Jumat, Oktober 11, 2024

Spasi yang Makin Lebar dalam Politik dan Ideologi Kita

Dhanny Sutopo
Dhanny Sutopo
Pengajar pada fakultas ilmu sosial dan ilmu politik (FISIP) Univ. Brawijaya Malang, sedang menempuh program doktoral pada Universitas Airlangga

Suhu politik saat ini guna menanti festival demokrasi kepemimpinan nasional cukup membara, padahal masih enam bulan kedepan. Statement termutakhir dari petinggi Partai Demokrat, SBY hiruk pikuk atmosfer politik saat ini adalah kelanjutan dari Pilkada DKI.

Baiklah kita coba sedikit menengok proses Pilkada Ibu Kota Jakarta kemarin periode 2017-2022. Saat itu jagad maya ataupun netizen membara. Perbedaan keyakinan dari calon petahana yang turut maju, seolah membangunkan kelompok-kelompok masyarakat. Terutama dari kelompok muslim, mulai memberikan respon dan menanggapi isu kepemimpinan yang berasal dari pemeluk agama minoritas di Indonesia.

Kelompok muslim mulai dari yang tradisional, moderat hingga garis keras atau fundamentalis, saling berebut memberikan argumen sehingga menjadi discourse, terkait dengan isu kepemimpinan dan good governance.

Perbedaan pandangan tersebut telah merubah suksesi kepemimpinan dari arena politik menjadi sebuah pertarungan ideologi. Palagan yang seharusnya tempat bertarungnya program-program, visi, figure dan rekam jejak.

Riuh dengan konsep seperti jihad, haram, kafir, kemaslahatan umat dan lain-lain. Hingga kondisi seperti itu berpengaruh terhadap kondisi psikologis masyarakat dalam menentukan atau memilih pemimpin pemerintahan. Dan politikpun tertikam oleh pertarungan ideologi, hingga diapun takluk.

Menariknya, pola yang sama coba di “copy-paste” untuk pesta suksesi pimpinan nasional, namun ideologi yang dijadikan gelanggan tidak berbeda kutub. Dua kandidat pemimpin negeri sama-sama muslim.

Mirisnya jika para calon-calon kontestan berada pada kutub keyakinan/agama yang sama. Maka amunisi pertarungan akan menghasilkan pandangan dengan merujuk pada teks-teks sakral yang bernuansa dogmatis, saling klaim sebagai “penjaga” agama dan pelindung umat. Hingga menuduh calon yang lainnya tidak semurni dirinya. Kecenderungan tersebut mulai merayap mewujud, dibeberapa panggung-panggung kampanye Pilpres.

Ladang Fundamental 

Memercayai bahwa kepercayaan mereka hanyalah satu-satunya yang sejati, adalah cawan subur tumbuhnya aktivitas kelompok yang berdasarkan fundamentalisme agama (Hoffman, 1998). Memang istilah fundamentalisme sendiri hingga saat ini belum merujuk pada sebuah definisi yang final, karena luasnya dimensi ideologi transnasional yang mewadahinya. Namun yang pasti dia juga tidak hadir dari sebuah ruang yang kosong. Dan nahasnya Pilkada dapat menjadi lakmus dari sebuah fundamentalisme agama.

Terdapat beberapa karakteristik fundamentalisme. Salah satunya tentang definisi mengenai “fundamentalis,” yang di sini adalah dalam hal kontrol yang mereka inginkan untuk diterapkan dalam interaksi sosial dengan non-fundamentalis.

Para fundamentalis cukup kukuh dalam ketidakmampuan mereka untuk berkompromi atas masalah seperti moralitas dalam kehidupan pribadi, korupsi dalam kehidupan negara atau publik, dan kekurangan yang mereka soroti dalam aturan hukum negara.

