Setelah Sumpah Palapa yang terkenal itu (era-1330). Perang bergejolak untuk suatu hasrat untuk menyatukan daerah kekuasaan di bawah payung Majapahit. Satu persatu kerajaan terdekat jatuh dalam rangkulan Mahapatih Gajah Mada tak terkecuali sisa-sisa Sriwijaya di Palembang, lalu kemudian menyasar kerajaan-kerajaan terjauh hingga Semenanjung Malaya dan Tumasik (Singapura).
Bertahan hanya nyaris dua abad, Majapahit akhirnya berakhir dalam serpihan-serpihan. Kekuatan yang dibangun lewat spirit Sumpah Palapa ternyata tidak mampu membendung dahsyatnya pertarungan politik internal yang merongrong kerajaan terbesar ini dari dalam.
Benteng pertahanan kerajaan yang sangat disegani di Asia Tenggara ini kemudian benar-benar pupus hingga penghujung abad ke-15, yang akhirnya memberi jalan kolonialisme Barat bisa begitu leluasa mencengkeramkan kakinya hingga 300 tahun di Bumi Nusantara ini sejak era-1830.
Setelah itu, fase-fase untuk bangkit dari keterjajahan penuh penderitaan dialami dengan jejak yang begitu memilukan. Apa yang paling menyakitkan di benak bangsa yang pernah berjaya tak lain selain menyaksikan ketundukan berabad-abad di kaki bangsa lain.
Lalu di atas derita bahkan darah, mulailah satu dua anak bangsa memamah kembali perjalanan untuk menemukan kembali spirit Palapa yang sempat hilang. Di depan para pemuda dari berbagai latarbelakang suku, agama, dan organisasi, di penghujung 1928, Mohammad Yamin, sang interpreter atas Gajah Mada muncul, dengan menawarkan basis historis untuk klaim sebuah bangsa yang ingin merdeka yang ia sebut Nusantara. Mulailah secercah harapan itu kembali menyala.
Benih-benih Indonesia kemudian semakin jelas. Ia tidak hanya berada dalam himpitan romantisme masa lalu, luka, tapi juga harapan. Yang melahirkan suatu konsensus politik untuk berdiri (kembali) sebagai bangsa yang satu; bertanah air satu, hingga berbahasa satu, yang lazim dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Semuanya tak ada tujuan lain selain untuk mempercepat kelahiran bayi negara yang telah lama hilang bernama Nusantara (Indonesia). Satu-satu cara untuk itu adalah bersatu!
Sumpah pemuda lalu kemudian diklaim sebagai momentum pertama tentang kebhinekaan. Tentang komitmen berbangsa yang satu. Apa yang sering disebut sebagai rajutan helai kebangsaan yang dijahit dari persamaan nasib sebagai bangsa yang ingin merdeka. Suatu bangsa yang ingin hidup plural berdampingan secara setara untuk perjalanan kehidupan yang lebih baik ke depannya. Yang tugas utamanya yang terdekat saat itu adalah mengusir kolonialisme asing yang menjarah beratus-ratus tahun lamanya.
Lalu setelah itu, lama kita tak mendengar sumpah, selain sumpah busuk para politisi yang berlomba melanggar sumpahnya masing-masing di setiap periode Pemilu.
Hingga di era dimana kehidupan sosial-politik tak lebih baik di era penjajahan tiba. 1998. Kita lalu kemudian mendengar kembali kehadiran suatu sumpah. Sumpah Mahasiswa. Sumpah yang tiba hadir tidak sekadar menyumpahi kenyataan yang tak kunjung membaik, lebih dari itu, ada harapan, ada kegelisahan yang membucah mendorong para anak muda untuk bergerak.
Yang seolah seperti semakin ingin menkonkrtikan arti dari kehidupan berbhineka yang sebenarnya, yakni berbhineka dengan berkeadilan. Sumpah yang kemudian mengingatkan kita tentang sumpah pemuda 1928 yang lalu yang hidup dalam konteks sosial politik yang baru.
Sumpah pemuda dan sumpah mahasiswa sama, mereka lahir dari kalangan terpelajar yang memiliki kesadaran sosial untuk memperbaiki bangsanya. Namun juga mewakili generasi dan persoalan sosial zamannya masing-masing.
Setelah era persatuan disongsong. Setelah era berbhineka perlahan-lahan sudah teraih. Setelah era kolonialisme asing telah angkat kaki terbirit-birit ketakutan. Saatnya terma-terma tentang hidup berkeadilan mesti bergema. Ini sama ketika apa yang diklaim Soekarno sebagai “Revolusi yang belum selesai” yang mesti diselesaikan bersama. Disitulah letak ketika sumpah mahasiswa patut mendapatkan lokus perhatian bersama.
Kami mahasiswa Indonesia bersumpah: bertanah air satu tanah air tanpa penindasan, berbagsa satu bangsa yang gandrung akan keadilan, dan berbahasa satu bahasa tanpa kebohongan. Hidup rakyat!
Hanya saja sepertinya terma Sumpah Mahasiswa itu masih terlalu terpinggirkan bahkan mungkin masih dilihat sebelah mata oleh banyak orang. Atau juga bisa jadi ini menggambarkan bahwa kita sebenarnya belum pernah benar-benar tuntas terhadap spirit Sumpah Pemuda 1928.
Saat dimana benih-benih perpecahan horizontal masih menjadi persoalan serius yang mesti digeluti. Yang akhirnya energi kebangsaan akhirnya habis hanya untuk mengurus urusan perpecahan horizontal, lalu kemudian kehabisan energi untuk menuntaskan urusan ketimpangan dan kesenjangan yang melanda bagai borok yang terus membusuk.
Kita sudah mestinya melampaui, bahwa tentang suatu konsensus untuk hidup bertanah air yang satu; tanah air Indonesia. Saatnya spirit Sumpah Mahasiswa melengkapi tentang komitmen untuk bertanah air satu itu menjadi tanah air tanpa penindasan.
Kita sudah mestinya melampaui, bahwa tentang suatu konsensus untuk hidup sebagai bangsa yang satu; bangsa Indonesia. Saatnya spirit Sumpah Mahasiswa untuk melengkapi komitmen untuk hidup sebagai bangsa Indoensia yang satu itu menjadi bangsa yang gandrung akan keadilan.
Kita sudah mestinya melampaui, bahwa tentang suatu konsensus untuk hidup sebagai bangsa yang berbahasa satu; bahasa Indonesia. Saatnya spirit Sumpah Mahasiswa untuk melengkapi komitmen untuk hidup berbahasa satu itu menuju bangsa yang berbahasa tanpa kebohongan.
Lalu mengarahkan pandang kepada siapa sumpah itu kita arahkan bersama. Kepada rakyat, tulang punggung dari cita-cita hidup bernegara.
Kita tentu tak ingin, era jayanya Sumpah Palapa berakhir tragis untuk kedua kalinya, bukan karena siapa-siapa, terlebih karena perebutan kekuasaan internal yang merongrong tak karuan kemana-mana menggoreng apa saja yang menguntungkan sepihak lalu abai terhadap luka sosial perpecahan yang ditimbulkan. Yang akhirnya membuat perjalanan bangsa ini terus bergerak mundur menyisakan ketidakadilan berceceran bagai luka bangsa yang salah urus akibat gandrung terhadap politik anti-persatuan (SARA) yang tak berkesudahan.
Ketika itu terus terjadi, Sumpah Pemuda hanya akan terus menjadi terma-terma pendahulu menyumpahi pemuda penerusnya yang gagal mewarisi revolusi satu langkah yang telah diusung para pendiri bangsa ini!