Jumat, April 26, 2024

Strategi Bebas-Aktif dalam Menyikapi Bipolaritas Indo-Pasifik

Maria Evangelina Setiawan
Maria Evangelina Setiawan
Mahasiswi aktif dari Jurusan Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan. Aktif mengikuti perkembangan isu geopolitik, pertahanan, dan keamanan internasional.

Fenomena AUKUS yang telah menyita perhatian panggung politik global hadir membawa sejumlah pertanyaan dari para pemain di dalamnya, tak terkecuali Indonesia. Pernyataan resmi yang dilontarkan oleh Kementerian Luar Negeri telah menimbulkan sejumlah pertanyaan, terutama yang berkenaan dengan posisi aktual Indonesia dalam mengaitkan kebijakan luar negeri.

Di sisi lain, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang hadir pada perhelatan Manama Dialogue yang diselenggarakan oleh IISS mengamini tindakan para anggota aliansi AUKUS bahwa mereka berhak mempertahankan agenda politik ekspansionisme defensif dari sisi kekuatan militer. Persilangan pendapat yang digambarkan di atas memunculkan kemungkinan bahwa sikap Indonesia yang bertolakbelakang terbentuk dari luasnya ekstensi pandangan politik bebas-aktif yang menggambarkan kedudukan Jakarta pada perpolitikan internasional.

Ditandatangani pada 17 September 2021 tempo hari, pakta AUKUS merupakan pakta pertahanan yang beranggotakan negara Amerika Serikat, Inggris, dan Australia untuk menjamin sekuritas kolektif Anglosfer. Jaminan yang diberikan pada Australia dapat menjadi alarm bagi para tetangganya di dalam kawasan, khususnya pada teater Asia Tenggara, akibat perihal kapal selam bertenaga nuklir.

Secara pemetaan strategis, kapal selam nuklir tersebut dapat menimbulkan kecemasan dalam teritori perairan Indonesia. Sebab itu, tidak mengherankan jika pernyataan Retno Marsudi sebagai wajah Indonesia di kancah internasional bernada negatif dan menyuarakan kehati-hatiannya. Politisi seperti Komisi I DPR RI TB Hasanuddin juga turut menyebut posisi Indonesia yang selayaknya bebas-aktif dan tidak memihak kedua kontestan di Indo-Pasifik.

Namun, apa yang sebenarnya menjadi dalang dari disparitas interpretasi makna “bebas-aktif”? Mengapa konsep non-blok terus terseret jika menyinggung kebijakan politik luar negeri Indonesia?

Sesuai dengan UU Nomor 37 Tahun 1999 pasal 3, “bebas” yang dimaksud adalah kebebasan bersikap ketika menghadapi permasalahan transnasional. Dalam beberapa kasus, terhitung ketika merespons AUKUS, masih terdapat sejumlah pihak yang nyatanya kurang tepat sasaran saat mengartikan poin tersebut.

Relevansi gerakan tidak memihak yang semula lahir pada perang dingin tidak dapat selamanya menjadi tombak utama argumen politisi untuk menyatakan posisi domestik pada konstetasi geopolitik abad ke-21.

Meskipun begitu, realitas kebijakan bebas-aktif yang menjadi legasi rumusan haluan negara sejak Indonesia hingga kini masih menjadi alat utama bagi Jakarta, khususnya ketika menjembatani Indonesia dengan para mitra di kawasan.

Sebagai contoh, keaktifan yang tergambar dalam organisasi ASEAN juga memberikan Indonesia panggung dan pengaruh lebih pada sisi internalnya. Adanya gagasan “ASEAN Outlook on the Indo-Pacific” atau “AOIP” yang dicanangkan oleh Indonesia pada sidang KTT ASEAN ke-34 pada tahun 2019 menjadi bukti bahwa Indonesia masih antusias untuk terlibat. Retrospeksi atas kasus tersebut, persepsi akan Indonesia yang timbul tentu akan tidak jauh dari label “bangsa yang besar” ataupun “pemimpin kawasan”.

Seiring dengan meningkatnya intensitas presensi pihak Anglo, tantangan yang dihadapi tidak akan serta merta tetap berada pada skala yang sama. Perkembangan dinamis kawasan dilatarbelakangi oleh visi Amerika Serikat yang beralih ke belahan Oriental seiring dengan meningkatnya dominasi Tiongkok secara politik di region Pasifik.

