Kurang dari 600 hari lagi masyarakat indonesia kembali akan mengulang sejarahnya dengan melaksanakan pemilihan presiden. Dari data yang ada di tahun 2014, pemilih yang memberikan suaranya tak sampai 70%. Sebuah catatan yang harus diperbaiki oleh Komisi Pemilihan Umum, agar tingkat partisipasi masyarakat tak lagi menurun dari angka tersebut.
Membaca peluang dari beberapa calon yang ada, sepertinya hampir dapat dipastikan jika presiden yang sekarang akan kembali mencalonkan diri sebagai capres 2019 nanti atau menjadi petahana. Tentu saja beliau ingin menuntaskan janji-janjinya pada pemilu lalu yang masih belum terealisasi. Namun yang menjadi sorotan adalah, siapakah yang akan mendampinginya kelak?
Ada beberapa nama yang sudah muncul memiliki potensi yang cukup kuat sebagai pengganti Jusuf Kalla. Sebut saja Sri Mulyani, yang kembali dipercaya sebagai menteri keuangan dalam 1 tahun terakhir. Perekonomian negara yang cukup stabil membuat Sri Mulyani selalu disebut-sebut sebagai kandidat kuat pendamping Jokowi saat pilpres 2019 nanti. Menyusul beberapa nama seperti Jenderal Gatot Nurmantyo, Tito Karnavian, hingga Muhaimin Iskandar.
Dari kubu lawan, Prabowo Subianto sepertinya akan terus memenuhi ambisinya untuk bisa merebut kekuasaan dari tangan Joko Widodo setelah partai Gerindra menyatakan dukungan kepada Prabowo agar maju kembali sebagai presiden pada pemilu nanti. Sebagai seorang mantan Prajurit, memang tak perlu lagi diragukan bagaimana kegigihan seorang Prabowo Subianto. Meskipun harus gagal berkali-kali di dalam ring perebutan medali kekuasaan negeri ini.
Berbagai opini pun bermunculan untuk wakil Prabowo nanti, Nama yang sudah beredar saat ini adalah Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, hingga Agus Harimurti Yudhoyono. Namun peta politik bisa saja berubah jika Partai Demokrat membuat pola barisannya sendiri dengan menunjuk satu nama untuk menjadi lawan Jokowi dan Prabowo.
Analisa
Ada banyak faktor penghambat Jokowi terpilih kembali pada pilpres nanti. Dari beberapa list yang saya buat, faktor yang paling kuat menurut saya adalah isu bahwa jokowi anti islam. Akibat terbitnya perppu ormas, ada beberapa ormas yang merasa disakiti hatinya oleh seorang Jokowi. Hizbut Tahrir Indonesia adalah kelompok yang paling keras suaranya melawan peraturan tersebut, dengan massa yang cukup banyak sepertinya mudah saja bagi mereka untuk memboikot jokowi pada pemilu nanti.
Kesempatan emas ini tentu saja takkan disia-siakan lawan politiknya untuk menembak jatuh elektabilitas Jokowi dengan komentar sinis di berbagai media massa. Dengan begitu, siapa saja yang berbicara di depan publik maka dialah yang dianggap sebagai pahlawan. Ditambah lagi dengan permainan psikologis dari berbagai sosial media yang rasanya tidak mungkin untuk dihentikan, entah itu komentar negatif hingga fitnah yang dilontarkan. Semuanya menjadi kumpulan senjata yang ampuh untuk merobohkan keyakinan pemilih untuk memilih Jokowi kembali, terkhusus untuk pemilih pemula.
Faktor kedua adalah janji-janji yang belum ditepati, contoh yang paling jelas adalah belum adanya sikap yang tegas dari jokowi tentang penuntasan kasus aktivis Munir ataupun kasus pelanggaran HAM lainnya. Padahal pada saat masa kampanye dulu sering sekali terlontar ucapan agar kasus pelanggaran HAM akan diselesaikan. Tapi faktanya? Nihil.
Lalu kemudian ada beberapa masalah kenaikan harga, seperti Tarif Dasar Listrik (TDL) yang tinggi hingga memicu turunnya daya beli barang sekunder karena faktor kebutuhan primer yang mendesak membuat masyarakat kelas bawah tidak nyaman. Hal ini terdampak langsung oleh pengusaha kelas menengah ataupun mikro. Meski secara keseluruhan stabilitas perekonomian terjaga namun Jokowi jangan sampai menutup mata kepada sebagian masyarakat yang merasa tercekik oleh permasalahan tersebut.
