Menjadi manusia dengan jiwa tetap sehat bergas waras adalah sebuah keuntungan di masa sulit seperti sekarang ini. Jangan terlalu naïf kalau memandang hidup, mengakui bahwa ini adalah masa tersulit untuk tetap menjadi manusia merupakan cara yang paling ampuh untuk menjaga kewarasan.
Di situasi sulit ini, harapan bagaikan secerca cahaya yang keluar dari celah bebatuan goa nan gelap. Seorang bijak bestari mengatakan bahwa harapan adalah bahan bakar manusia agar terus dapat hidup untuk hari esok tampaknya sudah sampai pada titik penghabisan.
Seperti orang belari terus menerus tanpa tujuan yang jelas, pastilah ia akan mengalami serangan kelelahan yang sangat. Inilah yang membuat saya akhirnya memutuskan untuk tidak mau lagi mengetahui banyak sesuatu agar tidak lagi mengharapkan sesuatu yang kosong. Namu sial, bukannya mendapatkan sebuah ketenangan. Justru, semakin berusaha menghindar, semakin mudah mendapati informasi yang tidak begitu sesuai alias memberi harapan palsu.
Tiba suatu situasi dalam keadaan sedang mulai membatasi diri, saya tanpa sengaja mengklik satu tagar yang sedang trending di twitter, terkait Jogja. Tak disangka, kasusnya lama bersemi kembali di belantaran Malioboro, ya apalagi kalau bukan keluhan wisatawan terkait mahalnya makanan di pinggir Malioboro, balas-balasan pendapat antara kelompok pro dengan kontra terjadi di sana, mereka menyebutnya twittwar.
Saya sendiri merupakan golongan orang yang menganggap wajar harga segitu, karena saya membandingkan harga makanan di tanah tempat saya mengadu nasib yang jaraknya ribuan kilo dari Jogja. “Harga segitu kok ngeluh,” gumam saya saat melihat video dari salah satu food vloger, namun pandangan saya berubah total saat saya mendapatkan pemahaman dari ilmu jalanan.
Nasi Ayam dan Pedoman
Pada hari dimana saya merasakan izin untuk cuti pertama kalinya, saya langsung memutuskan untuk mampir sejenak ke tempat cukur rambut langganan saya. Ya, walaupun sedikit apes karena mas yang dulu motong rambut saya sudah pindah.
Kesempatan itu saya gunakan untuk melakukan survei ala-ala mengenai tanggapan para pelaku usaha di Jogja, terhadap kasus pelancong yang mengeluhkan harga makanan di Jogja, saya sendiri masih suka mengalami gagap ekonomi ketika kembali ke Jogja, karena harganya memang benar-benar beda.
Saat sedang proses mencukur rambut, ada satu obrolan yang membuat pandangan saya berubah total, “potong disana berapa mas?,” tanya mas tukang cukur tadi, karena masih kesal dengan pelancong yang merasa ditutuk harga saat jajan di Malioboro. Kejengkelan saya naik dua kali lipat, pasalnya saat sedang melangkah berangkat untuk potong saja, saya harus menerima paparan berita dari salah satu stasiun TV terkait itu.
Di situasi serba sulit dan belit seperti sekarang ini, pergi melancong adalah hal yang istimewa sekali. Kenapa bisa begitu? coba tengok kembali prosedur dan tata cara melancong di situasi sekarang ini. Akhirnya saya menjawabnya “ya, masih mahal mas disana daripada jajan di Malioboro,” masnya senyum “wah, tiga kali lipat harga sini berarti ya mas?,” tetapi Jogja dan isinya memang obat terbaik bagi saya. Seolah tahu kalau saya sedang jengkel , mas tukang cukur menambahi jawabannya, “tapi, kalau tiga kali lipat dari sini wajar mas, beda sama kasus Malioboro kemarin.”
