Peliknya urusan pertanahan dipadukan dengan samarnya transmigrasi di Indonesia menjadikan perpaduan masalah yang sulit diurai. Pasalnya permasalahan terkait tanah bukan sekedar konflik kepemilikan dan permasalah terkait transmigrasi bukan pula sekedar konflik sosial. Layaknya pohon beringin yang rimbun, permasalahan tanah dan transmigrasi bercabang bahkan hingga ke akar.
Telah diterapkan sejak tahun 1905 dengan ditandai penempatan penduduk asli Kedu, Jawa Tengah sejumlah 155 Kepala Keluarga ke Gedong Tataan, Lampung menandakan telah dilakukannya transmigrasi di Indonesia. Secara istilah transmigrasi sendiri merupakan perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di kawasan transmigrasi yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Penyelenggaraan tentang transmigrasi setidaknya telah diatur melalui 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang dan 2 Undang – Undang yang kini telah digantikan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2009 Tentang Ketransmigrasian juga Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009.
Penyelenggaraan transmigrasi dilaksanakan sebagai upaya untuk lebih meningkatkan kesejahteraan dan peran serta masyarakat, pemerataan pembangunan daerah, serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa melalui persebaran penduduk yang seimbang dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan serta nilai budaya dan adat istiadat masyarakat. Tak ayal para Transmigran berhak untuk memperoleh bantuan dari Pemerintah salah satunya berupa lahan usaha dan/atau lahan tempat tinggal beserta rumah dengan status hak milik.
Melalui Direktorat Jenderal Penyiapan Kawasan dan Pembangunan Permukiman Transmigrasi (PKP2Trans) penyelenggaraan rumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penyiapan kawasan dan pembangunan permukiman transmigrasi disiapkan. Salah satu langkah yang dilakukan untuk mendukung pembangunan dan pengembangan kawasan transmigrasi adalah Pencadangan dan Penyediaan Tanah untuk perencanaan kawasan transmigrasi dan pembangunan satuan permukiman transmigrasi sehingga pada tahap ini telah direncanakan pencadangan dan penyedian tanah untuk transmigran.
Dalam pelaksanaannya pencadangan dan penyedian tanah dilaksanakan oleh pemerintah daerah tujuan yang berasal dari tanah negara, tanah hak dan/atau tanah masyarakat hukum adat. Secara lugas melalui Pasal 29 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2014 bahwa transmigran berhak mendapat pelayanan pertanahan berupa pemberian tanah untuk lahan tempat tinggal dengan lahan usaha atau hanya lahan tempat tinggal yang didapat dari hak pengelolaan hasil pencadangan dan penyediaan tanah pemerintah daerah yang dituju.
Sertifikat hak milik atas tanah yang didapat dari pelayanan pertanahan wajib diberikan kepada transmigran selambat – lambatnya 5 tahun sejak penempatan yang bersangkutan dengan syarat transmigran sudah tinggal menetap dan memanfaatkan tanah paling singkat 2 tahun di permukiman tersebut.
Pada titik inilah permasalahan pertanahan dan transmigrasi penulis anggap mulai terjadi. Pada satu sisi pembuktian transmigran sudah tinggal menetap dan memanfaatkan tanah paling singkat 2 tahun melalui keterangan kepala desa atau sebutan lain.
Hal inilah yang sulit untuk dipertanggung jawabkan, dalam prakteknya di lapangan bahwa terdapat peralihan dari transmigran kepada orang lain dalam penguasaan bidang tanah sebelum sertifikat hak milik diberikan kepada transmigran, juga berdasarkan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2014 bidang tanah yang diberikan kepada Transmigran tidak dapat dipindahtangankan, kecuali telah dimiliki paling singkat selama 15 (lima belas) tahun sejak penempatan, dalam hal terjadi pemindahtanganan di luar ketentuan sebagaimana dimaksud hak atas tanah bagi transmigran menjadi hapus.
Proses inilah yang penulis maksud permasalahan tanah dan transmigrasi bercabang bahkan hingga ke akar. Selain permasalahan yang telah penulis jabarkan melalui tulisan ini sebenarnya masih terdapat banyak permasalahan antara tanah dan transmigrasi seperti penyerobotan tanah oleh masyarakat setempat atas hak pengelolaan tanah transmigrasi yang disebabkan penyelenggaraan rumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penyiapan kawasan dan pembangunan permukiman transmigrasi tidak terintegrasi, penelantaran bidang tanah yang tidak segera dikembalikan hak pengelolaannya, pengembangan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan kondisi lokasi dan permasalahan lain.
Namun peliknya urusan pertanahan dengan samarnya transmigrasi di Indonesia merupakan perpaduan masalah yang juga penting untuk diurai. Kelut-melutnya pertanahan dan transmigrasi juga merupakan permasalahan bangsa yang harus segera diselesaikan tentunya dengan inovasi dan terobosan ilmu pengetahuan agar tidak relevannya peradaban dapat diselesaikan, bukan hanya dengan pengganti Undang – Undang namun bukti nyata solusi yang integral dan berkelanjutan.
One Map Policy merupakan salah satu bukti inovasi dan terobosan ilmu pengetahuan yang salah satunya sangat bermanfaat guna penyelenggaraan transmigrasi dimana dapat meminimalisir kejadian tumpang tindih kebijakan spasial milik instansi pemerintah dengan sesama instansi pemerintah. Selain One Map Policy kebijakan integrasi data by name by address yang diusung Gugus Tugas Reforma Agraria juga merupakan bentuk inovasi guna data tekstual kepemilikan tanah terintegrasi dan terus dilakukan pembaruan guna mendukung pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2014.
Referensi
UNDANG-UNDANG
PERATURAN PEMERINTAH
TRANSMIGRASI DOELOE, KINI DAN HARAPAN KEDEPAN. KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA. 2015.https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fid.wikipedia.org%2Fwiki%2FKementerian_Desa%2C_Pembangunan_Daerah_Tertinggal%2C_dan_Transmigrasi_Republik_Indonesia&psig=AOvVaw3_4KWIXX0nNMbtEPSRnHKm&ust=1614762463887000&source=images&cd=vfe&ved=0CAIQjRxqFwoTCIDE3Jehke8CFQAAAAAdAAAAABAD