Minggu, November 24, 2024

Simplifikasi Kesejahteraan

M. Rizki Pratama
M. Rizki Pratamahttp://pratamarizkim.wordpress.com
Tenaga Pengajar Prodi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
- Advertisement -

Era disrupsi paten berhubungan dengan semakin bertambahnya peluang kesejahteraan, akan tetapi memaknai disrupsi dengan sikap berlebihan dan tergopoh-gopoh untuk segera “ikut-ikutan” juga bukanlah solusi komprehensif ketika pada level sebuah negara seperti Indonesia dalam kondisi normal saja sudah mengalami ketertinggalan.

Jika terlalu eksploitatif, trial error tanpa kalkulasi optimal tentu bukan kesejahteraan yang akan didapat namun justru kehancuran ekonomi yang terjadi, ketimpangan dan kemiskinan meningkat, pemerataan hampir mustahil, seperti halnya kita mengikuti anjuran liberalisasi ala IMF bertahun-tahun silam.

Dunia setidaknya memang akan sering berubah akan tetapi ketika kita memasuki era disrupsi seperti saat ini apakah memang kita harus benar-benar mengikutinya 100% atau kita perlu mengkritisnya lebih lanjut sebab kita semua tahu bahwa tidak ada kebenaran tunggal.

Jika disrupsi adalah pengetahuan yang bermanfaat maka disrupsi adalah kekuasaan seperti yang dikatakan Michael Foucault dan disrupsi adalah kepentingan seperti apa yang dikatakan Jurgen Habermas. Selalu ada sesuatu dibalik disrupsi yang perlu kita waspadai selagi mendulang peluang-peluang membagi kesejahteraan via mode tersebut.

Mempercayai teknologi informasi semata tanpa mempertimbangkan aras lainnya tentu adalah bunuh diri bagi manusia, tentu telah banyak pembahasan tentang bagaimana menakutkannya dunia ketika artificial intelligence yang membabi buta menghapuskan berbagai pekerjaan rutin manusia bahkan dalam skenario fiksi ilmiah telah banyak narasi yang menceritkan ketika para robot menguasai dunia.

Terlalu bersandar pada skenario disrupsi tunggal adalah kesalahan fatal, sejak kapan kita hanya benar-benar tanpa alternatif selalu ada jalan lain, bisa bersama-sama atau bahkan memisahkan diri demi kesejahteraan yang lebih imbang.

Dalam bahasa ilmuwan politik kepercayaan berlebihan ini adalah terrible simplifiers (Naim, 2013)Bahkan Giddens (2000) juga mengemukakan jalan ketiga yang merupakan alternatif di tengah kemandegan ideologi dunia termasuk demokrasi yang menjadi tawaran populer tunggal, ternyata di balik demokrasi saja banyak alternatif di dalamnya, seharusnya disrupsi juga mengalami demikian. Fungsi-fungsi kesejahteraan dari disrupsi seharusnya tidak dimakan mentah begitu saja.

Polemik Dominasi

Problem klasik adalah selalu saja ada pihak yang merasa paling benar sendiri, menghempaskan setiap perbedaan yang ada dengan basis keunggulan sepihak. Apa pun problem yang terjadi hari ini adalah klaim siapa yang paling benar, populisme yang merebak di berbagai belahan dunia menunjukkan trend yang mengkhawatirkan.

Semua dominasi akan mengarah pada penindasan tentu dengan kebanyakan bermotif ekonomi politik. Lalu dengan dominasi pemikiran dirupsi akankah dapat membuka problem tersebut atau jangan-jangan sejak awal disrupsi tidak memiliki konsekuensi untuk melupakan dominasi lalu menjadi alat yang berguna untuk mengungkit inklusifitas.

Pondasi disrupsi sendiri juga tidak berasal dari akar rumput sehingga kemungkinan sulit mengatakan bahwa disrupsi juga akan menyapu kekolotan politik kecuali gerakan-gerakan akar rumput itu sendiri paham benar dengan disrupsi dengan melakukan praktik nyata dalam melakukan perubahan politik yang lebih inovatif.