Bagi  fundamentalis, perbedaan kelompok dapat didasarkan pada suku, agama, budaya, bahasa, warna kulit, penampilan, dan lainnya. Ketika jurang perbedaan kelompok menjadi “fundamental,” dan sangat meresap dalam masyarakat, akan tiba satu titik di mana perbedaan tersebut akan menjadi konflik.

Namun dalam abad ke-21 ada hubungan bahwa kekuasaan negara mulai berkompromi terhadap kelompok yang berpandangan konservatif. Agama dan gerakan keagamaan dapat langsung mempengaruhi politik internal negara dan dengan demikian memenuhi syarat kekuasaan negara. Misalnya, Injili Protestan di Amerika Utara menghasilkan dampak agama dan politik yang cukup kentara di Guatemala pada 1980-an.

Hasilnya, Gereja Katolik sebagai suprastrukturnya kehilangan banyak peran pentingnya dalam kelembagaan tradisional. Secara perlahan, terdapat aliansi yang terbentuk antara Injili Protestan dan politisi konservatif berbagai macam yang berbagi tujuan yakni untuk menghancurkan struktur politik yang kompetitif dan kemajuan sosial (Haynes, Jeff. 2001)

Di Indonesia, kemunculan fundamentalisme Islam menemukan momentumnya kembali pasca reformasi. Berbagai macam isu politik dilancarkan untuk menempatkan pemimpin yang “religius” ke dalam kekuasaan dan agama mulai dijadikan legitimasi politik untuk memilih pemimpin. Hal ini berakar pada satu dekade sebelum pecahnya reformasi.

Pada masa orde baru, terdapat juga bentuk politik jalanan Muslim dari tahun 1990-an secara bertahap menjadi lebih menonjol dan yang muncul untuk menikmati diam- dan juga mendapat dukungan dari faksi dalam rezim Suharto. Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), muncul pada 1987.

Namun pergerakan publiknya mulai 1990, hampir bersamaan pada saat ICMI didirikan. Para pendirinya ditengarai sebagai “garis keras”, yang berpegang kuat pada konspirasi Yahudi dan Kristen Barat untuk melemahkan atau menghancurkan Islam, dan umumnya memusuhi non-Muslim (Martin van Bruinesse. 2002)

Dengan merebaknya bermacam-macam media sosial sebagai new media di era informasi digital, kecenderungan individu untuk mendapatkan informasi menjadi lebih “instan” dari sebelumnya.

Banyaknya informasi tentang paham agama yang dihubungkan dengan isu politik menjadi sebuah paradoks tersendiri, di mana individu menjadi sulit memilah informasi yang obyektif, dan cenderung lebih bias. Media sosial yang paling populer di Indonesia ialah Facebook, Twitter, YouTube dan berbagai aplikasi penyampai pesan instan lainnya.

Bias politik ini dimanfaatkan oleh sebagian kelompok untuk memperkuat propaganda dan identitas atau afiliasi politiknya agar tetap eksis di konstelasi kekuasaan nasional. Tak terkecuali kelompok Islam fundamentalis yang sempat mengalami represi pada masa pemerintahan Soeharto. Dengan adanya media sosial, paham fundamentalisme mampu menyebar tanpa harus melalui institusi legal maupun mencari dana yang lebih banyak. Terdapat berbagai jenis wacana yang dilemparkan, termasuk bagaimana tata cara memilih pemimpin yang sesuai dengan ajaran Islam.

Kita berharap Pemilu 2019 adalah ajang kedewasaan dalam berpolitik, ketika pemilih (voters) dihidangkan metode propaganda dengan sentimen-sentimen agama dengan tujuan jangka pendek, hal ini akan menikam harapan dari lahirnya pemimpin  nasional yang berkinerja, berpihak pada rakyat serta berufuk kesejahteraan.

Dhanny Sutopo
Dhanny Sutopo
Pengajar pada fakultas ilmu sosial dan ilmu politik (FISIP) Univ. Brawijaya Malang, sedang menempuh program doktoral pada Universitas Airlangga
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.