Dibalik identitas keramah-tamahan dan pluralitas budaya di kancah internasional, bangsa kita menyimpan album tragedi kemanusiaan yang menyayat hati nurani.
Menurut Bambang W. Soeharto (2013), negara kita tercinta terbentuk dari konflik. Konflik tak pernah berhenti, mulai dari antar suku, agama dan antar golongan, oleh karena itu, tangani konflik dengan ideologi kemanusiaan. Itu kata kuncinya.
Bambang adalah cendekiawan yang banyak berjasa dalam berbagai penanganan konflik di Indonesia. Ia mengabadikan gagasan dan pengalamannya dalam buku yang berjudul Menangani Konflik di Indonesia (2013). Dalam buku itu ia menyimpulkan, konflik di negeri ini tak akan pernah berakhir dan akan selalu menjadi bahaya laten. Akan tetapi, apakah itu benar? Tak adakah cara untuk membebaskan tanah air dari jeratan konflik?
Konflik dan kekerasan. Ia semacam “penyakit stroke” di tubuh masyarakat. Mendadak, ia dapat menyerang dan melumpuhkan rasionalitas. Lebih jauh lagi, efeknya menciptakan tragedi; korban jiwa tak bersalah bergelimpangan. Dan yang paling parah, luka kemanusiaan; trauma dan dendam.
Tanah air kita telah cukup kenyang dengan konflik dan kekerasan. Sejarah telah membuktikan bahwa bangsa kita menyimpan luka mendalam dengannya. Entah dari bentuk konflik dan kekerasan horisontal yang minor hingga mayor.
Sekiranya, sebagian besar tempat dari Sabang-Merauke pernah mencicipinya. Aceh, Lampung, Kalbar, Kalteng, Ambon, Poso sampai Papua. Jika diperhatikan, dalam rentang setengah abad terakhir, banyak saudara kita meregang nyawa sia-sia akibat konflik. Kita saling jagal satu sama lain. Astaghfirullah!
Nyeri dan ngeri. Begitu sensasi melihat rentetan kelam sejarah konflik di tanah air. Sebab konflik itu sendiri selalu multifaktorial, tak ada sebab tunggal. Mulai dari ketidakstabilan politik, sosio-ekonomi, intervensi asing, kendornya kemanan, perbedaan budaya hingga timpangnya hukum. Ketika semua terjadi dalam satu waktu, boom, konflik pun siap menyergap kemanusiaan!.
Namun, melihat polanya, isu SARA lah yang paling disenangi oleh predator konflik. Pertanyaannya, apakah di masa depan tanah air bisa terbebas dari intaian konflik?. Tak ada yang tahu. Yang jelas, kita seperti tak pernah belajar dari sejarah. Kita selalu mengulang kesalahan yang sama. Mungkin, luka kemanusiaan akibat konflik, membuat kita sukar untuk keluar dari lingkaran setan itu.
Memasuki awal tahun, saya sangat mengapresiasi berbagai wacana dari lapisan masyarakat yang optimis menyambut hari esok. Ada yang melaksanakan dzikir akbar, berdiskusi menyambut tahun politik, meramal stabilitas ekonomi, anak muda yang riuh dengan gemerlap pesta kembang api dan lain-lain. Tapi, jika boleh usul, mengapa kita tidak memunculkan wacana renungan sejarah konflik bangsa kita?
Banyak generasi muda membutuhkan pemahaman ini. Sebab, untuk mencegah konflik, kita justru mesti belajar dari konflik itu sendiri. Absurdlah jika kita tak menginginkannya, namun kita abai mengkaji dan mempelajari realitas sejarah dari konflik itu sendiri. Lalu, langkah preventif apa yang bisa dilakukan?
Ibarat penyakit, konflik dan kekerasan adalah penyakit stroke. Di abad ke-21, stroke merupakan pembunuh nomor satu. Secara medis, sebab stroke itu sendiri adalah gaya hidup (lifestyle) yang buruk dan tak seimbang. Nah, persis di situ kata kuncinya: gaya hidup.