Faktor ketiga yang sangat penting adalah pemilihan wakil presiden nanti, partai pengusung pastilah menginginkan kader terbaiknya untuk menjadi wakil Jokowi. Terlihat dari beberapa nama yang sudah disarankan oleh beberapa partai seperti nama Muhaimin Iskandar dari PKB, lalu ada pula nama Setya Novanto dari partai Golkar. Meski terlalu dini menyebut nama, setidaknya Jokowi sudah punya gambaran dari beberapa partai yang mendukungnya.
Lantas apakah strategi yang harus dilakukan Prabowo Subianto? Faktor utama adalah self behavior, para kader pengusung Prabowo haruslah memberi citra positif bagi orang yang akan diusungnya. Kader partai yang berpengaruh seperti Fadli Zon sampai saat ini masih mendapat sentimen negatif atas komentarnya di depan media massa maupun di media sosial. Fadli sepertinya tak sadar bahwa apa yang diucapkannya adalah blunder bagi partai Gerindra. Bisa saja elektabilitas Prabowo subianto anjlok karena kelakuan dari kader partainya sendiri.
Kemudian, Faktor kedua adalah partai pengusung. PKS sebagai karib partai Gerindra mendapat tingkat kepercayaan yang rendah dari sebagian masyarakat. Partai berbasis agama yang seharusnya mempunyai tekad melawan kebatilan namun faktanya ada saja kadernya yang terkena kasus korupsi.
Faktor ketiga sama dengan Jokowi, yaitu pemilihan wakil di pilpres nanti. pemilihan nama yang tepat bagi Prabowo bisa saja mengantarkannya ke Istana Negara. Dua faktor di atas pun akan dicounter dengan sosok kuat sebagai pendampingnya nanti. Dari kabar yang ada, sampai saat ini nama Jenderal Gatot Nurmantyo adalah nama terkuat pendamping Prabowo Subianto. Namun menurut saya, pasangan ini takkan mampu menandingi Jokowi jika nantinya dia berpasangan dengan Sri Mulyani.
Prabowo haruslah memilih pasangan dari kalangan “professional manager”. Akan menjadi menarik jika nama yang muncul sebagai kawan Prabowo adalah Ridwan Kamil. Walikota bandung ini punya profesional kerja yang sangat bagus, terlihat dari kebijakan yang dikeluarkannya untuk menata kota Bandung serta tingginya elektabilitas Ridwan Kamil di Bandung saat ini. Saya yakin, jika Prabowo berpasangan dengan Ridwan Kamil maka porsi pemilih akan menjadi 50-50 jika berhadapan dengan Jokowi-Sri Mulyani. Namun sayangnya, Ridwan Kamil telah mendeklarasikan dirinya untuk maju di pilkada Jawa Barat dan nampaknya tertutup kemungkinan akan terjadi duet tersebut.
Prabowo haruslah punya “senjata mematikan” untuk melawan Jokowi nanti, karena menurut data SMRC baru-baru ini tingkat kepuasan masyarakat Indonesia terhadap kinerja Jokowi mengalami peningkatan hingga di atas 60%. Tentu saja itu bukan hasil pasti karena hanya survei, tapi tentunya hal tersebut akan menjadi tolak ukur dalam beberapa waktu kedepan. Jika kinerja jokowi tetap stabil hingga akhir tahun 2018 mendatang maka besar kemungkinan Jokowi akan meneruskan title sebagai presiden hingga 2024 mendatang.
Memang kinerja Jokowi dalam masalah pembangunan makro seperti membangun infrastruktur dinilai sebagian kalangan sebagai sebuah kesuksesan. Mulai dari jalan tol, pelabuhan hingga bandara merupakan hasil kerjanya selama 3 tahun terakhir.
Tapi jika semakin banyak faktor penurun elektabilitas jokowi seperti isu anti islam, ketimpangan sosial dan ekonomi kelas bawah, lalu polemik partai pengusungnya PDIP dengan KPK, hingga salahnya Jokowi dalam memilih pasangannya nanti, maka sudah dapat dipastikan Jokowi akan kalah di 2019.