Kamis, Mei 1, 2025

Tantangan dan Peluang Pembelajaran Daring Kaum Pekerja

Karunia Kalifah Wijaya
Karunia Kalifah Wijaya
Laki-laki kelahiran 13 Maret 1997 yang berasal dari sebuah kabupaten kecil yang terletak di lereng Gunung Merapi, tepatnya di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh pendidikan S1 di Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, ruang di mana perjalanan intelektual dan spiritual saya terus berkembang. Lebih dari sekadar mahasiswa, saya adalah seorang pembelajar yang terinspirasi oleh filosofi dan gagasan luhur Ki Hadjar Dewantara. Pemikiran beliau tentang pendidikan dan kemanusiaan menjadi kompas hidup saya, memandu setiap langkah dalam memahami jiwa manusia dan mencari makna dalam kehidupan.
- Advertisement -

“Pendidikan bukan sekadar tentang mengisi bejana, tetapi tentang menyalakan api pemikiran.” Kutipan ini, yang sering dikaitkan dengan filsuf besar seperti Sockrates, mencerminkan esensi dari proses belajar yang sejati. Pendidikan idealnya bukan hanya alat untuk memperoleh gelar, tetapi juga untuk membentuk pola pikir kritis dan memberikan keterampilan yang relevan bagi kehidupan nyata.

Di era digital ini, pembelajaran daring digadang-gadang sebagai revolusi pendidikan yang mampu membuka akses luas bagi siapa saja, di mana saja, kapan saja. Dengan fleksibilitas yang ditawarkannya, pendidikan daring menjanjikan kesempatan bagi kelompok non-traditional learners, individu yang tidak mengikuti jalur pendidikan konvensional, seperti pekerja yang ingin meningkatkan keterampilan, ibu rumah tangga yang ingin kembali belajar, atau mereka yang berusaha beralih profesi.

Namun, apakah janji ini benar-benar terpenuhi? Ataukah pembelajaran daring justru menciptakan lapisan kesenjangan baru dalam dunia pendidikan? Ketika aksesibilitas menjadi jargon utama dalam promosi pembelajaran daring, realitasnya menunjukkan bahwa tidak semua individu mendapatkan manfaat yang sama. Banyak non-traditional learners justru menghadapi hambatan yang belum teratasi, mulai dari keterbatasan teknologi, manajemen waktu yang kompleks, hingga minimnya dukungan akademik yang berorientasi pada kebutuhan mereka.

Non-Traditional Learners

Dalam sistem pendidikan tradisional, mahasiswa umumnya adalah individu yang baru lulus sekolah menengah, berusia muda, tidak memiliki tanggung jawab besar selain belajar, dan mendapat dukungan finansial dari keluarga. Sebaliknya, non-traditional learners adalah kelompok yang memiliki kondisi hidup lebih kompleks. Mereka bisa jadi pekerja penuh waktu, orang tua, individu dengan kendala geografis atau ekonomi, hingga mereka yang kembali belajar setelah bertahun-tahun meninggalkan dunia akademik.

Motivasi mereka untuk belajar juga jauh lebih bervariasi dibandingkan mahasiswa konvensional. Sebagian besar dari mereka ingin meningkatkan keterampilan kerja, memperoleh sertifikasi untuk promosi jabatan, atau bahkan mengganti profesi mereka sepenuhnya. Ada pula yang belajar karena dorongan pribadi untuk terus berkembang, tanpa tekanan dari institusi atau keluarga.

Sayangnya, sistem pembelajaran daring saat ini masih banyak dirancang dengan asumsi bahwa semua mahasiswa memiliki kondisi dan kebutuhan yang sama. Konten pembelajaran, metode asesmen, serta sistem dukungan yang tersedia lebih banyak berorientasi pada mahasiswa tradisional. Akibatnya, banyak non-traditional learners yang merasa bahwa sistem ini tidak benar-benar mendukung mereka, melainkan hanya menempatkan mereka sebagai penonton dalam inovasi pendidikan yang tidak inklusif. 

Tantangan Nyata dalam Pembelajaran Daring bagi Non-Traditional Learners

Meskipun pembelajaran daring diklaim memperluas akses pendidikan, banyak non-traditional learners justru menghadapi hambatan yang belum teratasi, mulai dari keterbatasan teknologi, manajemen waktu, hingga kurangnya interaksi sosial. Salah satu tantangan utama adalah kesenjangan akses dan kesiapan teknologi.

Tidak semua mahasiswa memiliki perangkat yang memadai atau akses internet stabil, terutama mereka yang tinggal di daerah terpencil atau dengan kondisi ekonomi terbatas. Banyak yang terpaksa mengikuti kuliah melalui ponsel dengan koneksi tidak stabil, yang tentu berdampak pada efektivitas belajar mereka. Fleksibilitas yang dijanjikan pembelajaran daring pun akhirnya tidak dapat dinikmati secara setara.

