Arus gerakan radikalisme dan ekstremisme di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Hampir tidak ada lagi dimensi kehidupan yang kebal dari pengaruh gerakan ini. Bila dilacak dengan seksama, radikalisme dan ekstremisme bermula dari nalar agama. Pemahaman agama yang bersifat literalis dan tertutup telah menjadi pintu masuk bagi pembenihan dan persebaran sel gerakan tersebut.
Celakanya, pemahaman agama model demikian sedang menjadi tren di Indonesia. Tren seperti ini umumnya ditemukan pada fenomena Islam perkotaan. Istilah tersebut untuk menyebut kegairahan dalam beragama yang menjamur di lapisan kelas menengah dalam bentuk halaqah, pengajian, dan kursus-kursus keagamaan yang instan. Biasanya juga diasuh oleh ustadz dan mubaligh perkotaan yang tidak memiliki akar tradisi keagamaan yang kokoh.
Fenomena ‘ustadz seleb’ yang menyebarkan agama secara instan, hitam-putih, dan berorientasi halal-haram seperti ini telah lama menjamur (Greg Fealy dan Selly White, 2012). Dalam kadar tertentu, fenomena seperti ini telah menyediakan lahan yang produktif bagi penyebaran nalar keagamaan yang intoleran dan anti-perbedaan. Inilah benih awal radikalisme dan ekstremisme. Sepuluh tahun yang lalu, fenomena seperti ini hanya terjadi di perkotaan. Saat ini, tren ini juga menyebar hingga ke pelosok-pelosok desa.
Dampaknya, sikap intoleran dan anti-perbedaan telah mejadi fenomena umum yang mewarnai kehidupan keberagamaan di Indonesia. Masyarakat tampil dalam simbol-simbol religius, akan tetapi begitu gemar mengafirkan orang lain. Banyak individu dan kelompok sosial menjadi korban ‘ambisi’ beragama yang gampang menuduh orang lain yang berbeda agama/keyakinan sebagai bid’ah, munafik, kafir dan thoghut.
Sifat Radikalisme
Masyarakat yang intoleran dan anti-perbedaan, menjadi sangat mudah disulut untuk ‘menghalalkan’ cara-cara kekerasan dalam memenangkan konflik agama. Sikap intoleransi telah diikuti dengan penerimaan terhadap kekerasan atas nama agama. Banyaknya kelompok-kelompok agama yang berkarakter demikian menandakan, semakin banyak pula orang-orang yang mudah dikader dan direkrut menjadi bagian dari gerakan radikalisme.
Hanya butuh satu tahap lagi, sikap intoleransi tersebut akan mengeras menjadi sikap anti-sistem. Inilah gejala yang paling tampak dari radikalisme dan ekstremisme (Noorhaidi Hasan, 2013). Sikap seperti ini biasanya diekspresikan dengan penolakan terhadap berbagai sistem politik, sosial, dan ekonomi yang dianggap sebagai produk ‘Barat’ dan kafir. Demokrasi—misalnya, dianggap sebagai produk Barat dan karenanya ditetapkan sebagai kafir.
Sikap seperti itu misalnya tampak dalam fenomena penolakan kelompok radikalis dan ekstremis terhadap ideologi Pancasila dan NKRI. Keduanya dianggap sebagai thoghut dan harus diperangi. Gerakan seperti ini akan melakukan segala cara untuk mewujudkan agenda-agenda politiknya. Tidak ada agenda politik lebih besar kecuali menggulingkan negara dan menggantikannya dengan konsep khilafah atau Pan-Islam. Hanya pada sisi permukaan saja gerakan radikalisme seakan-akan tampil sebagai gerakan agama. Sesungguhnya seluruh gerakan ini dikendalikan oleh motif kekuasaan ekonomi dan politik.
Menemukan Obatnya
Radikalisme dan ekstremisme bermula dari nalar agama yang tertutup, intoleran, dan anti-perbedaan. Nalar agama seperti ini sepenuhnya bersumber pada ajaran agama yang dijaga bersifat artifisial dan dijauhkan dari khazanah keagamaan yang kaya raya. Pendek kata, ini merupakan nalar agama yang merayakan kulit dan melupakan substansi. Dalam sejarah Islam di Indonesia, nalar keagamaan seperti ini mengemuka karena disingkirkannya ajaran-ajaran sufisme di dalam praktik beragama.
Islam Nusantara adalah Islam sufistik yang begitu ramah terhadap ragam perbedaan dan lokalitas. Cara ber-Islam yang berorientasi pada sufisme, akan terus mencari titik temu terbaik dengan segenap perbedaan, bahkan merayakan nilai-nilai lokal. Hal ini karena sufisme mengajarkan dan menunjukan orang pada jalan menuju hakikat dan keadaban universal. Dalam tradisi seperti ini, Islam dengan mudah bertemu dengan keadaban-keadaban lokal. Titik temu seperti ini disebut sintesis-mistik (mystic-synthesis).
Di Jawa khususnya, mencari titik temu terbaik dengan keadaban-keadaban lokal seperti ini merupakan cara ber-Islam mayoritas. Islam hadir dengan penghargaan yang besar terhadap perbedaan dan lokalitas, tanpa mengurangi derajat ortodoksi dan otentisitas Islam. Sayangnya, belakangan ini, nalar Islam demikian mulai tergerus dan terpinggirkan oleh gaya Islam intoleran yang sangat berambisi mengenyahkan segenap perbedaan, bahkan memberangus keadaban-keadaban lokal.
Mengembalikan tata beragama yang berorientasi pada substansi, ramah terhadap perbedaan dan lokalitas, serta berakar pada tradisi dan khazanah Islam yang kaya raya, akan menjadi obat yang mujarab bagi upaya kontra radikalisme dan ekstremisme. Dimensi sufisme dalam beragama telah terbukti menjadi faktor utama yang menyebabkan Islam diterima dan menyatu dengan kesadaran masyarakat Nusantara. Faktor ini pula yang potensial menyelamatkan masyarakat dari gejolak radikalisme dan ekstremisme. Paradigma Islam sufistik yang ramah inilah akar keberagamaan dan identitas Islam Nusantara. Wallahu’alam.