Facebook kembali dirundung masalah. Raksasa jejaring sosial ini terpaksa harus legowo diboikot perusahaan pengiklan besarnya secara beramai-ramai. Pasalnya, korporasi milik Mark Zuckerberg itu dianggap tidak becus mencegah penyebaran ujaran kebencian.
Gelombang protes terhadap Facebook dipicu sejak isu anti rasisme mencuat di Amerika. Peristiwa itu mengakibatkan over reaksi massa atas respons kematian George Flyod beberapa waktu lalu.
kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) di Amerika, menyesalkan sikap platform yang enggan menghapus unggahan Donald Trump. Presiden AS itu mengancam bakal menerapkan tindakan kekereasan kepada para pengunjuk rasa. Hal itu pula yang memicu masifnya kampanye tagar #StopHateforProfit.
Efek #StopHateforProfit, lebih dari 90 perusahaan turut serta mendukung gerakan itu. Boikot dilakukan dengan memutus kontrak dan tidak melanjutkan penayangan iklan di Facebook. Beberapa perusahaan tersebut antara lain, Unilever, production house Magnolia Picture, The North Face, juga Coca Cola. Kabar terbaru, Pepsi juga ikut bergabung dan menahan iklannya.
Seperti sedang terjadi dejavu. Kejadian yang hampir serupa juga terjadi pada 2018 lalu. Kala itu, Facebook mendapat kecaman publik atas skandal Cambridge Analytica 2018. Perusahan yang berdiri pada 2004 silam itu diminta pertanggungjawaban atas dugaan bocornya data-data pribadi pemilik akun.
Protes warganet mengusung gerakan #deleteFacebook yang kemudian menjadi trending di Twitter. Kampanye “hapus akun Facebook” berhasil mempengaruhi pengguna aktif untuk menghapus akun Facebook-nya. Jumlahnya cukup besar. Senator Amerika Serikat, Alexandria Cortez juga ikut menghapus akun pribadinya.
Serangan terhadap platform Facebook, baik gerakan #StopHateforProfit dan #deleteFacebook, sama-sama memperlihatkan pola yang sama. Lantas, mengapa perusahaan yang berpusat di Menlo Park, California, AS ini selalu mendapat sorotan tajam publik, hingga dua kali dalam kurun waktu yang relatif singkat?
Mungkinkah ada yang sedang bermain? Atau sedang melakukan mobilisasi? Mobilisasi yang dimaksud disini ialah pemanfaatan sumber daya sosial yang saling terhubung dengan metode sharing dan shaping untuk tujuan tertentu. (#MO, Rhenald Kasali)
Sulit untuk mencurigai siapa yang bermain dari gerakan dua tagar di jagat maya itu. Yang pasti, aksi protes tersebut sedikit banyaknya memberi pengaruh kepada korporasi di sektor profit.
Terlepas mobilisasi atau bukan, gerakan ini membuat Facebook mengalami kerugian. Dilansir dari kompas.com, kampanye #StopHateforProfit akhirnya berimbas pada pasar modal. Pada perdagangan Jumat 26 Juni lalu, saham Facebook anjlok lebih dari 8 persen. Tak hanya itu, Zuckerberg harus merelakan kekayaannya terkikis hingga 7,21 miliar dollar AS.
Namun, peluang menguatkan kembali keuangan masih sangat terbuka. Facebook diminta dapat memberikan komitmen dalam upaya membendung ujaran kebencian. Verizon Comunications misalnya. Perusahaan telekomunikasi itu menghentikan penayangan iklannya di Facebook, hingga ada solusi terkait isu rasial dapat diatasi dan diselesaikan platform media sosial itu.
Jika dicermati, dugaan gerakan mobilisasi menguat dengan melihat skala dan jumlah kerugian yang ditimbulkan. Termasuk rentetan serangan yang terjadi pada 2018 dan 2020.
