Kajian Pembangunan Budaya Ekonomi Indonesia: dari kekuatan Kultur (Budaya dan Pendidikan) menjadi kekuatan Struktur (Sosial dan Ekonomi).
M. Dudi Hari Saputra, MA. (Dosen Universitas Kutai Kartanegara).
3 tahun yang lalu, saya mendapat perkuliahan Professor Lee dari Korea Selatan yang berfokus pada model pembangunan ekonomi di negara-negara Asia (Asia Timur Khususnya), dalam penjelasannya dia memaparkan bahwa Korea mampu membangun perekonomiannya disebabkan karena adanya sebuah bentuk pemerintahan yang kuat (bahkan mengarah kepada bentuk otoriter di era Park Chung Hee) dan bantuan ekonomi dari AS yang digunakan secara maksimal untuk pembangunan industri yang berbasiskan manpower/sumber daya manusia.
Kemudian, saya mengajukan pertanyaan yang sebenarnya mengkritik pandangan itu, jika otoriter menjadi sebuah keharusan di dalam pembangunan ekonomi, mengapa Soeharto tidak mampu melakuan hal yang sama?.
Pertanyaan yang akhirnya dia kembali ajukan kepada saya, dan saya jawab:
Di dalam pemerintahannya Soeharto memang otoriter, dan itu bagus untuk menciptakan pemerintahan yang efektif di dalam pembangunan ekonomi, namun Soeharto melakukan proses pembangunan yang berbasiskan kapitalisme semu (Ersaatz Capitalism), berbeda dengan Korea Selatan, di mana pembangunan ekonomi memang diawasi secara ketat oleh pemerintah namun dalam prakteknya pembangunan ekonomi dijalankan oleh perusahaan-perusahaan swasta maupun BUMN yang berbasiskan meritokrasi (kualitas).
Sedangkan di Indonesia malah sebaliknya. Masyarakat Cina, Korea Selatan dan Jepang dulunya juga feodal seperti Indonesia, namun negara/bangsa tersebut mampu merevisi budaya dan sistem feodalisme yang tertutup dan tidak progres itu.
Di Indonesia secara sistem memang telah menghapus feodalisme, namun secara budaya bisa saya katakan belum, nepotisme yang berkembang di Indonesia tidak bisa dilepas dari budaya feodalisme Indonesia yang masih memandang kualitas manusia dari segi ikatan emosional, bukan kualitas-professionalitas.
Telisik punya telisik kemajuan Korea Selatan juga ditopang oleh pelajaran budaya yang diajarkan oleh Konfusius, yang memandang bahwa kualitas manusia ditentukan oleh pendidikan, kerja keras dan ketaatannya pada hukum (dipaparkan sendiri oleh Prof. Lee).
Dari sini saya selalu teringat pesan Marx bahwa ekonomi itu bukanlah entitas yang bergerak di ruang yang kosong, namun selalu bersentuhan dengan aspek lain, seperti sistem budaya dan sosial.
Makanya, saya termasuk orang yang percaya jika bangsa ini ingin maju, maka perubahan yang pertama kali dilakukan adalah budaya, dan pembangunan budaya yang baik mustahil jika tanpa melalui jalur pendidikan.
Namun sekali lagi patut disayangkan, para budayawan Indonesia malah lebih sering menjadi simbol hiburan atau perenungan, bukan perubahan.
Tambahan:
Saya tidak pernah menuliskan bahwa Jepang, Korea Selatan atau Cina meninggalkan budaya mereka, namun yang mereka lakukan hanya merevisi budaya-budaya mereka yang bisa menghambat laju pembangunan bangsanya sendiri, salah satunya yaitu budaya feodalisme (tuan tanah), dan kemudian kembali kepada nilai-nilai filosofis Konfusianisme, dan akhirnya mampu menempatkan negara-negara tersebut mandiri untuk pembangunan ekonomi, budaya, politik, sosial dan sebagainya.
Indonesia memiliki sebuah perangkat budaya yang luar biasa kaya nya, tapi kita juga harus menelisik lebih dalam dan jujur, apakah budaya-budaya ini berdampak positif atau tidak, tidak sedikit para budayawan Indonesia yang mengkritik budaya kita sendiri seperti budaya malas nya, artistik nya, feodal nya, dll.
Karenanya saya merasa perlu untuk menjadi bagian pengkritik itu sambil menggali dan menemukan kembali nilai-nilai budaya kita yang bisa berdampak positif bagi pembangunan.
Karakter budaya kita tidak terlepas memang dengan budaya feodalisme dan kolonialisme yang berkepanjangan sehingga melahirkan sebuah interaksi yang pesimistik, tunduk, lemah dan takut.
Menurut hemat saya, semua bangsa di dunia pernah mengalami masa kegelapan seperti itu (dark ages), Eropa yang sekarang maju sekalipun pernah mengalami era kegelapan seperti itu ketika berada di bawah kekuasaan absolut kepausan Katolik dan kekaisaran yang anti ilmu pengetahuan.
Perubahan diawali dari jalur pendidikan, namun pendidikan di sini bukanlah melekat pada institusi-institusi yang dikuasai oleh penguasa yang bobrok, tapi dari individu-individu yang tercerahkan dan mulai berani melakukan gerakan kritik dan revisi secara masif melalui buku/tulisan, penemuan dan sebagainya, sehingga melahirkan yang namanya Renaissance/Aufklarung (Pencerahan Kembali).
Dan peran kita tepat nya adalah disitu, melalui gerakan individu-individu yang tercerahkan. Hal ini sama seperti era pra kemerdekaan dan awal kemerdekaan, di mana para pemuda/pemudi Indonesia yang memiliki bekal ilmu pengetahuan berkeinginan besar untuk melakukan perubahan besar dan perlawanan keras atas kolonialisme Belanda dengan mengangkat sebuah ide negara bangsa bernama Indonesia yang merdeka, berkeadilan, berkemanusiaan dan sejahtera.
Pertanyaanya, apakah bisa kita melakukan estafet itu? menurut saya bisa.
Wallahu’alam bishawab.