- Advertisement -

Seperti tesis Fukuyama (2011) bahwa reformasi politik dimulai dari mobilisasi gerakan akar rumput. Tulisan White (2015) juga mengungkapkan ekonomi digital justru berkontribusi pada ketimpangan, tidak semua orang dapat bermain karena bermodal yang tidak sedikit.

Sedangkan Siregar (2017) menambahkan bahwa upaya dalam ekonomi digital seperti co-working space bisa jadi tidak memiliki hubungan nyata dengan sektor lain dalam ekonomi karena mereka hadir ketika ketimpangan terjadi dalam infrastruktur, akses dan kesempatan. Paradoks tengah terjadi dalam dunia hari ini.

Disrupsi melalui inovasi teknologi informasi jelas hanya dikuasai sebagian kecil pihak, meskipun terma potensi akan mensejahterakan keseluruhan masyarakat selalu digadang-gadang akan tetapi jelas yang paling untung besar adalah para disruption maker. Dalam konteks negara-negara berkembang pun yang mengalami keterbatasan seperti Indonesia selalu mengalami kesulitan, level pertama pembagian pengetahuan masih sangat terbatas dan lambat jika diterjang disrupsi yang ada hanyalah kalang kabut.   

Kaum Papa Naik Kelas

Kesulitan yang mendasar bagi seluruh kebijakan publik, negara dan mode ekonomi apapun adalah menaikkan posisi manusia yang tengah terjepit dan berubah ke arah peningkatan kesejahteraan. Kemiskinan struktural dan ketimpangan yang semakin dalam adalah produk nyata kegagalan dunia merespon kejahatan nyata dari arus neo-liberal. Ide-ide canggih jahat dianggap dewa asalkan menguntungkan.

Seperti cerita Stiglitz (2015) bahwa seringkali krisis terjadi karena hanya pemerintah tidak bertindak padahal memiliki kekuasaan untuk bertindak. Arus bawah semakin terjepit bahkan mereka sendiri tidak tahu bahwa dunia tengah berubah. Orang-orang rentan seperti inilah yang seharusnya diurusi oleh negara, yang telah mapan biarlah bertahan dengan berbagai kemudahan yang mereka telah dapatkan.

Menaikkan kelas yang non sejahtera ke sejahtera adalah pekerjaan berat, problem klasik yang tidak pernah selesai oleh entitas negara. Negara jangan terus mendukung kemudahan bagi yang telah mendapatkan kemudahan, berikanlah kemudahan bagi mereka yang benar-benar sulit.

Akhir kata, disrupsi sejatinya hanya salah satu pandangan untuk melihat perubahan dunia yang bergerak semakin cepat. Siapa saja boleh bermain dengan inovasi dan teknologi informasi termutakhir akan tetapi memperhatikan segala konsekuensinya terhadap kelompok-kelompok yang rentan akibat tidak cairnya pembagian kesejahteraan dan pengetahuan juga harus diupayakan bersama.

Mengandalkan disrupsi bagi kesejahteraan adalah simplifikasi kesejahteraan bersama, tidak ada kebenaran tunggal di masa ini. Memikiran kompleksitas dunia dengan berbagai alternatif adalah jalan keluar, konteks tetap selalu penting bagi kesejahteraan. Ketimpangan selalu hadir karena ketidaksesuaian pakem-pakem kesejahteraan yang selalu dianggap tunggal dan paling benar.

Jalan menuju kesejahteraan bersama memang sangat panjang mari kita tidak terjebak dengan mudah ketika konsep-konsep baru muncul bersamaan dengan potensi manfaatnya sebab selalu ada jalan lain untuk mengulitinya, memunculkan alternatif baru yang barangkali lebih dahsyat.

M. Rizki Pratama
M. Rizki Pratamahttp://pratamarizkim.wordpress.com
Tenaga Pengajar Prodi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.