Rabu, Desember 10, 2025

Sumatra Butuh Status: Dari Cuitan menjadi Tuntutan.

Muhammad Mahdi
Muhammad Mahdi
Saya merupakan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Advertisement -

Musibah berulang di Sumatera telah menghasilkan pola yang menyedihkan: eksploitasi ekologis memicu bencana, diikuti oleh janji penanganan yang seringkali dirasa minim. Di tengah kesenjangan respons ini, lahir sebuah kode verbal yang kuat: SUMATERA BUTUH STATUS. Hashtag ini terlahir dan menjelma sebagai tamparan keras yang menegaskan bahwa mekanisme penanganan yang ada dianggap gagal, sekaligus menuntut peningkatan level respons dari negara.

Mengapa masyarakat harus memaksa pengakuan atas bencana mereka melalui frasa kunci ini? Apa yang membuat bahasa menjadi senjata terakhir dalam menuntut keadilan dan bantuan?

Penulis berargumen bahwa tuntutan digital SUMATERA BUTUH STATUS adalah manifestasi dari tindakan ilokusi (illocutionary act) yang paling murni. Ini adalah penggunaan bahasa yang performatif, di mana masyarakat secara sadar menggunakan leksikon kebijakan untuk mengubah status quo, menuntut pengakuan politik dan ketersediaan logistik negara, merujuk pada harapan kognitif dan pragmatik publik.

Dalam kajian Pragmatik, cabang dari Psikolinguistik, kita mengenal Teori Tindak Tutur (Speech Act Theory) yang dipelopori oleh J.L. Austin dan dikembangkan oleh John Searle. Teori ini mengajarkan bahwa bahasa tidak hanya berfungsi untuk mendeskripsikan realitas, tetapi juga memiliki kekuatan untuk bertindak dan mengubah realitas sosial. Ketika masyarakat mengetikkan SUMATERA BUTUH STATUS, mereka tidak sekadar menyampaikan informasi, melainkan sedang melakukan sebuah tindakan.

Tindakan bahasa ini terbagi menjadi tiga lapisan:

  1. Tindakan Lokusi (Locutionary Act): Yaitu makna harfiah dari kata-kata yang diucapkan: frasa Sumatera butuh status.
  2. Tindakan Ilokusi (Illocutionary Act): Yaitu tujuan atau niat yang terkandung di balik ucapan tersebut—dalam kasus ini, niatnya adalah menuntut, mendesak, dan meminta pengakuan resmi dari negara.
  3. Tindakan Perlokusi (Perlocutionary Act): Yaitu dampak yang dihasilkan oleh ucapan tersebut kepada pendengar (Pemerintah), misalnya: Pemerintah merasa tertekan atau Pemerintah menaikkan status bencana.

Kekuatan ilokusi inilah yang menjadi inti analisis. Ia adalah lapisan yang mengubah frasa digital menjadi perintah sosial. Saat negara merespons, mereka sesungguhnya merespons bukan pada cuitan belaka, melainkan pada tuntutan ilokusi kolektif yang secara pragmatis mengikat janji politik dan sumber daya.

Penerapan teori tindak tutur menunjukkan bahwa kata “Status” dalam frasa SUMATERA BUTUH STATUS merupakan kunci vital yang membuka serangkaian tindakan negara. Ini adalah ilokusi sebagai deklarasi kebutuhan yang paling esensial.

1. Ilokusi sebagai Deklarasi Kebutuhan

Secara kognitif, frasa “Status Bencana Nasional” adalah sebuah kode akses (semantik) yang tertanam kuat dalam benak publik. Kode ini diasosiasikan dengan konsekuensi logistik dan finansial tertentu: dana besar dari anggaran pusat, perhatian langsung dari pimpinan tertinggi, dan penanganan skala prioritas yang melibatkan mobilisasi lintas sektoral. Ketika tuntutan ini diucapkan, harapan publik adalah pemerintah akan mengikuti alur kognitif yang sama: jika status dinaikkan, maka respons akan maksimal.

Inilah letak perbedaan pragmatik yang krusial antara “Bencana Lokal” dan “Bencana Nasional”. Dalam pikiran publik, Status Bencana Lokal adalah desahan—bentuk pengakuan minimal yang masih menyiratkan penanganan yang terbatas. Sebaliknya, Status Bencana Nasional adalah permintaan yang mengikat (demand), di mana kegagalan meresponsnya dianggap sebagai kegagalan moral dan politik negara. Ilokusi ini secara efektif memaksa pemerintah untuk mengubah framing dari masalah daerah menjadi masalah kedaulatan nasional.

- Advertisement -

2. Aksi Kolektif dari Hashtag

Kekuatan ilokusi ini semakin berlipat ganda karena ia lahir di ruang media sosial. Sifat hashtag dan viralitas mengubah tindak tutur individu menjadi ilokusi kolektif yang sangat kuat. Ketika ribuan akun mengetik hashtag yang sama, tuntutan individu segera bertransformasi menjadi Tuntutan Masyarakat yang terorganisasi, terlepas dari apakah ada koordinator fisik atau tidak.

Aksi kolektif digital ini menciptakan dua efek: pertama, tekanan psikologis terhadap pengambil keputusan, yang menyadari bahwa mereka sedang diawasi oleh gelombang publik yang bersatu. Kedua, ia memberikan legitimasi sosial yang tak terbantahkan pada tuntutan tersebut.Tuntutan SUMATERA BUTUH STATUS pada akhirnya adalah bukti bahwa bahasa—bahkan yang lahir dari media sosial—memegang kekuatan politik yang mendalam. Frasa singkat ini, melalui kekuatan ilokusi kolektif, berhasil mentransformasi trauma pribadi menjadi sebuah deklarasi kebutuhan nasional yang tidak bisa diabaikan. Ini bukan sekadar keluhan tanpa dasar; ini adalah tindak tutur yang menuntut pertanggungjawaban negara secara performatif.

Oleh karena itu, respons negara terhadap bencana harus melampaui respons fisik. Pemerintah dituntut untuk memahami tanggung jawab semantik yang mereka emban. Kegagalan merespons ilokusi yang kuat ini menciptakan disonansi kognitif yang berbahaya: masyarakat melihat tragedi besar, sementara negara menggunakan bahasa pembatasan. Pemerintah harus menyadari bahwa kata-kata mereka memiliki konsekuensi kognitif yang serius. Pengakuan tulus atas skala bencana—menggunakan bahasa yang setara dengan penderitaan publik—adalah langkah awal untuk memulihkan kepercayaan.

Pemerintah wajib melihat setiap hashtag yang menuntut status bukan sebagai ancaman politik, melainkan sebagai upaya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat yang mulai pupus pada pemerintah. Respons ideal seharusnya melihatnya sebagai dokumen kognitif otentik yang mencatat harapan dan kesedihan rakyat. Merespons ilokusi berarti beranjak dari sekadar janji-janji lokusi dan menerjemahkannya menjadi tindakan perlokusi yang nyata: menyelamatkan nyawa dan mengembalikan hak masyarakat atas lingkungan yang aman.

Referensi

]Austin, J. L. (1962). How to do things with words. Harvard University Press.

Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in the philosophy of language. Cambridge University Press.

Muhammad Mahdi
Muhammad Mahdi
Saya merupakan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.