia memiliki siasat tersendiri untuk menghadapi permasalahan seperti itu. “Prosesnya sih lumayan panjang, pertama gue pasti lihat isunya terlebih dulu, riset lebih dalam tentang lingkungan itu. Kedua, gue juga harus pelajari lebih dalam tentang lingkungan itu. Ketiga, gue akan melakukan negosiasi dengan warga. Dari semua tahapan itu, berhubungan dengan warga itu yang paling penting sih, berpengaruh sama kelangsungan karya gue,” jelasnya. Contohnya saja karyanya di Pasar Asemka yang hingga saat ini bertahan karena dijaga oleh warga sekitar. Warga menganggap, mural tersebut mewakilkan aspirasi mereka.
Namun, bukan berarti dirinya tidak pernah mendapatkan penolakan saat membuat mural. Ia angkat bicara bahwa penolakan bukan saja datang dari warga, tapi juga dari aparat setempat. “Penolakan yang menurut gue jadi masalah terbesar sih ya dari warga. Kalaupun ada penolakan dari aparat, misalnya satpol pp ataupun polisi, menurut gue itu masalah yang kecil, justru dapat cepat diselesaikan,” ungkapnya. Menurutnya, penolakan yang datang dari warga biasanya berujung kepada apresiasi yang melebihi ekspektasinya. “Biasanya penolakan dari warga gak berlangsung lama, setelah gue menjelaskan lebih lanjut kepada warga, ternyata apresiasi mereka lebih dari ekspektasi gue. Mereka lebih dari setuju, bahkan sampai menjaga mural yang gue buat dan minta dibuatin lagi,” katanya.
Percakapan pun terus berlanjut pada rasa penasaran saya akan mural Popo yang saya nilai sarat akan kritik sosial. Selama ini, saya selalu menganggap bahwa muralnya tersebut juga memiliki pesan tentang keadaan sekitar. Namun, selama membuat mural, Popo mengaku tidak memiliki misi untuk mewakili aspirasi masyarakat sekitar lingkungan mural itu dibuat. Hanya saja, karena dalam setiap pembuatan muralnya Popo selalu melakukan riset, kebanyakan masyarakat puas akan karya mural yang Popo buat dan merasa aspirasinya terwakilkan.
Sama halnya mural yang ia buat di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Saat itu, Popo mendapatkan proyek untuk membuat mural di perkampungan yang bernama Kampung Teletubbies. Pengalaman membuat mural disana bagi Popo merupakan pengalaman yang paling berharga. Mural yang ia buat disana juga dinilai sebagai prestasi yang telah Popo capai. Ia mengaku, menggambar di Kampung Teletubbies merupakan target yang memang ia ingin capai dari 3 tahun yang lalu. “Gue udah dari 3 tahun yang lalu pengen buat gambar di sana, dan akhirnya tahun ini kesampaian, seneng banget,” ungkapnya.
Awalnya, Popo ingin menggambar disana karena menyukai struktur bangunan kubah anti gempa yang dibuat oleh salah satu LSM. Selain itu, Popo juga menyukai masyarakat disana yang mempunyai semangat untuk bangkit kembali dari bencana gempa.”Lewat dialog gue dengan masyarakat disana, gue jadi sangat apresiasi semangat mereka untuk terus bercocok tanam. Gue semakin senang menggambar disana karena cerita mereka yang menurut gue luar biasa,” katanya. Sementara, Popo juga menjadi muralis pertama yang menggambar di Kampung Teletubbies karena seniman dari Yogyakarta sendiri pun belum ada yang menggambar disana. Walaupun, pada akhirnya banyak seniman yang berdatangan untuk ikut ‘mempercantik’Kampung Teletubbies setelah adanya karya Popo.
Tidak hanya itu, ukuran prestasi dalam berkarya bagi Popo juga tidak dinilai dari berapa banyaknya workshop maupun acara yang menjadikan ia sebagai narasumber. Menurutnya, prestasi adalah ketika ia memiliki proyek yang ia biayai sendiri dan diselenggarakan di salah satu kampung di Indonesia serta dapat berkolaborasi dengan orang setempat.
Sesi wawancara yang sangat menyenangkan itu akhirnya ditutup dengan harapan Popo dalam dunia mural yang telah ia tekuni selama kurang lebih 14 tahun. “Kalau ditanya soal harapan sih sebenernya gue egois, karena gue buat mural itu untuk diri gue sendiri sebagai penyaluran hobi. Tapi, semakin kesini banyak teman yang bilang kalau karya mural gue itu justru jadi media untuk berkomunikasi dan menyampaikan aspirasi masyarakat. Hal yang sama juga datang dari masyarakat yang lingkungannya pernah gue jadikan sebagai tempat gue gambar mural. Mereka merasa bahwa gambar gue jadi sarana menyampaikan aspirasi mereka. Jadi ya, harapannya seperti itu, bisa menyampaikan aspirasi mereka,” ungkapnya. [*]