Upaya yang kini marak terjadi dalam rentang satu tahun terakhir, khususnya di wilayah Indo-Pasifik, dapat dilihat dalam bentuk latihan gabungan militer multilateral terhadap sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk melibatkan Indonesia, dan juga pembentukan AUKUS.

Lalu, bagaimana AUKUS bisa menjadi indikator eskalasi pergolakan di kawasan tersebut? Tidak ada satu pihak yang terlibat dari Sekutu dalam pengesahan pakta tersebut mengatakan secara eksplisit, tetapi tujuannya tidak lagi samar—Tiongkok.

Perlombaan yang melibatkan berbagai unsur baik berupa latihan gabungan dan ikatan mitra dagang telah menjadi wujud babak baru “great power competition” yang lebih nyata.

John Mearsheimer, seorang ahli politik dan Hubungan Internasional asal Amerika, turut menggarisbawahi fenomena tersebut sebagai potensi arena tempat Tiongkok akan berlagak menggunakan kekuatan hardpower-nya untuk menciptakan hegemoni di Asia dan wilayah di belahan bumi lainnya.

Cara Indonesia menyikapi kedatangan para dua “pemain” besar kini menjadi sebuah variabel tetap bagaimana kebijakan polugri akan terus bertahan. Metode yang digunakan Jakarta tidaklah lebih dari penggunaan instrumen regional berupa ASEAN dengan selingan jargon semata.

AOIP yang lahir 2 tahun silam hingga saat ini tidak menawarkan dobrakan baru untuk menjaga peran negara-negara Asia Tenggara dalam bidang strategis. Dengan demikian, polugri “bebas-aktif” tidak bisa selamanya menjadi alasan Jakarta untuk terus bersikap pasif, terlebih jika hanya mengandalkan ASEAN yang agenda nasional para anggotanya saja tak kunjung beranjak ke titik perubahan yang signifikan dan kerap memiliki perselisihan kepentingan nasional.

Pernyataan di atas tidak berarti secara mentah melabeli polugri sebagai komponen yang sudah usang dan tidak relevan, melainkan menjadi pertimbangan probabilitas yang bisa dilakukan. Hal mutlak yang ditetapkan dalam konstitusi selayaknya dapat menjadi akselerator bagi Indonesia dalam mengendalikan arah pergerakan relasi internasional.

Indonesia secara fakta memiliki keterikatan dengan Peking sebagai konsekuensi dari menjadi lumbung investor dan mitra dagang efektif, tetapi bukan berarti harus bersikap submisif tatkala berurusan dengan kedaulatan wilayah perairan di Natuna Utara. Begitu pula dengan celah kesempatan untuk mempererat hubungan Indonesia dengan negara-negara Sekutu, terlebih dalam memperkuat militer dan perencanaan strategis wilayah dengan membangun kemitraan yang lebih kompleks di bidang common security.

Kebebasan dan keaktifan yang menjadi makna konsepsional memerlukan ekstensifikasi yang lebih jelas dalam menentukan garis pembatas yang tegas. Kans yang ditawarkan bagi Indonesia tidaklah harus ditentukan oleh pergolakan di sekeliling pusaran teritori, melainkan berawal dari keputusan Jakarta.

Sekuritas ekonomi dan juga militeristik tentu memiliki peran masing-masing untuk menjaga stabilitas geopolitik dan keamanan regional. Kemungkinan lain yang dapat diuji adalah mengoptimalkan potensi pertahanan demi agenda nasional. Dalam arti lain, ketika suatu bangsa mencoba untuk melewati “garis merah” yang menyangkut independensi Indonesia, para pihak berwenang mampu mengendalikan manuver politiknya untuk menangkal tekanan tersebut.

Kebijakan “bebas-aktif” semestinya tetap menjadi mata tombak Indonesia pada mimbar internasional. Namun, relevansi yang terbentuk akan berpegang terus pada batas-batas yang ditetapkan.

Menentukan premis suatu haluan negara tidak akan pernah menjadi tugas yang mudah, tetapi tidak berarti sebuah negara selalu meneguhkan idealismenya yang menolak perubahan akibat pergolakan eksternal. Sejarah menunjukkan, mereka yang mempertahankan segalanya kelak mendapatkan balasan nihil.

He who defends everything, defends nothing.” –Frederick Agung

Maria Evangelina Setiawan
Maria Evangelina Setiawan
Mahasiswi aktif dari Jurusan Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan. Aktif mengikuti perkembangan isu geopolitik, pertahanan, dan keamanan internasional.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.