Belakangan ini situasi sosial politik kita semakin menarik untik ditelaah lebih dalam. Sebut saja kasus kemunculan raja-raja di tingkat lokal, seperti Sunda Empire dan Keraton Agung Sejagat. Hal ini sebenarnya memberi sinyal ke publik, bahwa Indonesia memasuki babak akut dalam gejala sosial yang unik tersendiri.
Kemunculan raja-raja tersebut sebenarnya mengaktifkan kuriositas publik untuk berpikir secara rasional dan bijak. Berbagai peristiwa, harus dibaca sebagai simptom dari problem-problem sosial yang mengakar dalam bangsa ini. Imajinasi pembentukan kembali, respahing terhadap kerajaan-kerajaan, merupakan suatu strategi sosial yang dibangun secara kolektif dalam mendevenisikan kesejahteraan bagi kehidupan bersama.
Dengan mengangkat sesuatu yang sangat sublime walaupun rapuh dalam basis sejarah mengenai kerajaan di Indonesia. Namun fenomena seperti ini menandakan bahwa demokrasi kita di Indonesia sedang mengalami krisis dalam dirinya.
Krisis Demokrasi
Mengapa dikatakan krisis demokrasi? Pertama, suka tidak suka sepakat tidak sepakat. Dalam satu dekade terakhir situasi politik kita hampir penuh dengan kedagelan. Sebut saja oligarki berlaku sesuka hati, koruptor keluar masuk penjara lalu akhirnya menjadi pemimpin, kabinet ditempatkan oleh pelanggar HAM, dan masih banyak kasus lainnya.
Kedua, selama ini pendistribusian demokrasi, benar-benar tidak dilakukan secara serius oleh rezim kekuasaan. Sebagai contoh, rezim membatasi kebebasan bagi organisasi-organisasi tertentu dan memberi keistimewaan bagi kelompok lain, rupanya tak ada kesetaraan dalam kehidupan bernegara.
Ketiga, kekerasan baik yang verbal maupun nonverbal selama ini dilakukan oleh kekuasaan, mulai dari tingkat lokal sampai pusat masih terjadi. Bayangkan, penggusuran warga hanya demi memuluskan misi pembangunan, penjara terhadap aktivis HAM, dan berbagai kekerasan lainnya.
Dari ketiga kasus yang muncul dipermukaan publik, sebenarnya sudah membuktikan bahwa demokrasi Indonesia sedang krisis. Kekrisisan karena keterbatasan negara dalam mengambil keputusan publik yang punya kecendrungan mengabaikan dimensi kemanusiaan.
Dalam konteks teori politik, maka krisis demokrasi bisa dibahasakan sebagai dislokasi. Dislokasi mengacu pada proses yang kontigensi terhadap setiap subjek dari struktur diskursif dibuat nampak. Dengan berfokus pada dimensi negatif dan akhirnya menghasilkan krisis yang mengancam dan mensubvsersi representasi dalam ideologi hegemonik. Namun, dislokasi memiliki karakter produktif, karena faktor-faktor dislokasi melahirkan situasi lack atau keterpecahan, dari situasi ini mengakibatkan terjadinya proses artikulasi baru, Stavrakakis (1999).
Artikulasi Kolektif
Persis dislokasi muncul karena akumulasi segala persoalan yang ada menjadi titik kulminasi bagi sosial. Tak pelak, gejala-gejala yang unik muncul baik secara alamiah ataupun direkayasa. Dan Sunda Empire sebenarnya merupakan efek akumulasi dari krisis demokrasi itu sendiri.
Apa yang menjadi semantik dari Sunda Empire merupakan bentuk artikulasi sosial. Artikulasi terdapat hubungan saling membentuk antara praktek dan wacana. Praktek atau tindakan, termasuk pernyataan, direproduksi dalam wacana sekaligus mereproduksi wacana itu sendiri, Djalong (2011: 10).
Dengan demikian untuk membaca gejala sosial yang muncul sangat sederhana yaitu: ketika imajinasi kehidupan yang baik dan sejahtera bagi masyarakat belum juga tiba (oleh negara). Sehingga suka tidak suka, satu hal yang dilakukan oleh masyarakat, dengan menawarkan format kesejahteraan dan kehidupan yang baik sesuai dengan imajinasi kolektif sosial sendiri.
Secara a priori kira-kira konteks itulah yang ditawarkan oleh Sunda Empire. Mereka menawarkan kesejahteraan bagi komunitasnya dengan cara kehidupan sebagai sebuah kerajaan dalam sebuah negara. Yang mana discourse yang dibangun bahwa “raja yang baik akan merawat masyarakatnya sebaik mungkin”, atau dengan pesan-pesan historis kerajaan sendiri dan itulah bentuk artikulasi politiknya.
Mari kita baca bukti empiris mengenai artikulasi yang dibuat oleh Sunda Empire. Sebutkan saja ketika membicarakan soal sumber daya membangun kerajaan, alasan dari Sunda Empira bahwa tidak ada kekurangan resources karena banyak aset kerajaan yang mereka miliki. Kendati ini sangat lucu dan menggelitikan publik.
Namun base text yang tidak dikeluarkan secara radikal bahwa Indonesia memiliki banyak aset. Dan jika aset-aset tersebut digunakan dengan baik, maka imajinasi kebaikan itu bisa dituaikan dalam kemaslahatan bangsa.
Yang ditawarkan oleh Sunda Empire sangat sederhana melalui artikulasi kolektif dalam imajiner kerajaannya, bahwa nilai kebaikan dari kerajaan itu menjadi titik mereka bergerak, bukan memaksakan kerajaan itu sebagai dasar kehidupan politik mereka.
Negara Berpikir Bijak
Kemunculan Sunda Empire tak serta merta ditanggap dengan lelucon apalagi kalau sampai ke jalur hukum. Bukannya mengabaikan hukum, namun penting sekali negara dalam hal ini Pemerintah harus berpikir bijak. Apa dasar negara berpikir bijak?
Pertama, Negara harus menempatkan setiap kasus dan gejala sosial bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai sebuah masukan, bahwa ada persoalan yang begitu menganga di akar masyarakat yang belum terselesaikan.
Kedua, Negara harus melihat formasi keanggotaan dari Sunda Empire mulai dari status sosialnya, status pendidikan sampai pada kondisi kehidupan dari anggota Sunda Empire sendiri. Setidaknya dengan memahami formasi keanggotaan secara keseluruhan, maka dengan sendiri akan memperoleh pengetahuan, bahwa ternyata di dalamnya sangat frgamentasi kepentingan.
Artinya anggota-anggota yang masuk dalam Sunda Empire bisa saja hanya mengikuti supaya ada aktivitas sosial, dan mungkin pendistribusian pendidikan yang dilakukan organisasi Sunda Empire diberi dengan baik pada masing-masing anggotaannya.
Persis temuan-temuan pelacakan terhadap internal Sunda Empire itulah yang menjadi masukan bagi Negara sebagai pengambil keputusan dalam kebijakan ke depannya. Dengan demikian, dalam menyelesaikan persoalan Sunda Empire, Negara harus membaca lebih jauh bahwa ada persoalan besar yang ditampilkan dari kasus-kasus seperti itu. Kecerdasan pemerintah teruji dengan membaca menggunakan akal dan mata batin dalam menyelesaikan persoalan sosial.