Sabtu, Desember 14, 2024

Tak Ada Koalisi Permanen dan Koalisi Ramping

Mohammad Jafar Loilatu
Mohammad Jafar Loilatu
Penulis Lepas. Konsen terhadap isu-isu demokrasi, politik, pemilu dan konflik. Peneliti Center for Government Studies UMM.
- Advertisement -

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan sengekata pemilihan presiden (pilpres) dengan menolak seluruh gugatan yang diajukan oleh pemohon (Prabowo-Sandi), dengan begitu perselisihan terhadap hasil pilpres telah berakhir. Dan selamat kepada Jokowi-Ma’ruf yang terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia tahun 2019-2024.

Proses politik berjalan hampir satu tahun, koalisi dibangun, tim sukses di susun, hingga kegiatan kampanye pasangan calon dan relawan. Akhirnya proses politik (pilpres) telah selesai, melalui sidang sengketa pilpres MK memutuskan sengketa pilpres.

Tetapi ada yang selalu menarik dalam setipa perhelatan pesta demokrasi. Untuk menjalankan transisi kekuasaan dari satu ke yang lain, tetapi sayangnya tidak ada tranisisi di tahun ini, petahan Jokowi-Ma’ruf lebih unggul. Meskipun ada pihak yang menilai banyak kecurangan yang dilakukan oleh pasangan ini, tetapi tuduhan terhadap kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) tidak dapat dibuktikan sehingga MK menolak semua gugatan pemohon.

Jokowi versus Prabowo adalah laga ulangan (istilah bagi pecita bola), meskipun harapannya Prabowo dapat memenangkan pertandingan leg kedua, sayangnya keberuntungan belum berpihak kepada Prabowo sehingga ia kembali kalah. Yang perlu diapresiasi dari prabowo adalah dia selelau masuk dalam partai final, meski akhirnya dewi fortuna tidak berada dipihaknya (begitu cara memberi dukungan moril bagi tim yang kalah).

Catatan menariknya adalah selama kedunya maju dalam pilpres baik tahun 2014 maupun 2019 ada beberapa keputusan politik seperti direka ulang. Tahun 2014 Prabowo menggandeng Hatta Rajasa sebagai calon wakil presiden yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) dan juga Menteri Konrdinator Bidang Pekononomian.

Prabowo membentuk koalisi permanen, koalisi permanan di dalamnya terdiri dari beberapa partai besar seprti Partai Golkar (Abu Rizal Bakrie), Partai Bulan Bintang (MS Kaban), Partai Keadilan Sejahera (Anis Mata), Partai Persatuan Pembangunan (Suryadharma Ali) dan Partai Demokrat (Nachrowi Ramli).

Koalisi ini dikritik karena tidak ada kepentingan politik yang permanen. Sehingga partai politik dapat berlabu kapan saja dan di mana saja, sejauh pembagain kekuasaan dan kepentingan politik dapat diakomodasi. Pasca pilpres 2014 tidak berselang lama koalisi ini pecah, hal ini disebabakan oleh elit partai politik yang memiliki perbedaan pandangan sehinga mengakibatakn konflik antarelit partai politik.

Golkar dan PPP misalnya kedua partai ini mengalami gejolak dalam tubuh partai politik, sehingga terjadi konflik antara elit partai yang medukung Prabwo dan elit partai yang mendukung Jokowi, akhir dari konflik ini dengan berlabuhnya kedau partai politik ke dalam koalisi Jokowi dan distribusi kekuasan berjalan dengan baik bagi kedua parti poltik tersebut.

Tahun 2014 Jokowi mengistilahkan sebuah koalisi ramping yang hanya diisi oleh empat partai koalisi yakni; Partai Hanura (Wiranto), Partai NasDem (Surya Paloh), Partai Kebangkitan bangsa (Muhaimin Iskandar) dan PDI-P sendiri (Megawati). Koalisi ini mengistilahkan koalisi ramping sebagai komitmen bahwa tidak ada pembagian kekuasaan dalam tubuh pemerintah nantinya.

