Jumat, April 19, 2024

Surat untuk Pemira UB dan DPM UB (1/2)

Adi Fauzanto
Adi Fauzanto
Pusat Studi Sosial Demokrasi dan Anti Korupsi

Perkataan Soe Hok Gie tentang politik merupakan barang-barang kotor, dan lumpur-lumpur yang kotor, itu salah. Tesis Soe Hok Gie tentang politik sekali lagi, salah. Tesis tersebut dipatahkan, bahkan melebihi lumpur yang kotor, tahu apa itu? Feses.

Banyak terjadi kisah politik yang membingungkan masyarakat dengan negara mental terjajah ini. Peristiwa itu, diantara lain lawan politik pemilihan presiden, dan yang kalah menjadi menteri. Dan paling parah adalah cepatnya proses revisi Undang-Undang tentang KPK. Tetapi, yang satu ini jauh dari pusat pemerintahan, cerita ini dari salah satu kampus di Jawa Timur, yaitu Universitas Brawijaya (UB).

Sebelum jauh meleburkan duduk masalah di kampus UB, mari kita refleksikan proses #ReformasiDikorupsi, ada sebuah negara dengan sistem yang habis-habisan dikritik mahasiswa yang katanya sebagai agent of change. Namun ketika dia berada di kampusnya, terjadi peristiwa berulang, elite yang mengaku sebagai mahasiswa, sama hancurnya seperti negara.

Peristiwa tersebut terjadi diantara lingkaran DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa) jika diibaratkan sebagai DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) di pemerintahan, dan Panitia Pelaksana PEMIRA (Pemilihan Mahasiswa Raya) jika diibaratkan sebagai KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang melaksankan Pemilu (Pemilihan umum).

Tetapi saya tidak akan termakan dengan analisis politik yang menjebak kepada kotoran yang disebutkan diatas tadi. Saya akan jelaskan melalui analisis dan pendekatan hukum. Secara garis besar saya menjelaskan 2 (dua) topik mengenai Konsep Lembaga Independen dan Harmonisasi dalam Ilmu Peraturan Perundang-undangan.

Kerancuan Kata “Independen” dalam Panitia Pelaksana Pemira

Pembahasan pertama dimulai dari kata “independen” yang banyak dibahas diseluruh negeri, karena status lembaga independen KPK. Secara garis besar era reformasi melahirkan banyak lembaga independen, salah duanya ialah KPK dan KPU. Kedua lembaga ini menjadi anak dari reformasi, jika kedua nya tidak lagi dicita-cita dari awal yaitu independen, maka reformasi hanya sebuah batu loncatan untuk kembali kepada orde baru.

Lalu kita bertanya-tanya dimana posisi lembaga independen di suatu negara demokrasi. Dalam banyak diskusi dan pembahasan, termasuk FGD yang membahas mengenai KPK di FH UB, posisi lembaga independen dalam negara demokrasi berangkat dari sistem yang digagas oleh montesquie yaitu trias politica, dimana didalamnya terdapat eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dan kebanyakan masyarakat pada umumnya hanya mengetahui hal tersebut.

Namun, perkembangan zaman menuntut ilmu pengetahuan mengenai ketatanegaraan berubah. Terdapat adanya poros keempat yaitu pengembangan dari sistem montesqieu, yaitu auxiliary state organ atau lembaga sampiran negara. Menurut Ahmad Basarah (DPR RI) dalam jurnalnya tahun 2014, mengatakan lembaga negara pembantu dari beberapa fungsi (trias politica) atau dibentuk diluar bagian fungsi kekuasaan tersebut.

Mengutip beliau lagi, mengatakan seperti ini, “Keberadaan lembaga independen sering disamakan dengan keberadaan lembaga penunjang lainya yang dibentuk oleh ekskeutif. Padahal secara teori keberadaan lembaga indeenden itu dibedakan dengan ekskutif. Padahal secara teori keberadaan lembaga independen berbeda itu berbeda. Alasannya adalah lembaga ini dalam menjalankan fungsi dan tugasnya tidak mendapatkan tekanan dari kekuatan politik, karena hal ini dapat berdampak negatf ketika lembaga tersebut melaksanakan tugasnya.”

