Jumat, April 19, 2024

Senjakala Ruang Publik di Tengah Polemik

Muhammad Lutfi Nanang Setiawan
Muhammad Lutfi Nanang Setiawan
Mahasiswa UIN Walisongo Semarang. Redaktur di LPM Justisia.

Wilayah dunia kehidupan (lebenswelt) sebagai tempat para warga berkumpul mulai terancam oleh ekspansi pasar dan intervensi politis, tempat dimana pikiran dipertukarkan mulai digantikan menjadi panggung-panggung periklanan dan kampanye-kampanye politis. Dulu sebelum munculnya dinamika kehidupan yang begitu kompleks seperti sekarang hingga menimbulkan berbagai hukum sebagai jawaban, masyarakat tidak perlu repot bahkan khawatir dibayang-bayangi dengan hukuman dan konsekuensi.

Dulu dan sekarang berbeda, kita tidak bisa mencegahnya. Hanya saja, apa yang sudah terlanjur terjadi di zaman dulu bisa dijadikan pelajaran pada zaman sekarang. Alih-alih sebagai usaha memperbaiki juga antisipasi terhadap fenomena, peristiwa juga persoalan yang sebelumnya terjadi. Yang banyak mendapat sorotan dan perhatian lebih adalah persoalan yang menyinggung masalah ruang publik. Yang dulunya dipuja sebagai ruang kebebasan, ternyata sekarang beralih fungsi dan gugur hilang seiring berjalannya zaman.

Berangkat dari demontrasi seperti di atas, kiranya perlu ada ruang-ruang publik yang bebas dan terbuka dalam rangka mewujudkan solidaritas sosial dan komunal. Demikianlah, gagasan ‘Ruang Publik’ yang ditawarkan oleh Jurgen Habermas dan kaitannya dengan pandangannya post-sekulerisme menemukan titik relevansinya.

Memahami Logika Ruang Publik

Ruang publik sekarang tidak hanya sebatas orang dengan tujuan yang sama berkumpul dalam satu areal, tetapi meluas ke ranah media sosial. Padahal, jika kita memahami paradigma Ruang Publik Jurgen Habermas, bahwa ruang publik itu seperti warung kopi. Siapapun boleh dan bebas berbicara apa saja, mencurahkan segala keresahan dan kegelisahan tanpa ada batasan dan takut dengan kecaman.

Karena bagi Habermas, dengan Ruang Publik yang identik dengan prinsip komunikatif, persoalan yang ada dapat diselesaikan baik tanpa ada gejala. Lantaran komunikatif yang pada dasarnya diartikan dengan komunikasi kedua belah pihak, maka jawaban atas suatu persoalan tidak hanya dibulatkan secara sepihak. Harus dilakukan secara menyeluruh oleh beragam elemen masyarakat dari berbagai latar belakang yang berbeda.

Terlepas dari adanya karakter yang sedikit menyimpang dalam tulisan Habermas, transformasi struktural lingkup publik mengungkapkan keprihatinan yang mendasar bagi sudut pandangnya secara umum dan yang terus penting bagi Habermas bahkan dalam karyanya yang terbaru. Memang, pada bulan juni 1989, dia menerbitkan sebuah esai yang di dalamnya dia membuat konsep normatif tentang lingkup publik.

Apa yang menarik Habermas untuk yang konsep lingkup publik saat itu dan sekarang adalah potensinya sebagai landasan untuk kritik masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip demokratis. Lingkup publik adalah suatu wilayah di mana individu-individu berkumpul untuk berperan serta dalam pembahasan terbuka. Semua orang bisa mengaksesnya.

Ruang publik menjelma menjadi semacam ruang universal, di mana orang-orang berkumpul untuk mendiskusikan apa saja yang perlu didiskusikan, silang dengar pendapat orang yang berbeda latar belakang, juga untuk mencapai tujuan primer, yaitu membuahkan kesepakatan yang tidak sepihak dan setiap orang merasa di dalam kesepakatan itu memiliki hak.

