Rabu, April 24, 2024

Sistem Peradilan Pidana Anak Menurut UU SPPA

Elisa Eka Andriyani
Elisa Eka Andriyani
Mahasiswa Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Anak sebagai subyek dan modal pembangunan nasional demi tercapainya masyarakat adil dan makmur sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945. Anak merupakan generasi penerus bangsa yang perlu mendapatkan perlindungan hukum. Demikian halnya dengan anak yang berhadapan dengan hukum, perlu mendapatkan perlindungan dalam proses penanganannya.

Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, “Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”

Sistem Peradilan Pidana Anak sendiri merupakan sistem peradilan pidana yang menangani perkara Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH), meliputi anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.

Asas yang dianut dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini diantaranya adalah: kepentingan terbaik bagi Anak; penghargaan terhadap pendapat Anak; kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak; pembinaan dan pembimbingan Anak; perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan penghindaran pembalasan.

Selain itu, setiap anak juga berhak mendapatkan hak-haknya dalam proses peradilan pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yaitu;

  1. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
  2. Dipisahkan dari orang dewasa;
  3. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
  4. Melakukan kegiatan rekreasional;
  5. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
  6. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
  7. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
  8. Memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
  9. Tidak dipublikasikan identitasnya;
  10. Memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak;
  11. Memperoleh advokasi sosial;
  12. Memperoleh kehidupan pribadi;
  13. Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
  14. Memperoleh pendidikan;
  15. Memperoleh pelayananan kesehatan; dan
  16. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum mengutamakan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Oleh karena itu, diperlukan proses penyelesaian perkara di luar mekanisme pidana, yang disebut Diversi dengan pendekatan Keadilan Restoratif dengan tujuan:

  1. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
  2. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
  3. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
  4. Menghindarikan anak dari perampasan kemerdekaan;
  5. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
  6. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Elisa Eka Andriyani
Elisa Eka Andriyani
Mahasiswa Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.