Dilain sisi, seorang ahli hukum tata negara dari UGM yaitu zainal arifin mochtar, yang juga merupakan bagian dari PUKAT UGM. Dalam isi materi FGD tentang KPK di FH UB, syarat lembaga negara yang independen adalah (1) bukan cabang kekuasaan, (2) pemilihan bukan political appointee, (3) pemilihan dan pemberhentian sesuai aturan dasar, (4) Bukan lembaga negara utama. Sebenarnya ada beberapa point lagi, tetapi kebanyakan nanti males membaca. Dan masih ada menurut Jimly Asshiddqie, Funk, dan Seamon.

Selain pendapat ahli coba kita perbandingkan dengan lembaga KPU yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam buku kedua dan dari banyak pasal yang berada di Undang-Undang tersebut tidak menyebutkan pertanggungjawaban ke DPR. Dan dibentuknya KPU Pusat bukan hanya melalui DPR tapi melalui Panitia seleksi yang dibentuk pemerintah. Dan sifatnya bukan hirerakis kepada DPR.

Nah dari metode doktrin atau pendapat ahli hukum dan metode perbandingan lembaga negara, kita masukan mengenai objek Panitia Pemira UB dalam kedua metode tadi. Adalah sangat tidak sesuai dengan lembaga independen negara. Mengapa? Sederhananya Panitia Pemira merupakan badan dibawah lembaga legislatif nya mahasiswa yaitu DPM, dan bertanggungjawab kepada DPM, yang akan dielaborasi dalam analisis normatif.

Pada Undang-Undang Lembaga Kedaulatan Mahasiswa Universitas Brawijaya (UU LKM UB) Nomor 3 tahun 2019, dalam Pasal 4 Butir 2 menyatakan “Panpel Pemira yang bersifat Independen … ”. Konsekuensi daripada independen harus merujuk kepada teori lembaga negara independen. Lalu pada Pasal 4 Butir 8 menyatakan “Panpel Pemira bertanggungjawab kepada panitia pengarah” dimana dalam hal ini merupakan DPM UB dalam Pasal 4 Butir 1. Dimana dalam satu pasal terdapat pertentangan hukum. Aneh bukan? Dan merujuk ke teori lembaga independen yang mana?

Dan dalam Pasal 4 Butir 10 menyatakan “Panitia Pengarah dapat membantu menyelesaikan permasalahan pelaksanaan PEMIRA, yang tidak bisa terselesaikan didalam internal Panpel Pemira”. Begini logikanya, dianalogikan di pemerintahan RI. Terjadi konflik di KPU, lalu KPU tidak bisa mengatasinya, dan DPR dapat membantu menyelesaikan konflik tersebut. Logika politik praktisnya, ketika ada calon yang mau maju menjadi DPR lagi (Petahana) dia dapat menyelesaikan masalah lembaga yang merupakan sarana pemilihan Petahana dan lawannya, tentunya harus yang menguntungkan petahana.

Selain itu, gendutnya struktur lembaga dalam pemilihan ini seperti terdapat, (1) Panitia Pelaksana, (2) Panitia Pengawas, (3) Panitia Pengarah, (4) DPM UB. Benar-benar membingungkan dalam satu daerah pemilihan kecil (Universitas Brawijaya) terdapat banyak lembaga dan terdapat lembaga legislatif pula.

Ketika saya membaca itu saya sudah mulai males untuk membahas struktur yang berantakan dan absurd ini dalam konteks hukum, rasanya percuma saja belajar 3,3 tahun (saat ini) jika melihat UU LKM UB ini. Sebenarnya masih banyak yang dibahas dalam kajian ketatanegaraan dan administrasi negara dalam UU LKM UB ini.

Adi Fauzanto
Adi Fauzanto
Pusat Studi Sosial Demokrasi dan Anti Korupsi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.