Minggu, Oktober 13, 2024

Kebiri Kimia Amputasi HAM

Dea Tri Afrida
Dea Tri Afrida
Mahasiswa Program Studi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas

Pada 7 Desember 2020 lalu, Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak. Hal ini merupakan kebijakan yang “memuaskan” emosional publik, sebab disambut positif oleh masyarakat yang sudah muak dan geram terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang kerap dijatuhi hukuman ringan oleh pengadilan.

Jauh sebelum peraturan pemerintah tersebut disahkan, pelaksanaan hukuman kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual anak telah menuai pro dan kontra di tengah masyarakat pasca disahkannya Perppu No. 23 Tahun 2002. Masyarakat yang pro dengan kebijakan ini beranggapan bahwa hukuman ini memang pantas diberikan kepada pelaku kejahatan seksual anak, namun di mata para penggiat HAM, kebijakan ini berpotensi amputasi HAM pelaku kejahatan seksual.

Asal Muasal Kebijakan Hukuman Kebiri Kimia

Praktik kebiri yang sudah dilaksanakan sejak 8000-9000 tahun yang lalu mulanya hanya dilakukan pada hewan ternak. Seiring perkembangan zaman dan kebutuhan, kebiri pun dilakukan terhadap manusia. Kebiri terhadap manusia mulanya dilakukan terhadap budak agar lebih patuh dan rajin bekerja, kemudian tujuannya semakin beragam seperti untuk memperoleh suara soprano, hingga hukuman bagi predator seksual.

Di Indonesia, hukuman kebiri kimia pertama kali diusulkan oleh KPAI pada tahun 2015. Usul  itu muncul sebagai respon terhadap tingginya korban kejahatan seksual terhadap anak. Berdasarkan kondisi darurat tersebut presiden kemudian menerbitkan Perppu No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasca terbitnya Perppu tersebut, hukuman kebiri kimia untuk pertama kalinya dijatuhkan pada Pemerkosa 9 orang anak di Mojokerto pada tahun 2019 melalui  Putusan PN Mojokerto Nomor 69/Pid.sus/2019/PN.Mjk.Putusan tersebut tidak dapat dieksekusi sebab belum ada peraturan pelaksana yang mengatur bagaimana teknis pelaksanaan kebiri kimia tersebut, bahkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang berkompetensi untuk melakukannya pun menolak sebab bertentangan dengan kode etik kedokteran.

Praktik Hukuman Kebiri Kimia di Berbagai Negara

Hukuman kebiri kimia tidak hanya menghilangkan libido seksual pelaku tetapi juga menghilangkan HAM pelaku. Kebiri kimia dengan efek samping yang merusak tubuh manusia merupakan bentuk penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat pelaku sebagai manusia. Praktik ini tentu bertentangan dengan pemenuhan hak dasar manusia yang dijamin dalam Pasal 28G Ayat (1), Pasal 28G Ayat (2), dan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945.

Sebagai salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, hukuman kebiri kimia juga bertentangan dengan kewajiban negara untuk mencegah segala bentuk kekejaman, perlakuan tidak manusiawi, dan segala bentuk perlakuan atau penghukuman yang dikategorikan sebagai bentuk penyiksaan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 16 UU No. 5 Tahun tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment.

Terlepas dari pandangan HAM tersebut, saat ini setidaknya terdapat 25 negara yang menerapkan hukuman kebiri kimia bagi pelalu kejahatan seksual, seperti: Korea Selatan, Inggris, Ukraina, Kazakhstan, Rusia, Polandia, Amerika Serikat, Jerman, dll.

Korea Selatan menerapkan hukuman kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang telah berumur 19 tahun. Praktik hukuman kebiri kimia di Inggris merupakan praktik yang diwariskan sejak masa perang dunia dua. Di Jerman, hukuman kebiri kimia yang diberlakuan sejak tahun 1969 lebih bersifat sukarela, artinya harus atas persetujuan dari si pelaku.

