Semua anak memiliki hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 28B ayat 2 yakni setiap anak berhak bertahan hidup, tumbuh dan berkembang, serta dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi.
Dengan hak-hak tersebut, negara menjunjung dan melindungi setiap hak-hak anak sebagai suatu bentuk perlindungan anak. Apabila ditemukan hilangnya hak-hak tersebut, negara akan bertindak melalui alat-alat penegakan hukum.
Korban-korban dari kejahatan seksual semakin meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan, korbannya masih anak-anak di bawah umur. Anak yang menjadi penerus bangsa, harus menjadi korban dan kebiadaban orang yang tidak bertanggungjawab.
Negara memberikan jaminan hak asasi manusia. Artinya, hak-hal tersebut dilindungi. Adanya cara melindungi dengan mengerahkan banyak saksi yang diidentifikasi oleh undang-undang dan peraturan yang melindungi hak asasi anak. Juga, adanya tindakan pemerintah menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 2006, yaitu dijatuhkannya hukuman kebiri kimia.
Diketahui bahwa, kebiri adalah tindakan pembedahan atau penggunaan bahan kimia yang ditujukan untuk menghilangkan fungsi buah zakar pada pria atau fungsi ovarium pada wanita. Kebiri dapat dilakukan pada hewan dan manusia. Artinya, pelaku tindak pidana yang dikenai hukuman kebiri telah kehilangan fungsi seksualnya.
Dalam perspektif hak asasi manusia, hukuman kebiri dianggap banyak menimbulkan efek negatif. Penegakan hukum kebiri merupakan tindakan kekerasan dan melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 28G Ayat 2, berbunyi:
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”.
Serta pasal 33 (1) Undang-Undang Nomor 39 tentang hak asasi manusia Tahun 1999 menyatakan sebagai berikut, “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiannya”.
Dari ketentuan pasal di atas, menunjukkan kejelasan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari hukuman yang tidak manusiawi, merendahkan martabat dan derajat manusia. Kebiri kimia yang berlaku hanya berdampak dan menyiksa bagi pelakunya.
Komnas HAM membutuhkan tindakan yang komprehensif dan konsisten berdasarkan tindakan rehabilitasi dan preventif seperti pengembangan sistem jaminan sosial serta hukuman untuk menangani kejahatan seksual terhadap anak.
Bahwa perempuan tidak hanya menghukum, tetapi juga rehabilitasi dan tindakan preventif seperti pengembangan sistem jaminan sosial untuk anak (misalnya pengungkapan informasi tentang pelaku) yang biasa disebut dengan speak up dan pemahaman tentang pendidikan dan reproduksi.
Hal ini dapat dilakukan dengan melaksanakan atau memperkuat Perintah Eksekutif No. 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Penanggulangan Kejahatan Seksual Anak dan sarana lain yang ada. Sehingga, ini bisa dijadikan prioritas untuk menanggulangi dan mencegahnya.
Kekerasan seksual bukan hanya tentang kerusakan alat kelamin. Oleh karena itu, pemidanaan yang dijatuhkan menurut undang-undang harus tetap memperhatikan upaya pemulihan melalui rehabilitasi medis, psikologis, dan sosial yang komprehensif dengan berpedoman pada hak asasi manusia.
Sedangkan, dalam perspektif hukum pidana sebagai sistem sanksi negatif, memberikan sanksi atas tindakan yang tidak diinginkan oleh masyarakat. Hal ini mempengaruhi prospek kehidupan, norma, moral agama, dan kepentingan negara.
Susunan kata sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku merupakan isu hukum dan regulasi yang sangat sentral. Perpu No. 1 Tahun 2016 memiliki sanksi yang dimana hukum kebiri dianggap sebagai kemunduran dalam perkembangan keilmuan hukum pidana.
Tindakan tersebut memang melanggar kodrat manusia dan mengakibatkan pelakunya benar-benar menderita. Tujuan hukum pidana modern bukan lagi untuk balas dendam, tetapi untuk pelaku dan korbannya. Berbicara tentang tujuan hukum pidana tidak terlepas dari aliran hukum pidana.
Hukuman Kebiri seperti aliran klasik yang berisi pembalasan dan penindasan yang hanya menitikberatkan pada perilaku, tanpa memperhatikan akibat dari pelaksanaan kebiri.
Hukum pidana Indonesia berorientasi pada perilaku dan tidak mengikuti proses klasik serta tidak berusaha membenarkan pelakunya. Selain itu, hukum pidana harus tetap mempertimbangkan kondisi korban dan keadilan korban kejahatan seksual.
Hukuman kebiri merupakan sanksi baru di Indonesia. Sudarto mengemukakan pendapat bahwa Indonesia perlu memperhatikan hal-hal termasuk penerapan hukum pidana dalam menangani masalah kriminalisasi, dan memperhatikan tujuan pembangunan nasional.
Dalam hal pidana, Sudarto menjunjung pendapatnya dengan menggunakan pancasila, sila ke-2 yang menyatakan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dengan pemberlakuan hukum kebiri, manusia justru kehilangan kepercayaan sebagai makhluk Tuhan, dan hukuman kebiri tidak menjadikan manusia lebih beradab.
Hukum pidana diharapkan memiliki efek jera, tetapi tidak boleh digunakan sebagai pembalasan hanya sebagai terapi kejut untuk menyadarkan narapidana.
Munculnya pendapat lain dari Muladi yang berpendapat bahwa ada peringatan khusus yang harus dipertimbangkan termasuk dalam rangkaian tujuan disipliner.
Pertama, tujuan pemidanaan harus sedikit banyak mencerminkan keinginan mereka yang mencari pembalasan, meskipun persoalannya bukan balas dendam tetapi kompensasi berdasarkan kesalahan si pelaku. Kedua, rangkaian tujuan pendisiplinan juga harus mencakup tujuan penghukuman berupa memelihara solidaritas masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, fungsi hukum pidana adalah memelihara ketertiban dan melindungi warga negara. Dalam mempertimbangkan asas keseimbangan, maka perlu adanya keseimbangan antara pelaku dan korban.
Hukum kebiri kimia sama sekali tidak menghormati prinsip keseimbangan dan bahkan terkesan dipaksakan. Tidak ada pihak yang dilindungi atau diuntungkan dari pemberlakuan KUHP Kebiri Kimia di Indonesia.