Pasca terpilih koalisi ramping ternyata jargon belaka, Jokwoi dan partai koalisi tidak dapat membendung loby-loby elit politik, beberapa partai politik masuk ke dalam tubuh pemerintah, dengan tujuan untuk menjaga stabilitas pemerintah maka Jokowi membuka pintu selebar-lebaranya bagi partai politik lain.

- Advertisement -

Pilpres 2019 yang baru diumukan secara resmi oleh komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki kemiripan dengan pemilihan presiden 2014, tetapi koalisi Jokowi-Ma’ruf lebih gemuk dari koalisi Prabowo-Sandi. Jokowi pada pilpres 2019 diusung oleh enam partai yakni: PDI-P, Golkar, NasDeem, Hanura, PKB dan PPP ditambah empat partai pendukung lainnya PSI, Perindo, PBB dan PKPI. Sedangkan Prabowo diusung oleh Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat, juga mendapatkan dukungan dari Partai Berkarya.

Pilpres tahun 2014 dan 2019 selain laga ulang antara Jokowi dan Prabwo juga terjadi beberapa reka ulang. Koalisi ramping adalah jargon yang dikampanyekan oleh tim Jokowi dan mengkritik Prabowo bahwa koalisi yang ada di dalamnya adalah koalisi bagi-bagi kursi. Tetapi pilpres 2019 Jokowi membetuk koalisi (gemuk), yang disi oleh partai-partai baru dan partai lama, tentu perlu bagi-bagi kursi karena tidak ada makan siang yang gartis.

Jokowi perlu menghitung satu persatu partai politik yang harus diakomodir, jika perlu membentuk badan atau kementiran baru untuk memberikan jata kursi bagi partai koalisi. Selian itu beredar rumor partai pengusung Prabowo akan merapat ke barisan pemeritah, tentu koalisi ini bukan hanya gemuk tetapi menjadi obesitas hipertropik. PAN dan Demokrat adalah dua partai yang punya kesempatan bergabung berasama pemerintah.

Pasca putusan MK Prabowo secara resmi membubarkan koalisi yang dibangun, koalisi Adil Makmur hanya bertahan setelah putusan MK, dan tidak berjalan berdampingan untuk menjadi oposisi yang permanen.

Begitu juga dengan koalisi Jokowi tidak ramping, setelah penetapan Jokowi-Ma’ruf sebagai pasangan Calon Preisden dan Calon Wakil Presiden terpilih maka semua partai akan berebut mengisi pos kementrian, apalagi beberapa partai politik telah menyodorkan nama sebagai calon menteri di kabinet Jokowi-Ma’ruf.

Politik adalah aktifitas yang tidak pasti, lebih banyak hidden agenda sehingga politik hanyalah transaksi kekuasaa, itulah yang dipraktekan dalam demokrasi kita. Meskitpun dengan tujuan menjaga siklus kekuasaan agar dinamis tetapi hidden agenda dibarengi hidden power sehingga menciptakan polarisasi yang tujuan akhirnya adalah bagi-bagi kekuasaan.

Selain itu posisi oposisi yang dilematis ingin mengambil posisi aman demi agenda politik kedepan. Steven Lukes (2009) menyebutnya dengan istilah three dimension of power, bahwa perlu kritik kekuasaan baik secara objektif maupun subjektif yang dilakukan oleh mereka yang berada di luar pemerintahan. Siapa yang bisa menolak berada di luar pemerintah atau di dalam pemerintah kecuali aktor politik itu sendiri.

Sebagai pemilih yang telah menyalurkan aspirasinya kita perlu menjadi bagian dari kedaunya, baik sebagai pendukung maupun sebagai opoisisi, kritik dan masukan berimbang, seperti yang digambrkan oleh Lukes dengan begitu pemerintahan berjalan bukan berdasarkan keinginan elit politik semata tetapi dengan tujuan untuk mewujudkan visi dan misi selama lima tahun ke depan.

Mohammad Jafar Loilatu
Mohammad Jafar Loilatu
Penulis Lepas. Konsen terhadap isu-isu demokrasi, politik, pemilu dan konflik. Peneliti Center for Government Studies UMM.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.