Akhir Januari 2018 kemarin saya bersama istri menyempatkan waktu di akhir pekan untuk berkunjung ke Toko Buku Toga Mas, di jalan Majapahit, Semarang. Pukul 09.00 WIB kami sudah sampai. Tampak gerbang depan masih tertutup, namun terlihat beberapa orang mulai keluar membuka gerbang. Oh, ternyata, tepat mau buka.
Setelah saya parkir motor dan masuk, kok koleksi bukunya tidak tidak sebanyak dulu ya. Kami lihat-lihat buku di beberapa rak. Menelisik buku-buku baru yang sekiranya menarik. Namun tidak nemu juga.
Berbeda dengan dulu ketika masih di daerah Bangkong yang koleksinya lumayan lengkap, bahkan ada spot khusus untuk bermain anak-anak. Beberapa buku yang saya bolak-balik tampak tak terawat, berdebu.
Tampak beberapa karyawan mengepak buku di kardus-kardus dan membawanya ke luar gedung. Pikir saya, pasti mau diretur ke penerbit. Sebelum keluar, istri saya membeli dua buku anak-anak untuk koleksi bacaan buku anak-anak di kompleks kami.
Hari Rabu (7/2/2018) saya bertemu dengan bagian marketing penerbit Prenada Media Group, salah satu penerbit yang menerbitkan buku saya (Sejarah & Paradigma Teknologi Pendidikan untuk Perubahan Sosial, 2016).
Seperti biasa, Mas Ali, panggilan akrabnya, menyerahkan royalti buku yang tidak seberapa besar kepada saya. Saya pun menyampaikan rasa terima kasih yang teramat sangat, karena selama beberapa tahun telah bekerjasama dengan sistem konsinyasi dengan Rumah Buku Simpul Semarang (RBSS). Walau buku-buku yang terjual tak seberapa banyak, namun cukup memberi pengalaman bagi kami suka dukanya jualan buku.
Di sela-sela obrolan mengemukan bahwa Toko Buku Toga Mas yang barusan saya dan istri kunjungi kemarin tutup 18 Februari 2018 kemarin, yang ternyata dimajukan tutup tanggal 16-nya.
Kendalanya klasik. Soal harga sewa ruko yang tak dapat ditutup dengan laba penjualan buku. Konon harga sewa satu tahun mencapai kisaran Rp. 200 juta. Kalaupun satu tahun bisa meraup laba Rp. 200 juta, belum ditambah gaji karyawan, bayar listrik, agak repot jika harus dipaksakan untuk tetap buka.
Terlebih Toga Mas dikenal sebagai toko buku dengan harga diskon. Saya masih ingat betul di pertengahan tahun kemarin, ketika mahasiswa baru mulai masuk kuliah, banyak pamflet ditempel di majalah dinding kampus berupa tawaran buku-buku berkualitas dengan harga diskon.
Jika Toko Buku Toga Mas sudah tutup, maka titik-titik perburuan buku di Semarang makin berkurang. Setelah kompleks lapak buku Pasar Johar bubar karena kebakaran beberapa tahun kemarin, sebagian besar penjual buku lawas tersebar di banyak tempat yang belum banyak diketahui orang.
Beberapa di antaranya pindah ke lapak buku di Stadion Diponegoro. Beberapa yang lain di Pasar Bulu di lantai 3. Lainnya di kios kompleks Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Sisanya terpaksa membuka dasaran di rumah masing-masing.
Sekilas yang mulai kembali ke Johar adalah lapak Aneka Ilmu, namun di los Pasar Yaik. Kondisi kios-kios buku lawas di Bulu cukup memprihatinkan, demikian juga di MAJT. Tak banyak orang yang beli, dan bisa dibayangkan kira-kira berapa pemasukan mereka tiap hari.
Kios-kios buku “rakyat kecil” di Semarang memang agak semrawut. Saya tidak tahu apakah Pemerinta Kota Semarang punya perhatian pada titik-titik simpul potensi suplai literasi seperti Johar di masa lalu, atau Stadion Diponegoro.
