Kamis, April 25, 2024

Tauhid Pemersatu Umat Islam

Fauzi Ahmad Syawaluddin
Fauzi Ahmad Syawaluddin
"Belajar adalah cara memahami kebodohan". Tinggal di Rantauprapat Sumatera Utara.

Tulisan ini muncul dari diskusi kecil di warung kopi sore hari. Awan gelap seakan menambah kesyahduan tukar pikiran dengan kawan-kawan. Ditemani secangkir kopi wine yang dalam menyuguhkannya harus dilakukan orang yang sudah terampil, agar rasa dan kenikmatan kopi wine dapat benar-benar dirasakan.

Kalau salah takaran, kenikmatan kopi itu akan berkurang, makanya kami tidak pernah mengambil resiko untuk “menyeker” atau meracik kopi tersebut, kami meminta bantuan karyawannya yang sudah terampil dalam mengaduk dan mencampurkan kopi dan takaran es di dalamnya.

Nikmatnya kopi terkadang diselingi dengan tawa riang, sesekali debat ringan muncul tapi tidak menegangkan apalagi sampai hujat-hujatan. Namaya kedai kopi, tempat dimana anda dapat tertawa bergembira dan menjadi apa saja dalam sebuah ilusi. Ya, anda dapat mengikrarkan diri sebagai presiden, dan apapun itu namun sebatas ilusi dan hanya sebatas omongan dengan teman anda, dan semua omongan absurd itu akan berakhir ketika anda keluar dari kedai kopi.

Seketika datang seseorang berjanggut tebal dan berperawakan jalanan, sepintas melihat penampilan beliau adalah seorang yang terkesan hedonis. Prasangka itu sirna, dan sebuah pelajaran penting “Jangan vonis seseorang dengan penampilan” muncul ketika beliau duduk satu meja dengan kami, yang kebetulan seorang teman kenal dengan beliau.

Saya yang kebetulan tidak mengenal beliau, mencoba menelusuri kehidupannya. Ternyata beliau adalah seorang pengusaha TV lokal di Rantauprapat Kabupaten Labuhanbatu Sumatera Utara. Panjang bercerita, akhirnya saya menyimpulkan bahwa beliau adalah seorang muslim yang taat. Ayahnya adalah seorang kiyai besar, yang siapapun ketika disebut namaya akan mengenali ayahnya dan kebetulan juga adalah teman sejawat orang tua saya, yang juga memiliki riwayat kesamaan penyakit yaitu diabetes.

Tutur katanya teratur, mudah dipahami bagi orang yang sering berdiskusi. Gagasan pemikirannya sangat futuristik, dan sangat logic. Stigma hedonis yang melekat dari penampilan seakan sirna dengan pandangan-pandangannya tentang politik dan keagamaan.

Diantara semua gagasannya, saya paling tertarik dengan gagasan keagamaan yang ia sampaikan. Beliau menyatakan persatuan umat dapat diwujudkan dengan “mengaji tauhid bersama” dengan seluruh ormas islam. Dengan asas tauhid kita akan dapat mendudukkan seluruh elemen umat islam; Nahdhatul Ulama, Al Jam’iyatul Washliyah, Muhammadiyah dan elemen lainnya dengan satu persamaan yaitu “tauhid”.

Mengaji Bersama

Dalam sejarah bangsa Indonesia, perbedaan pandangan dalam fikih menjadi celah bagi kolonial Belanda untuk mengadu domba umat islam yang disebut dengan konspirasi “ Devide et Impera”. Politik pecah belah mengukuhkan Belanda, sehingga kurang lebih 350 tahun menjajah Indonesia. Kaum tua dan kaum muda berpecah dalam masalah furu’i, antara berqunut dan tidak berqunut, antara yasinan dan orang yang tidak yasinan.

Seiring berjalannya waktu, umat islam tersadarkan dengan politik pecah-belah Belanda. Bangsa ini semakin yakin, bahwa perbedaan pandangan adalah senjata yang dapat digunakan oleh Belanda untuk melemahkan umat islam dan bangsa Indonesia. Perbedaan pandangan dalam fikih dapat disatukan dengan doktrin “sama-sama benar” asalkan didasari dengan hujjah yang dapat dipegang.

Perbedaan pandangan dalam fikih memang tak dapat disatukan lagi, karena fikih sendiri membuka ruang reinterpretasi teks kedalam konteks. Sebagai contoh: Babi adalah binatang yang diharamkan bagi umat islam, hal ini sesuai dengan yang dinyatakan didalam al quran.

Namun adakalanya, makanan yang haram dapat menjadi halal bila keadaan memaksa, seperti tiada lagi makanan selain makanan yang haram, maka makanan yang haram tadi dapat menjadi halal kalau konteksnya darurat. “Taghayyarul Ahkam bi Taghyyuril amkan wal azminati wal ‘awaid wal ahwal”, hukum dapat berubah manakala dengan kondisi berubahnya tempat, waktu dan keadaan.

Perbedaan-perbedaan pandangan hukum fikih sebenarnya sudah selesai pembicaraanya. Namun tak dapat dipungkiri, umat islam dengan berbagai macam latar belakang mazhab dan organisasi belum dapat duduk “ngaji bersama”. Ngaji bersama ini harus diinisiasi agar semakin mengkokohkan umat islam.

Dalam implementasinya ngaji bersama tidak membahas masalah fikih. Yang menjadi pembahasan dan kajian adalah “tauhid”. Paling tidak sebulan sekali pertemuan dan pengajian tauhid bersama dilaksanakan, agar umat islam dapat dipersatukan dan duduk bersama untuk mengkaji tahid bersama. Adapun yang menjadi pembicara adalah perwakilan masyarakat dan organisasi secara bergantian. Karena tauhid sejatinya dapat mempersatukan persepsi tentang konsep ke Tuhanan.

Penutup

Perbedaan pandangan sejatinya telah selesai dibicarakan, ulama-ulama terdahulu sudah menemukan titik temu perbedaan pandangan fikih. Namun belakangan pembicaraan perbedaan mazhab kembali muncul, bahkan sikap takfiri masih terjadi dikalangan masyarakat. Energi umat islam sejatinya tidak terkuras untuk membahas hal-hal yang telah selesai permasalahannya.

Untuk itu, mempersatukan dan mendudukkan umat islam dalam sebuah majelis dapat dilakukan dengan mengaji tauhid bersama. Setelah umat islam dapat duduk bersama dengan asas tauhid, lebih jauh lagi, umat islam dapat membicarakan hal-hal yang urgen untuk kepentingan umat islam, seperti ekonomi umat islam dan hal urgen lainnya.

Fauzi Ahmad Syawaluddin
Fauzi Ahmad Syawaluddin
"Belajar adalah cara memahami kebodohan". Tinggal di Rantauprapat Sumatera Utara.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.