Jumat, April 19, 2024

Sengketa Pemahaman Sila Ketuhanan yang Maha Esa

Fially Fallderama
Fially Fallderama
Alumnus Lab-School of Democracy (LSoD) dan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Jakarta

Pancasila merupakan topik yang tak lekang masa, ia kerap mewarnai linimasa publik. Baru saja, kita diramaikan dengan mundurnya Yudi Latif dari jabatan kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pasca-heboh soal gaji fantastis para ideolog itu.

Asumsi dan pertanyaan mulai merebak dalam ruang publik dan sebagian publik mulai kehilangan rasa percaya terhadap lembaga itu pasca Yudi Latif mundur. Itu baru sebagian kecil dari percakapan tentang Pancasila.

Akan tetapi, kalau kita telisik terdapat yang anomali dalam diskusi soal Pancasila. Sila yang kerap mewarnai percakapan kita adalah sila “Ketuhanan yang Maha Esa,” sedangkan keempat sila lainnya sunyi dari geliat ide politik kita.

Betapa sering kita menjumpai, orang yang menganggap sila pertama sebagai tuhan itu sendiri bahkan tak jarang orang menghayati Indonesia sebagai negara agama atau berdasarkan ajaran Tuhan. Akhirnya, kelima sila itu menjadi entitas yang berdiri tunggal tanpa keterkaitan, karena ada satu sila yang dominan dan sakral.

Ini terlihat ketika terjadi perdebatan dalam acara Indonesian Lawyers Club pada Desember 2017 antara Cania Irlanie dan Karni Ilyas menyoal Lesbian Gay Biseksual Transgender (LGBT), Cania membela hak privat tiap orang namun disanggah oleh Karni dengan sila “ketuhanan” yang akhirnya membuat diskursus mandek.

Selain itu, dalam rekaman pendek Habib Rizieq yang sedang berdakwah di Jawa Barat. Ia mempermasalahkan Soekarno yang meletakkan sila “ketuhanan” di pantat (baca:akhir). Karena, bagi dia Pancasila Piagam Jakarta lebih baik, karena sila “ketuhanan” berada pada urutan atas bersama dengan “tujuh kata.” Karni dan Rizieq adalah dua di antara beberapa orang yang ramai dengan sila pertama daripada sila lainnya.

Akhirnya, kita dapat melihat bagaimana interpretasi “sakral” atas sila pertama membentuk logika politik masyarakat, seolah-olah Indonesia adalah negara yang berdasarkan Tuhan; yang menganut sistem teokrasi. Padahal, Bung Hatta di tahun 1945 mengkritisinya yang dikutip Yudi Latif dalam Negara Paripurna (2012), negara teokrasi tidak memperdalam perasaan agama atau memperkuat semangat agama, melainkan mempergunakan agama untuk keperluan negara. 

Oleh sebab itu, kita perlu membedah sila “ketuhanan yang Maha Esa” secara mendalam. Apakah sila pertama dalam Pancasila merupakan teokrasi atau monoteisme atau negara relijius? Atau barangkali, terdapat salah interpretasi atas sila “sakral” itu?

Pengeraman Imajinasi Pra-Indonesia

Juni 1945 adalah momen pengeraman pemikiran para “ibu dan bapak bangsa” guna menetaskan pemikiran yang dapat menjadi imajinasi Pra-Indonesia. Ir. Soekarno sebagai salah satu pemikir bangsa mengajukkan Pancasila sebagai dasar dan pandangan dunia. Akan tetapi, ide “Pancasila” itu tetap harus mendapat persetujuan bersama untuk menjadi sebuah dasar negara.

Di sidang kecil ini, terjadi proses reposisi dan penyempurnaan. Oleh sebab itu, Pancasila 1 Juni 1945 berbeda dengan yang kita tahu sekarang. Karena, sila “ketuhanan yang Maha Esa” tidak berada di urutan pertama melainkan pada urutan terakhir. Bagi Soekarno, urutan sila dari satu sampai lima tidak menandakan bahwa ada yang utama atau tidak, melainkan menggambarkan adanya kelenturan antar sila.

Akan tetapi, sila “ketuhanan” bergeser menjadi sila pertama sebagai buah dari diplomasi dengan kelompok Islam yang menghendaki Islam sebagai dasar negara. Oleh sebab itu, tidak mengherankan kalau beberapa kelompok memiliki interprestasi yang dogmatis terhadap sila “ketuhanan,” karena hasrat itu memang ada.