Anjloknya nilai saham dan masifnya gelombang serangan yang ditimbulkan, besar kemungkinan Facebook memang sedang dimobilisasi. Level mobilisasinya kemungkinan besar. Jika merujuk pada Rhenald Kasali dalam #MO 2019, mobilisasi besar biasanya dipicu oleh suatu kepentingan. Misalnya, upaya untuk menaklukkan, meraih kemenangan (dalam persaingan atau perebutan kekuasaan).
Dugaan mobilisasi ini bukan suatu kebetulan belaka. Jika kita flashback ke belakang, bukankah sejak peralihan media baru dan hadirnya jejaring sosial menenggelamkan media konvensional yang lebih dulu eksis?
Media konvensional banyak ditinggalkan sejak masyarakat menjatuhkan pilihan pada media yang dapat dengan mudah diakses melalui ponsel secara real time. Itulah menjadi penyebab banyak media yang akhirnya tumbang satu per satu. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan persaingan perebutan iklan yang menjadi “nadi kehidupan” sebuah media. Kenyataannya, media digital dan jejaring sosial yang lebih banyak menyerap belanja iklan.
***
Tentu yang “bermain” dibalik #StopHateforProfit dan #deleteFacebook sangat jeli melihat isu. Ia mampu memainkan isu yang tengah berkembang dan menjadi perhatian publik. Seperti isu rasisme contohnya. Kematian George Flyod yang melibatkan seorang petugas polisi Minneapolis, Derek Chauvin.
Isu yang sangat menarik perhatian dan menggugah emosional itu, kemungkinan yang menjadi celah. Isu yang dimanfaatkan oleh pihak berkepentingan dan menjadikannya amunisi dalam melancarkan serangan mobilisasi. Mengangkat tema yang dieskalasi, kemudian diframing menjadi seakan-akan begitu besar dan mengancam eksistensi hal tertentu.
Jika dugaan mobilisasi ini diurai, aktor yang berada di belakang #StopHateforProfit dan #deleteFacebook melibatkan banyak pihak. Termasuk peran endorser dan keterlibatan kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan tertentu.
Keterlibatan berbagai elemen itu masuk dalam ekosistem digital. Mereka bekerja dengan manfaatkan teknologi dan perangkat online. Mereka menciptakan narasi-narasi yang menarik yang disebar secara sporadis. Tujuan utamanya adalah membuat orang tergerak untuk melakukan aksi nyata.
Agar tidak lagi terjadi serangan mobilisasi di waktu mendatang, Facebook seharusnya mencari tahu siapa pihak yang telah bermain. Perlu juga untuk mengetahui motif mengapa hal tersebut dilakukan. Tapi, ini bukan pekerjaan mudah, ibarat mencari jarum di tumpukan jerami.
Tanggung Jawab Facebook
#StopHateforProfit sudah saatnya menjadi momentum untuk menata kembali regulasi dunia sosial media. Penyebaran informasi hoax dan ujaran kebencian di media sosial bukan hanya menjadi tanggung jawab pembuatnya. Perusahaan layanan media sosial seperti Facebook dan kawananya sudah sepatutnya ikut menerima ganjaran termasuk sanksi hukum.
Agus Sudibyo dalam Jagat Digital (2019) mengatakan, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) belum secara spesifik merumuskan tanggung jawab perusahaan platform media sosial. Oleh karena itu penegakan hukumnya masih berfokus kepada pengguna.
Perlu disadari bersama, bahwa Facebook merupakan korporasi yang juga berorientasi pada profit bisnis. Korporasi itu merekam aktivitas digital para penggunanya menjadi data. Data itu kemudian dijadikan demografi periklanan digital.
Dari monetisasi data, perusahaan platform meraup keuntungan ekonomi yang cukup besar. Dengan kenyataan seperti itu, baik Facebook dan perusahaan jejaring sosialnya lainnya sudah sepatutnya bertanggung jawab secara moral maupun hukum.
Pihak yang mungkin merasa dirugikan sejak kehadiran Facebook, melihat hal ini sebagai ketimpangan sekaligus peluang untuk melakukan manuver serangan. Dan sudah saatnya Facebook lebih fokus pada perlindungan data pribadi juga mencegah beredarnya berita bohong, ujaran kebencian dan norma kemanusiaan.