Selain itu, non-traditional learners kerap menghadapi kesulitan dalam manajemen waktu dan motivasi. Berbeda dengan mahasiswa tradisional yang memiliki jadwal kuliah tetap, mereka harus menyeimbangkan pekerjaan, keluarga, dan studi tanpa dukungan yang memadai. Banyak yang mengalami academic burnout akibat tekanan ini, sementara sistem pembelajaran daring jarang menyediakan bimbingan yang dirancang khusus untuk membantu mereka mengelola beban akademik.

Minimnya interaksi sosial dan dukungan akademik juga menjadi hambatan besar. Mahasiswa tradisional masih bisa berdiskusi langsung dengan dosen atau teman sebaya, tetapi non-traditional learners cenderung terisolasi dalam sistem daring yang individualistik. Kurangnya mentoring dan dukungan komunitas membuat mereka kehilangan kesempatan berdiskusi mendalam dan mendapatkan motivasi dari lingkungan akademik. Tanpa perubahan signifikan, pembelajaran daring justru berisiko memperparah kesenjangan pendidikan bagi kelompok ini.

- Advertisement -

Membangun Sistem Pembelajaran Daring yang Lebih Inklusif

Membangun sistem pembelajaran daring yang lebih inklusif adalah kunci agar pendidikan digital benar-benar dapat diakses oleh semua, termasuk non-traditional learners dengan kebutuhan yang berbeda. Untuk itu, institusi pendidikan harus mengadopsi pendekatan yang lebih fleksibel dan adaptif. Alih-alih menggunakan metode pengajaran seragam, sistem pembelajaran perlu disesuaikan dengan kebutuhan individu. Pemanfaatan kecerdasan buatan (AI-driven learning) dapat membantu personalisasi materi, memungkinkan mahasiswa belajar sesuai ritme dan preferensi mereka tanpa terjebak dalam model satu ukuran untuk semua.

Selain itu, komunitas belajar yang lebih interaktif sangat diperlukan untuk mengatasi isolasi yang sering dialami non-traditional learners. Pembelajaran daring seharusnya bukan hanya ruang kelas digital, tetapi juga ekosistem yang memungkinkan interaksi aktif antara mahasiswa, dosen, dan mentor. Forum diskusi, sesi tanya jawab, serta program mentoring dapat menciptakan rasa kebersamaan, sehingga mahasiswa tidak merasa belajar sendirian di lingkungan virtual yang impersonal.

Lebih jauh, sistem pendidikan daring harus mengakui pengalaman dan keterampilan yang telah dimiliki mahasiswa sebelum memasuki akademik formal. Dengan skema sertifikasi keterampilan atau recognition of prior learning (RPL), mereka dapat menyelesaikan studi lebih cepat dan lebih relevan dengan kebutuhan mereka, sehingga proses belajar menjadi lebih efisien dan bermakna.

Pendidikan daring memang menjanjikan inklusivitas, tetapi tanpa reformasi, sistem yang ada justru berisiko memperburuk kesenjangan akses pendidikan. Jika tidak segera diperbaiki, pembelajaran daring hanya akan menguntungkan mereka yang sudah memiliki kesiapan, sementara kelompok non-traditional learners tetap tertinggal. Oleh karena itu, pendidikan daring harus bertransformasi menjadi ekosistem yang benar-benar inklusif, menjembatani keberagaman kebutuhan mahasiswa, dan memastikan bahwa akses pendidikan yang luas juga disertai dengan dukungan yang memadai bagi semua.

Revolusi Pendidikan atau Sekadar Ilusi?

Pembelajaran daring memiliki potensi besar, tetapi potensi tersebut tidak akan terealisasi jika tidak ada perubahan mendasar dalam desain dan implementasinya. Jika institusi pendidikan benar-benar ingin menjadikan pembelajaran daring sebagai alat transformasi, maka mereka harus mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif, adaptif, dan berbasis kebutuhan nyata mahasiswa.

Jika tidak, maka pendidikan daring tidak lebih dari sekadar buzzword yang menjual janji manis tanpa memberikan solusi nyata bagi mereka yang paling membutuhkannya.

Karunia Kalifah Wijaya
Karunia Kalifah Wijaya
Laki-laki kelahiran 13 Maret 1997 yang berasal dari sebuah kabupaten kecil yang terletak di lereng Gunung Merapi, tepatnya di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh pendidikan S1 di Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, ruang di mana perjalanan intelektual dan spiritual saya terus berkembang. Lebih dari sekadar mahasiswa, saya adalah seorang pembelajar yang terinspirasi oleh filosofi dan gagasan luhur Ki Hadjar Dewantara. Pemikiran beliau tentang pendidikan dan kemanusiaan menjadi kompas hidup saya, memandu setiap langkah dalam memahami jiwa manusia dan mencari makna dalam kehidupan.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.