Bila kita membuka search engine dan menuliskan kata kunci “pekerjaan yang tidak membutuhkan otak” di kolom pencarian, selebriti akan muncul menjadi salah satu jawabannya.
Dalam sebuah artikel The Clever yang berjudul 20 Jobs That Don’t Require Brains (But Will Make Anyone Rich) misalnya. Tulisan itu membahas bahwa public figure yang terkenal melalui internet, disebut juga sebagai selebriti internet (selebgram, Youtuber, dan lain-lain), aktor, hingga penyanyi merupakan beberapa contoh pekerjaan yang tidak membutuhkan otak namun bisa membuat siapapun kaya raya.
Di samping jenis tulisannya, satire maupun serius, hal yang menjadi poin penting ialah bagaimana dan mengapa anggapan dangkal mengenai pekerjaan sebagai selebritis bekerja di tengah masyarakat, seperti pekerjaan yang dianggap mudah, hanya membutuhkan penampilan tanpa membutuhkan otak, tapi sangat menguntungkan.
Fenomena tersebut secara lebih lanjut dibahas Edwin Jurriens, pengajar Indonesian Studies dari University of Melbourne, dalam tulisannya, TV or Not TV, Spelling the Indonesian Media with Veven Sp. Wardhana.
Jurriens membahas bagaimana dunia pertelevisian Indonesia mendukung perwujudan realita maupun stigma mengenai kedangkalan pekerjaan selebriti. Televisi Indonesia mengidentifikasi selebriti sebagai sosok yang gemar menjual tubuh dan seksualitasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Hal itu dibuktikan dalam narasi penokohan dalam novel Stamboel Selebritas karya Wardhana. Novel tersebut secara garis besar mengisahkan lika-liku kehidupan para selebriti. Beberapa di antaranya adalah sosok Pri, yang dikisahkan gemar menggunakan fitur tubuh dan seksualitasnya untuk menghancurkan sang rival, Raiyya.
Pri menjadikan pemanfaatan tubuh dan seksualitasnya sebagai haluan utama strategi yang ia susun dan lakukan untuk mempertahankan posisi dan eksistensinya di industri hiburan dan pertelevisian. Narasi tersebut menunjukkan bagaimana sosok selebriti lebih memilih menggunakan cara-cara dangkal sebagai strateginya untuk mencapai sebuah tujuan, ketika sesungguhnya terdapat cara-cara lain yang lebih bermartabat, seperti prestasi, intelektualitas, wawasan, dan budi pekerti.
Selebriti kerap ditonjolkan senantiasa memilih cara-cara kotor yang sama sekali tak merepresentasikan kecerdasan manusia. Hal itu dikuatkan dengan perkataan Horton dan Wohl dalam tulisannya yang berjudul Mass communication and para-social interaction, bahwa selebriti menjadi entitas yang digunakan industri media untuk mempromosikan seperangkat nilai sosial bahwa konsumsi, romansa, seks, dan kemewahan memiliki nilai yang lebih penting ketimbang kepuasan dari hasil kerja dan pendidikan.
Bak sebuah siklus yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi, representasi selebriti di media yang sarat akan kedangkalan membuat selebriti kerap mengalami objektifikasi politis dan bisnis dari industri hiburan. Praktik tersebut jelas menguntungkan perusahaanm namun merugikan diri para selebriti itu sendiri.
Perdebatan masyarakat terhadap sosok penyanyi dangdut Inul Daratista menjadi salah satu contoh terbesarnya di dunia hiburan Indonesia. Pada kisaran tahun 2003, perdebatan antar berbagai kelompok masyarakat mengenai figur Inul terjadi. Sosok dan penampilan Inul dengan ciri khas goyangan sensualnya, atau yang dikenal dengan “goyang ngebor”, memantik lahirnya Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi. RUU tersebut diajukan oleh beberapa partai berbasis Islam dan mendapatkan dukungan banyak pihak di luar parlemen.
Hal itu merupakan buah dari penolakan golongan tertentu terhadap sosok Inul yang dianggap tidak senonoh. Padahal, di sisi lain, terdapat berbagai golongan yang justru menilai sosok Inul merupakan representasi dari emansipasi perempuan. Otoritas yang Inul bangun ketika tengah beraksi di panggung, ditunjukkan dari gaya busana, gaya bahasa Jawa ngoko, dan bahasa tubuhnya, dinilai menjadi salah satu motor pendobrak stigma mengenai kaum perempuan yang selalu dituntut menutup tubuhnya sebagai representasi patriarkisme.
Namun, pada akhirnya, anggapan yang mengakar ini turut membuat sosok Inul menjadi komoditas yang dipolitisasi industri hiburan untuk meraih keuntungan yang lebih besar. Caranya ialah dengan memainkan sentimen agama dan beragam nilai abstrak yang diadopsi ke dalam penulisan dan pembuatan berita di media massa. Hal itu menunjukkan bahwa apa yang semata-mata dimaknai sebagai sebuah hiburan bisa saja kemudian menyerap muatan politis.
Menurut Bonner, Farley, Marshall, dan Turner dalam tulisannya Celebrity and the media, praktik komodifikasi yang dilakukan media massa terhadap selebriti kemudian melahirkan pembenaran terhadap sosok selebriti sebagai perwujudan model ekonomi dan politik yang menjadi cikal bakal kapitalisme.
Hal tersebut, baik secara langsung maupun tidak, menunjukkan bahwa fungsi, peran, dan kedudukan selebriti di industri hiburan tak lagi dipandang sebagai manusia, melainkan sebagai sebuah objek dan komoditas yang semata-mata berfungsi menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Tak heran, dalam tulisannya, Jurriens menyatakan bahwa perdebatan mengenai sosok Inul Daratista lebih banyak mengandung kepentingan bisnis ketimbang persoalan agama dan moralitas.
Selebriti bak bagian tubuh yang tak dapat dipisahkan dari industri hiburan. Hal itu membuat segala hal mengenai sosoknya tak bisa terlepas dari beragam praktik representasi dan reproduksi yang sarat akan nilai hegemoni dan kepentingan. Penting bagi masyarakat untuk selalu cerdas memilih dan mengimbangi informasi yang didapatkannya dari berbagai sumber.