Penerapan hukuman kebiri kimia di kedua puluh lima negara yang melegalkan hukuman tersebut ternyata tidak efektif. Dilansir dari KomisiPerempuan.or.id, data dari World Rape Statistic pada tahun 2012 menunjukkan bahwa 10 negara yang menerapkan hukuman kebiri kimia justru menduduki posisi 10 besar sebagai negara dengan tingkat kejahatan seksual tertinggi di dunia.

Kebijakan Hampa dan Salah Sasaran

Kebijakan hukuman kebiri kimia menjadi tak berarti ketika profesional yang berkompeten di bidangnya, yaitu dokter menolak untuk mengeksekusi putusan pengadilan untuk melakukan kebiri kimia terhadap pelaku kejahatan seksual anak. Siapa lagi yang pantas melaksanakannya selain dokter?

Kebiri kimia yang dilakukan dengan memasukkan zat antiandrogen baik melalui suntikan maupun pil untuk menekan libido seksual memakan biaya yang cukup besar dengan resiko yang juga tidak kalah besar. Kebiri kimia dapat menyebabkan penerima menderita penyakit pembuluh darah, penyakit jantung, keropos tulang, hingga dapat menyebabkan depresi dan kecenderungan bunuh diri.

Dilansir dari forumkeadilan.co, menurut seorang urolog, dr. Arry Rodjani, SpU, biaya untuk menyediakan suntikan kebiri kimiawi sebesar Rp. 700.000,00– Rp. 1.000.000,00 untuk sekali pemakaian dengan efek yang dapat bertahan dari 1 – 3 bulan. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 PP No. 70 Tahun 2020, kebiri kimia akan diberikan selama dua tahun bagi terpidana. Bayangkan saja berapa banyak biaya yang harus digelontorkan negara bagi predator seksual yang jumlahnya semakin bertambah alih-alih menggunakan dana tersebut sebagai kompensasi finansial dari negara bagi anak sebagai korban yang membutukan pemulihan.

Komnas Perempuan menilai bahwa hukuman kebiri kimia bukan solusi yang tepat bagi masalah kejahatan seksual terhadap anak yang sangat kompleks sebab kejahatan seksual terhadap anak bukan hanya soal penetrasi. Kejahatan seksual juga dapat dilakukan dengan menggunakan bagian tubuh yang lain bahkan dapat menggunakan benda-benda di luar tubuh manusia.

Hukuman kebiri kimia pada gilirannya akan melanggengkan pandangan bahwa kejahatan seksual hanya soal penetrasi vaginal dan mengabaikan bentuk-bentuk kejahatan seksual lainnya. Pada akhirnya, hukuman kebiri kimia tidak mampu menyasar seluruh pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang dilakukan dengan berbagai cara.

Kebijakan ini juga tidak menyelesaikan akar masalah sebab menurut Ryan Cauley dari Universitas Iowa yang mengutip pandangan dari para ahli kriminolog menyatakan bahwa kejahatan seksual tidak dipicu oleh hasrat seksual pelaku namun oleh faktor “power and violence”, sehingga yang harusnya ditekan adalah motivasi hasrat menguasai dan kekerasannya bukan motivasi hasrat seksualnya.

Masalah yang sedemikian kompleks tentu tidak dapat diatasi hanya dengan satu cara. Pendekatan hukum sebagai cara untuk menumpas kejahatan seksual harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. Membenahi sistem peradilan pidana, mengubah cara pandang patriarki yang  merasa dominan dan berkuasa terhadap perempuan dan anak, mendorong kebijakan yang lebih berperspektif pada upaya pemulihan korban adalah langkah yang dapat dilakukan bersama-sama oleh pemerintah dan segenap masyarakat untuk menangani kejahatan seksual.

Dea Tri Afrida
Dea Tri Afrida
Mahasiswa Program Studi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.