Saya yang heran terus terang bertanyanya “karena UMRnya tinggi mas?,” karena itu jawaban yang paling diplomatis dari sekian pilihan jawaban menurut saya. Tetapi mas tukang cukur tadi bertanya balik “ya bisa jadi juga, tapi harga nasi ayam disana berapa mas?,”
Tentu saya kaget, karena ini tidak umum sekali bagi awamers seperti saya, apa kaitannya antara harga nasi ayam dan cukur?, membayangkan harga tentu saya langsung menuju seporsi nasi ayam lalapan pinggir jalan di tanah rantau. “Ya sekitar tiga puluh ribu mas, belum minum,” jawab saya atas pertanyaan balik dari masbro tadi, “Nah, wajarkan mas harga sekali potong di sana, kasus malioboro itu aji mumpung-nya kebangetan juga.”
Saya mendapati kesimpulan baru perihal menentukan harga ala pengusaha, yaitu berpedomanlah pada harga nasi ayam di daerah tersebut atau sebaliknya. Jadi bagi pelancong agar tidak ke-tutuk pada harga makanan, berpedomanlah dengan harga cukur di tempat tersebut, kurangi saja harga cukur atau nyalon anda barang lima ribu atau lima belas ribu dari harga tempat anda perawatan rambut di kota tersebut, tetapi harus setara.
Maksudnya begini, kalau harga cukur rambut di pinggir jalan dengan ala kadarnya, ya sesuaikan dengan makan dipinggir jalan dengan ala kadarnya dan bukan distrik wisata. Bukan terus cukur dipinggir jalan, disesuaikan dengan harga makan di restoran mewah atau di tempat wisata. Terlihat setara tetapi tidak sama.
Setara tetapi Tidak Sama
Pengalaman pulang yang menyenangkan itu menghadiahkan suatu pemahaman inti bagi saya. Tentang kesataraan yang tidak dapat disamakan. Manusia cenderung memilih jalan ninjanya untuk bias informasi demi menjaga suatu hubungan harmonis dengan sesamanya. Terutama kepada orang yang tidak dikenal.
Seoalah ia merasa akrab, padahal baru saja bertemu. Alhasil banyak sekali manusia yang terperdaya oleh hal kelemahannya sendiri. Saya juga kerap sekali melakukan hal tersebut saat di tanah rantau, khususnya ketika berjalan melewati kerumunan saya masih sering menundukan kepala sedikit untuk menghormati orang yang sedang duduk di pinggir jalan bukan seikerei.
Ternyata saya mendapatkan informasi bahwa ketika menundukan kepala bagi sebagian budaya nusantara tengah dan timur, adalah suatu bentuk ketakutan. Saya juga tidak menyalahkan karena tidak mungkin saya memaksakan pemahaman saya kepada mereka.
Tetapi dari ketidaksamaan ini, seharusnya kita semakin tahu bagaimana menghormati sesama. Menghargai perbedaan, dengan tetap menjadikan kemungkinan terburuk sebagai pedoman dalam bersosialisasi. Ada hal yang memang harus manusia pegang untuk mempersiapkan situasi terburuk.
Satu pesan di akhir buku karya Malcolm dengan judul talking to strangers, yaitu manusia harus menyadari akan keterbatasan dirinya untuk membaca orang tidak dikenal. Sikap terlalu percaya kepada asumsi yang beredar tentu saja membawa dampak buruk pada pemilihan sikap kita, seperti juga kejengkelan beberapa orang tentang romantisasi Jogja yang dianggap omong kosong.
Romantisme muncul dari mereka yang sedang kasmaran, mereka yang sedang dibuat mabuk kepayang oleh cinta. Melihat segala sesuatu yang menjijikan bisa jadi indah, apabila dilakukan oleh orang yang ia cintai. Tentu pandangan orang kasamaran semacam ini, tidak akan berdaya guna tepat apabila dijadikan pedoman untuk beranjak pertama kalinya datang ke suatu daerah tanpa persiapan terburuk.
Walaupun demikian, saya juga diuntungkan ketika sedang di tanah rantau dari romantisme itu, membawa keramahan pada orang yang tidak saya kenal. Ingat pesan masbro di atas untuk sesuaikan dengan harga nasi ayam atau sebaliknya, karena setara tetapi tidak sama.