Selasa, April 23, 2024

Selamat Datang di Dunia Mahasiswa

Muh Nawir
Muh Nawir
Mahasiswa tingkat akhir Universitas Hasanuddin

Penindasan akan terus berlaku di tempat produksi pengetahuan jika mental kuasa masih melingkupi. Sejak diumumkan melalui website, para mahasiswa baru itu akan melakukan registrasi dikampusnya. Seragam yang dipakai yaitu Pakaian putih dengan celana hitam layaknya orang yang akan mendaftar kerja atau sedang magang di perusahaan. Tak lupa belahan rambut yang klimis dan sepatu baru yang dibeli di Toko ternama.

Rasa bangga terpancar dari matanya saat memasuki pintu utama kampus itu dengan pemandangan air mancur yang setiap saat memancarkan airnya. Sikap percaya diri mengantarkan dirinya ke Gedung registrasi menyodorkan beberapa lembar kertas yang tersusun rapi.

Setelah semua proses registrasi selesai dan menandakan dirinya sebagai mahasiswa ketika dia mendapatkan sebuah kartu multtifungsi. Kartu Tanda Mahasisswa itu juga bisa dipergunakan menjadi ATM. Mahasiswa baru ini kemudian membayar uang kuliahnya ditambah uang pangkal yang berjumlah ratusan juta rupiah.

Proses penerimaan mahasiswa baru dimulai. Riuh tepuk tangan bergemuruh kala Rektor kampus itu mengucapkan selamat datang di Kampus kenamaan itu. Tak lupa Rektor juga memaparkan status kampus tersebut yang telah mandiri mengelola kampusnya sendiri. Para mahasiswa baru semakin bangga dengan penyampaian Rektor tersebut.

Sesuatu yang janggal dia rasa ketika masa penerimaan mahasiswa baru. Awalnya Mahasiswa baru ini sangat ceria memakai almamaternya, keadaan berbalik 360 derajat ketika melihat senior dengan muka garangnya. Bersama dengan mahasiswa baru lain, mereka diperintah untuk berbaris

Salah seorang senior dengan muka garangnya dengan memegang pengeras suara didepan mahasiswa baru. “Selamat datang Maba botak, tolol, di kampus Neoliberal ini, kalian telah salah memilih kampus” singkat penyampaian senior itu. Para kakak tingkat itu kemudian memerintahkan Maba agar saat masa pengenalan kampus memakai atribut.

Keesokan harinya, dengan memakai atribut papan pengenal yang digantung di badannya, pita yang diikat dilenganny serta kaos kaki beda warna datang ketempat pengumpulan. Akibat keterlambatannya, Kakak tingkat ini menghukum Maba tersebut. Rasa takut makin menjadi-jadi pada Maba ini dan maba yang lain.

Setelah proses penerimaan maba selesai, rasa ketakutan itu masih berlaku. Bukan lagi ke kakak tingkatnyaa melainkan kepada dosennya. Di dalam kelas, dosen bersifat otoriter yang berkuasa, segala yang diucapkan dianggapnya paling benar. Mahasisswa yang memprotesdiberikan nilai error yang berani menentang gagasan dosen itu.

Fenomena tersebut mengingatkan pada kutipan Soe Hok Gie dalam buku Zaman Peralihan. Gie memberi pesan menjadi mahasiswa dengan M besar yang selalu peka melihat kejanggalan-kejanggalan di dalam kampus dan janganlah menjadi mahasiswa dengan m kecil.

Gie pun menulis “Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menegah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi”.

Sejalan dengan apa yang telah ditulis oleh mahasiswa sejarah Universitas Indonesia ini. mahasiswa masih terbelunggu oleh “culture of fear”. Mengutip tulisan Rydho Bagus di Inspirasi.co bahwa Culture of fear adalah sebuah budaya ketakutan yang membelenggu segala tindakan.

Ketakutan yang seakan bertindak menekan secara perlahan. Ketakutan itu juga menekan segala pemikiran sebagai seorang akademisi yang seharusnya bebas untuk berpendapat. Ketakutan itu seperti: ketakutan untuk mengutarakan pendapatnya, ketakutan mendapat nilai jelek karena menentang pemahaman dari dosen, ketakutan jika argumentasi yang dilontarkan menyingung hati dosen, dan ketakutan melihat segala macam penyelewangan-kejanggalan-manipulasi untuk dibenarkan kembali.

Bentuk penindasan masih terjadi di tempat produksi pengetahuan. Perlu direfleksi untuk segala segala bentuk penindaaan tidak lagi terjadi. Karena Sejatinya di masa kuliah adalah sebuah masa untuk mengasah potensi yang dimiliki bagi tiap individu. Potensi itu seperti, keahlian dalam menejemen organisasi, teknik kepemimpinan, kemampuan untuk mengorganisir dan lain-lain. Kuliah bukan seperti kursus yang hanya berangkat untuk belajar di kelas, setelah kelas selasai kemudian  kembali ke rumah.

Hal ini bisa ditempuh oleh mahasiswa baru yang akan menjelajahi dunia kampus dengan berorganisasi. Belajar di kelas tidak cukup, ruang belajar banyak dikampus baik meelalui organisasi, forum diskusi, dan membaca buku.

Muh Nawir
Muh Nawir
Mahasiswa tingkat akhir Universitas Hasanuddin
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.