Minggu, November 24, 2024

Surga Aksara, Menjadi Intelektual yang Bahagia

Rae Wellmina
Rae Wellmina
Pelayan Kata. Menulis Embun Kerinduan (2019) S1 Business Administration Undip & Ateneo de Manila Univ Phillipines S2 Islamic Philosophy & Mysticism di Jakarta Bergiat di Rumi Institute & Center of Living Islamic Philosophy Jakarta IG: raewellmina / FB: rae wellmina / e-mail : raewellmina@gmail.com
- Advertisement -

I have always imagined that Paradise will be a kind of library (Jorge Luis Borges)

Surga, acapkali dipersonifikasikan dengan kumpulan bidadari, dan sungai yang mengalir mengelilinginya. Demikian tamsil surga yang biasa kita dengar. Namun bagi orang seperti penyair Argentina, Borges, surga dapat tercipta dari selaksa aksara. Sekumpulan buku-buku dalam perpustakaan yang sangat besar, dapat pula menjadi sebuah surga.

Namun, siapakah orang yang merindukan “surga” ala Borges ? “Surga” ala Borges hanya akan diimpikan oleh orang-orang yang telah mengecap kebahagiaan dari bahan bacaan (intellectual happiness). Sedangkan bagi orang-orang yang tak menyukai kegiatan membaca, maka bahan bacaan tak lebih dari tumpukan kertas tak berguna, dan tak memiliki nilai.

Di tengah-tengah kita, surga telah diklaim hanya dimiliki oleh kelompok tertentu saja. Kelompok selainnya tak berhak atas surga karena dianggap tak memiliki kebenaran. Dalam bahasa Ibn Sina, kita akan diuji oleh kaum yang berpikir bahwa kebenaran hanya datang pada kelompoknya. Tetapi tentu itu bukan “surga” yang dinyatakan Borges.

Karena entah mengapa, “surga” ala Borges, yang bisa dinikmati siapa saja, justru kurang diminati di negeri ini.  “Surga” ala Borges tak lain adalah “surga” aksara. Sebuah surga yang tak kalah indah dengan pemandangan-pemandangan eksotis yang ramai dipamerkan di instagram. Karena buku-buku juga mampu memberikan keindahan bagi pembacanya, meskipun yang kamu pandangi hanya berupa deretan kata.

Buku di Masa Lalu 

Dahulu di zaman kolonial, jika penguasa kolonial tidak berkenan dengan sebuah buku, yang isinya mengancam kepentingan dan posisi mereka, maka kolonial akan memerintahkan para intelektual bayaran untuk menulis karya tandingan. Untuk membuat opini berbeda. Gagasan dilawan dengan gagasan. Buku dilawan dengan buku. Kolonial tak sekedar melarang tanpa alasan. Negeri ini didirikan oleh para founding father yang penuh cinta atas dunia aksara.

Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Tan Malaka, dan juga tokoh lain seperti HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, dan lain-lain. Mereka semua adalah pembaca buku kelas wahid. Mereka semua sangat mencintai aksara. Sehingga tak heran jika istri Bung Hatta pernah berseloroh, “Saya adalah istri kedua Bung Hatta. Karena istri pertamanya adalah buku-bukunya”.

Sikap beliau-beliau terhadap buku yang penuh cinta, akhirnya mampu mengejawantah dalam perilaku mereka yang toleran terhadap perbedaan. Hal ini dimungkinkan karena buku-buku bacaan akan mampu menawarkan paradigma yang berbeda. Dan perbedaan satu sama lain bukanlah ancaman. Melainkan dari perbedaan pandangan tersebut ilmu berkembang, dan terus memberikan manfaat bagi kita. Karena perbedaanlah kita saling membutuhkan satu sama lain.

Dan perbedaan, sebagaimana yang ditawarkan sebuah buku, adalah realitas kehidupan yang harus kita terima secara dewasa. Namun bagi orang-orang yang tak terbiasa dengan tradisi membaca, agaknya perbedaan adalah kutukan. Ibarat kelelawar yang terbiasa akrab dengan kelam malam, maka sinar mentari akan menyakitkannya. Maka bagi mereka yang anti perbedaan, akan sangat sulit untuk menyampaikan kenikmatan dari membaca, dan berdiskusi.

Kebahagiaan Intelektual

Tidak ada yang memungkiri bahwa salah satu tujuan yang hendak dicapai manusia dalam hidupnya, yang hanya sekali ini, adalah mengecap kebahagiaan. Definisi kebahagiaan bisa bermacam-macam. Dan salah satu jenis kebahagiaan, yang disebut sebagai kebahagiaan tertinggi oleh Aristoteles ialah Eudaimonia (intellectual happiness) kebahagiaan intelektual. Kebahagiaan jenis ini, tidak akan datang dari kenikmatan ragawi, namun akan datang dengan bersetia kepada dunia aksara dan tradisi intelektual.

- Advertisement -

Sekolah dan kampus, adalah jembatan emas bagi manusia untuk sampai pada kebahagiaan jenis ini. Dengan iklim keterbukaan pemikiran, kampus akan memungkinkan para mahasiswanya berselancar dalam aneka dunia pemikiran yang beragam. Tanpa takut dan tanpa curiga.

Bagi orang-orang yang meyakini kebenaran keyakinannya, maka pasti dia akan mendukung keberanian dan kebebasan berpikir bagi semua orang. Karena dia yakin, keyakinannya memang benar dan dia tak perlu ragu dengan pandangan dari orang lain. Sehingga dia akan mampu berkata, “meski aku tak setuju dengan pendapatmu, namun aku akan tetap mendukung kebebasan berpendapat yang melekat pada dirimu”.

Maka kita perlu bersikap terbuka dan mencintai semua jenis buku dan ilmu pengetahuan. tak perlu ada ketakutan terhadap pemikiran apapun, dengan alasan apapun seperti alasan pendangkalan akidah, penyelamatan umat dan sebagainya. Jika kita yakin bahwa keyakinan yang kita pegang sebagai kebenaran, berselancar dalam arus pemikiran yang bermacam-macam akan menjadi kegiatan yang sangat mengasyikkan.

Kita akan berjumpa dengan rupa-rupa pemikiran yang berbeda. Bukankah sebuah taman akan terlihat lebih indah jika ada banyak warna bunga, dari jenis yang beraneka macam.

Rae Wellmina
Rae Wellmina
Pelayan Kata. Menulis Embun Kerinduan (2019) S1 Business Administration Undip & Ateneo de Manila Univ Phillipines S2 Islamic Philosophy & Mysticism di Jakarta Bergiat di Rumi Institute & Center of Living Islamic Philosophy Jakarta IG: raewellmina / FB: rae wellmina / e-mail : raewellmina@gmail.com
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.