Jika sudut pandang itu diaplikasikan dalam wacana mencegah konflik, maka gaya hidup masyarakat kitalah yang harus diupgrade. Dalam konteks ini, gaya hidup itu ialah mengedepankan akhlak dan mengembangkan literasi kearifan lokal. Mengapa akhlak dan literasi kearifan lokal? Sebab, kedua hal itu merupakan embrio bagi kehidupan yang beradab dan bertoleransi. Dengan gaya hidup beradab dan bertoleransi, mungkin konflik itu dapat dicegah sedini mungkin.
Secara filosofis, ada dua cara pendekatan untuk memahami akhlak. Pertama, ialah dengan menggunakan sudut pandang Islam. Kedua, menggunakan sudut pandang moral. Dari sudut pandang Islam, akhlak merupakan perbuatan terpuji yang berlandaskan Al-Quran dan adab rasulullah. Oleh sebab itu, dengan membedah Al-Quran dan mengenal riwayat beliau maka akan membantu kita bertransformasi menjadi manusia yang berakhlak dan beradab.
Namun, ada hal yang perlu digarisbawahi. Untuk hal yang pertama, tak sembarang orang mampu membedah dan menerapkan kandungan Al-Quran secara murni. Sebab, nilai-nilai yang dikandung Al-Quran itu sendiri sangat dalam dan luas. Pada titik ini, biarlah tugas para ulama dalam mengkampanyekan akhlak yang berasaskan Al-Quran.
Untuk hal yang kedua, mengenal riwayat baginda rasulullah dapat dilakukan oleh siapapun, khususnya segenap umat muslim yang telah baligh. Pengenalan jalan hidup beliau ialah jalan terang yang dapat ditelusuri agar kita menjadi manusia beradab. Dengan kata lain, sejarah beliau pada dasarnya ialah sebuah riwayat yang mengadabkan umat manusia. Kini, gambaran mental tentang sosok beliaulah yang tak tertanam erat dalam kesadaran kolektif generasi muda bangsa kita. Minimal, dengan mengenal riwayat hidup beliau tak membuat kita buta total dalam proses menjadi beradab.
Di sisi lain, secara moral, akhlak dapat didekati dengan mengandalkan rasionalitas manusia. Hal inilah yang dilakukan oleh Aristoteles ketika merumuskan filsafat moral dan etikanya. Baginya, jiwa rasionalitas manusia sejatinya mampu selaras dengan kebajikan. Kebajikan itu bisa diraih lewat sebuah keutamaan. Aristoteles sendiri menjabarkan bermacam keutamaan, salah satunya ialah pengendalian diri. Untuk mengetahui yang lainnya, silahkan baca bukunya sendiri.
Keutamaan bisa dibilang ialah sebuah sikap/tindakan yang dapat dipelajari. Ia tak ada secara alamiah, namun membutuhkan proses dan waktu. Seorang Aristoteles pun menganggap bahwa tindakan/sikap ialah yang terpenting. Sebab, pengetahuan tanpa tindakan hanyalah kesia-siaan. Kemampuan bersikap inilah yang disebutnya sebagai kebijaksanaan praktis (phronesis). Singkatnya, manusia mampu bermoral dan beradab lewat sebuah proses, tak instant begitu saja. Nah, inilah tantangan terbesar di tengah iklim zaman yang serba instant seperti sekarang.
Lalu poin terakhir, literasi kearifan lokal. Setiap suku dan budaya memiliki kekayaan nilai masing-masing. Saking melimpahnya, tanah air kita mempunyai konsep ‘kearifan lokal’. Hal ini sejatinya menunjukan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang berperadaban tinggi. Bung Karno tak bohong ketika menyebut bahwa kita adalah bangsa yang besar, bukan bangsa tempe!
Namun lagi-lagi, gambaran ini tak tertanam erat dalam benak generasi muda bangsa kita. Oleh karena itu, pengenalan ini mesti dilakukan secara kontinyu; lewat literasi kearifan lokal. Mumpung belakangan gerakan literasi sedang digalakkan, ada baiknya jika disisipkan menyoal literasi kearifan lokal ini.
Yah, tak ada yang tahu seberapa efektif cara-cara ini dapat mencegah konflik. Namun, berbuat lebih baik daripada tak melakukan apa-apa.