Tentunya, di negara Indonesia yang dikenal luas dengan landmark demokrasinya, banyak kita jumpai dan temui ruang publik seperti apa yang telah digariskan oleh bapak Sosiologi itu. Menurut Jurgen Habermas, teori diskursus merupakan dasar dari ruang publik. Integrasi sosial yang intersubjektif menjadi ciri khas dari ruang publik itu sendiri. Memang, Habermas merevisi konsepsi Kant tentang subjek, dengan memunculkan rasio komunikatif sebagai sarana emansipasi. Ia juga enggan berbicara lagi mengenai filsafat subjek dan menganggap emansipasi hanya mungkin terjadi melalui “filsafat intersubjektif” yang dibingkai dalam teori diskursus.

Ruang publik sendiri juga jembatan komunikasi antara masyarakat sipil dan pemerintah. Tentunya agar tercipta dialog hangat dan interaktif serta jauh dari istilah miskomunikasi. Jika perilaku masyarakat kepada pemerintah itu baik, seharusnya pemerintah juga memberikan timbal balik. Terlepas dari pro kontra, menurut Karl Marx, negara hanya berpihak dan dimiliki oleh kaum Borjouis-Kapitalis, tidak kepada proletar atau kaum buruh. Dan tampaknya, dewasa ini, keberpihakan negara kepada kaum Borjuis-Kapitalis sudah menjamur ke segala lini dan sendi kehidupan, tak terkecuali ruang publik.

Ruang Publik di Tengah Transformasi dan Politisasi

Bercermin dari problematika di atas, kiranya cukup untuk membuat kita sepakat bahwa akhir ini, iklim demokrasi Indonesia sedang mengalami degradasi. Sederhananya, kebijakan apapun itu yang sudah pemerintah keluarkan, seharusnya tidak bisa dikonsensuskan secara sepihak, andil masyarakat juga perlu diperhatikan. Seperti berbicara mengenai gerakan feminisme dan kesetaraan gender, harus dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya mengandalkan keterlibatan perempuan, laki-laki pun juga punya tanggung jawab akan hal itu.

Kalau kata Habermas, ruang publik seperti warung kopi. Siapa pun—tidak memandang strata sosial ataupun latar belakang hanya karena jabatan atau pekerjaan—boleh dan memiliki hak serta kesempatan mengungkapkan persoalan apa yang sedang terjadi belakangan. Sama dengan warung kopi, dari muda hingga tua tidak memandang usia, semuanya berkumpul dan berbicara apa saja yang sekiranya nikmat bagi mereka.

Mengingat apa yang pernah disampaikan oleh Bastian Naufal, LBH Semarang, dalam suatu kesempatan, bahwa ranah ruang publik untuk abad ke-20 ini adalah apa yang sudah menjadi trend dan konsumsi masyarakat luas, yaitu media sosial. Karena di situ masyarakat memiliki ruang untuk silang tukar pendapat, mencurah komentari apa yang sedang menjadi isu hangat saat itu hingga tidak sedikit mencari informasi dan berita aktual dari media sosial.

Media sosial yang sudah lama diatribusikan sebagai ruang kebebasan dan inklusif bagi masyarakat justru dibatasi geraknya oleh pemerintah. Melalui penetapan kebijaan UU ITE, pemerintah berdalih karena pencemaran nama baik dan sebagainya yang ternyata hanya kedok belaka. Karena melalui kebijakan itu, pemerintah seperti memiliki usaha preventatif yang lebih masif, sebagai upaya antisipatif agar publik tidak semena-mena mengkritik gerak-gerik pemerintah.

Bertolak dari ketidak layakan UU ITE yang membatasi gerak publik dalam menerbitkan kritik. Hal itu juga bisa menjadi aturan dan batasan untuk masyarakat di dalam mengelola pendapat mereka. Tidak sepenuhnya tentang apa yang masyarakat lihat belum tentu akurat. Pun sebagai manusia biasa dan punya batasan tertentu, tidak baik kalau semuanya dikritik. Apalagi orang yang ikut mengkritik tidak punya latar belakang akademik.

Dalam hal ini, Habermas menghadirkan solusi sebagai jalan tengah dalam melihat dan menyikapi problematika seperti di atas, yaitu praksis komunikasi atau tindakan komunikatif. Dilakukan perbincangan agar mencapai titik temu suatu konsensus yang dapat disepakati bersama. Tegasnya, masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik lewat revolusi dengan kekerasan, akan tetapi dengan memberi argumentasi.

Muhammad Lutfi Nanang Setiawan
Muhammad Lutfi Nanang Setiawan
Mahasiswa UIN Walisongo Semarang. Redaktur di LPM Justisia.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.