Padahal, Soekarno menyertakan konsep “ketuhanan” merupakan upaya menggambarkan kekayaan agama di tengah bangsa ini yang ikut memperjuangkan kemerdekaan. Sebenarnya, Soekarno mengajak kita untuk melirik kepada sejarah dan kebudayaan bangsa ini bahwa agama merupakan bagian terdekat dalam masyarakat dan melibat dalam ragam persoalan sosial.

Keterlibatan agama dalam masalah sosial bukan seperti politik identitas yang memaksakan identitasnya kepada identitas lain, melainkan lebih kepada soal tanggung jawab sosial agama. Sekitar abad 19-an sampai 20-an, muncul nasionalisme dan tersebar ke seluruh dunia. Ide ini menjadi pemicu bangkitnya kesadaran komunitarian. Agama sebagai salah satu komunitas merengkuh ide itu dan turut membangun-ulang ide partikularnya dengan ide global yang sedang keliaran.

Di Hindia Belanda (HB) telah berdiri organisasi keagamaan yang melibat dengan masalah sosial, seperti Sarikat Islam (SI lanjutan dari SDI) tahun 1925. Pada era yang sama gelombang itu juga merasuk ke dalam jantung kekristenan di HB. Tahun  1923 komunitas Katolik di Jawa mendirikan perhimpunan politik dengan nama Pakempalan Politik Katolik Djawi yang melebur dengan Persatuan Politik Katolik Indonesia (PPKI) di tahun 1938.

Bukan hanya itu, beberapa gereja di HB memutuskan untuk menjadi mandiri tanpa ada intervensi Barat dalam kepemimpinan dan pengajarannya, seperti di Minahasa tahun 1933 berdiri Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) dan di tempat lainnya. Dengan demikian, kita dapat melihat dalam konteks Pra-Indonesia bahwa semua agama melibat secara intelektual-spiritual dalam proses kemerdekaan.

Bukan soal memperjuangkan ide komunitasnya, melainkan konsep komuniatrian berdialog dengan konsep global sehingga tercipta sebuah pergerakan yang memperjuangkan semesta tanpa melepas partikularitas.

Sila Ketuhanan sama dengan Teologi?

Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa sila “Ketuhanan yang Maha Esa” adalah sebuah wacana yang menggambarkan soal kemajemukan kebudayaan, karena kata “Esa” merujuk pada kesatuan yang majemuk bukan satu yang numerik.

Dengan demikian, kita dapat membayangkan bahwa “sila ketuhanan” adalah semacam ruang kosong yang memungkinkan tiap budaya membangun-kembali ide partikularnya yang berkait dengan ide universal.

Kalau mendalami penjabaran Soekarno dan realitas historis dari bangsa ini dapat kita simpulkan bahwa “sila ketuhanan” adalah sebuah teologi, sebuah ilmu yang berbicara tentang Tuhan. St. Agustinus dalam karyanya The City of God menandaskan bahwa terdapat pembedaan dalam teologi yakni mitis, fisis dan politis. Jadi, kita dapat memahami bahwa teologi itu bukan hanya sekadar kesalehan pribadi, melainkan juga iman yang melibat dalam ruang publik.

Artinya, agama memilik tanggung  jawab sosial, bukan semata tanggung jawab surgawi. Dengan demikian, Agustinus menyadarkan kita untuk memahami “sila ketuhanan” itu dalam kerangka iman yang melibat.

Oleh sebab itu, Indonesia adalah bangsa yang ambigu, dia bukan bangsa sekular, tetapi di sisi lain juga bukan bangsa dogmatis. Dengan begitu, kita dapat melihat bahwa Indonesia adalah bangsa yang melampaui sekularitas, karena ia tak hanya menolak agama, tetapi mengajak merancang-ulang teologi dari agama-agama.

Mungkin sekularitas di Indonesia dapat dibilang sebagai teosekular (sekularitas yang berdialog dengan teologi). Menarik, Indonesia dengan sila pertama, menggugat absolutisme agama tertentu, namun mengajak tiap agama untuk terlibat dalam persoalan publik. Namun, teosekular ini opus inconclusum (belum selesai), karena kita masih berdialektika dan akan terus-menerus. Jadi, belum final.

Fially Fallderama
Fially Fallderama
Alumnus Lab-School of Democracy (LSoD) dan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.