Di Yogyakarta kita bisa ke Taman Pintar sebagai tempat jujugan jika ingin berburu buku-buku lawas maupun baru. Ada fasilitasi dari pemerintah yang rasanya patut diapresiasi. Di Jakarta, ketika Pasar Senen mulai ada perombakan, Blok M Square lantai bawah adalah surga bagi pemburu buku-buku baru maupun lawas. Di Semarang, Johar dan Diponegoro adalah kantung-kantung jujugan mahasiswa berburu buku yang perlu diperhatikan serius.
Beberapa toko buku yang tersisa di Semarang antara lain Merbabu di Jalan Pandanaran, Gramedia di Jalan Pandanaran, dan Gunung Agung di lantai dua mall Citraland. Isu yang beredar, Gramedia di jalan Pemuda pun mau tutup (saya tidak tahu sudah tutup atau belum).
Menurut Mas Ali, beberapa gerai Gramedia di mall pun mulai tutup. Konon juga karena tidak bisa menutup biaya operasional. Di Semarang, contoh kasusnya adalah Gramedia di Java Mall yang sudah tutup sejak lama. Ya, biaya ongkos sewa kios memang mahal. Jika hanya mengandalkan jualan buku, tentu tidak akan balik modal. Biaya operasional bisa-bisa juga tidak terbayar.
Hanya Gramedia di Pandanaran barangkali yang mapan. Bukan hanya karena Gramedia Pandanaran tidak lagi sewa tempat (gedungnya konon sudah hak milik), melainkan juga mereka menyewakan kios untuk lapak es teh manis dan jajanan ringan. Uang sewanya barangkali lumayan untuk tambah-tambah operasional.
Pun jika dilihat seksama, bukankah Gramedia tidak sekadar jualan buku. Di Gramedia Pandanaran, lantai satu penuh dengan dagangan ATK plus tas-tas cantik, alat-alat olah raga dan lainnya.
Toko buku Merbabu juga sama, sebagian besar jualan ATK. Koleksi buku-buku tak lagi banyak. Di mall Citraland, Toko Buku Gunung Agung juga sama saja. Koleksi buku-buku kalau dicermati sekarang tidaklah selengkap dulu. Berganti dagangan ATK yang mendominasi.
Intinya, jika hanya mengandalkan buku sebagai barang jualan tidak akan bisa menutup biayai operasional. Perkecualiannya barangkali adalah Gramedia: selain jaringannya kuat, finansialnya juga, dan banyak kiosnya tak lagi menyewa.
Di Universitas Diponegoro (Undip), Tembalang, dulu ada kios buku untuk menyasar mahasiswa. Sekarang pun tutup. Di sekitar Universitas Negeri Semarang (UNNES) pada tahun 2000-an awal juga sudah ada kios buku di mulut Gang Nangka.
Tiap minggu dijadwal diskusi. Saya pernah sekali waktu mengisi waktu diskusi bukunya Arnold Toynbee. Tak lama kemudian toko yang digawangi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu pun gulung tikar.
Ada juga beberapa kios buku yang digerakkan para aktivis Tarbiyah di daerah Sekaran, dekat Gang Setanjung. Kalau tidak salah, toko buku “Senyum” namanya. Akhirnya toh tutup juga, tersisa di Gang Kanthil yang disokong modal oleh Ustadz Munif, adiknya Habiburrahman As Sirozi, penulis Ayat-ayat Cinta.
RBSS pun gulung tikar. Bermula menyewa kios di Gang Kanthil, kalau tidak salah ingat per tahun Rp. 6 juta. Itu belum termasuk pasang listrik dan lainnya. Pindah ke Gang Nangka No. 50 sewa per tahun melonjak jadi Rp. 15 juta per tahun. Akhir 2017 RBSS resmi tutup juga karena tak kuat membayar sewa.
Dengan manajemen dan marketing seadanya, tidak pasti dalam satu bulan ada yang beli buku. Kalau mau sekadar cari buku-buku bacaan ringan, AJM yang biasanya ATK juga menyediakan beberapa buku. Di lantai dua AJM Sekaran terdapat beberapa pajangan novel, Yasin-Tahlil, Ma’tsurat, mushaf Al Quran, cerita bergambar dan buku mewarnai untuk anak-anak juga. Persewaan komik yang di awal 2000-an sempat ada, sekarang pun lenyap.
Opini terkait:
Senjakala Toko-Toko Buku di Semarang [2]